Batam, Radarhukum.id – Sistem E-Katalog yang selama ini digadang-gadang sebagai terobosan untuk mendukung transparansi dan efisiensi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah, kini justru disorot sebagai ladang subur praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Alih-alih menjadi solusi, sistem e-purchasing yang kini telah masuk versi ke-6 itu dinilai rawan diselewengkan oleh oknum yang memanfaatkan celah regulasi dan lemahnya pengawasan. Hal tersebut disampaikan oleh Ahli hukum konstruksi serta pengadaan barang dan jasa Ir. Suparman, S.H., M.H., M.Si.
Suparman mengungkapkan, praktik penyimpangan dalam sistem E-Katalog tidak hanya terjadi secara teknis, tetapi juga melibatkan jaringan yang terstruktur.

“Modus yang kerap terjadi di lapangan antara lain adalah permainan harga satuan barang, pengaturan pemenang oleh vendor tertentu, hingga intervensi pihak PPK, pengguna anggaran atau kuasa pengguna anggaran. Pemenangnya sudah ditentukan sesuai selera mereka,” ujar Suparman saat diwawancara media ini, Rabu (11/6/2025).
Menurutnya, ada vendor yang bahkan diduga sengaja “mengunci” pasar dengan membuat kesepakatan tidak tertulis dengan pejabat pengadaan. Sementara proses pemilihan produk hanya sebagai formalitas belaka yang sebenarnya sudah dikondisikan.
“Seolah-olah terlihat transparan karena berbasis sistem terbuka, tapi kenyataannya banyak praktik kotor yang terjadi di balik layar. Kelemahan kontrol dan tidak adanya audit yang benar-benar serius menjadikan E-Katalog seperti ladang basah baru bagi para pelaku KKN,” kata aktivis senior yang pernah membongkar dugaan korupsi pembangunan gedung DPRD Batam era 2000-an ini.
Suparman mencontohkan dugaan penyimpangan dalam pengadaan laptop oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Proyek pengadaan yang nilainya mencapai Rp9,9 triliun tersebut kini tengah diusut oleh Kejaksaan Agung.
“Kasus di Kemendikbud itu hanya salah satu contoh yang terlihat di permukaan. Di balik itu, banyak praktik serupa yang semestinya bisa diantisipasi oleh LKPP. Kami banyak menemukan di daerah beragam modus main mata antara pejabat pengadaan dan penyedia,” ujarnya.
Pada sisi yang lain, kata Suparman, perubahan versi yang kerap berganti tiap tahun juga membuat pegawai pelaksana di daerah serta vendor kebingungan. Mereka sering kali tidak benar-benar memahami sistem yang mereka jalankan.
Pria yang juga berprofesi sebagai advokat ini pun menyoroti minimnya partisipasi publik dalam pengawasan serta keterbatasan akses informasi secara teknis yang menyebabkan masyarakat tidak dapat melakukan kontrol sosial secara optimal. Suparman menekankan perlunya pembaruan sistem pengawasan digital dan pemberian sanksi tegas bagi pelaku penyimpangan, baik dari unsur swasta maupun aparatur pemerintah.
“Jika dilihat keseluruhan prosesnya, sistem lama yang konvensional justru lebih jelas dan transparan dibandingkan ini. Jika tidak segera dibenahi, sistem yang katanya dirancang untuk menekan kebocoran anggaran ini justru akan menjadi ladang baru bagi praktik korupsi yang semakin canggih,” ujarnya.
(Ifan)
Discussion about this post