Natuna, Radarhukum.id – Proyek pembangunan gedung Sistem Peringatan Dini milik Badan Keamanan Laut (Bakamla) di Desa Tanjung, Kecamatan Bunguran Timur Laut, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, terus mendapat sorotan. Sebelumnya diberitakan adanya dugaan ketidaksesuaian pekerjaan dengan bestek, serta keluhan belum dibayarnya suplier material hingga upah tukang. Kini pihak kontraktor PT Toleransi Aceh memberikan klarifikasi kepada radarhukum.id. Namun keterangan dari kontraktor tersebut justru dibantah keras oleh suplier material.
Sebelumnya diberitakan, seorang narasumber yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan adanya ketidaksesuaian material dalam proyek tersebut.
“Cat yang digunakan mayoritas merek Avitek, padahal yang tertera adalah merek Jotun. Perbandingan harganya bisa mencapai tiga kali lipat,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia juga membeberkan adanya penggantian material penting, seperti besi cor penutup parit. Besi ulir ukuran 10 mm yang seharusnya digunakan, diganti dengan besi bekas pagar lama kantor Bakamla berukuran 8 mm biasa.
Temuan serupa juga disampaikan oleh narasumber lainnya. Ia menyebut sebagian dinding bangunan tidak menggunakan bata ringan sesuai Rencana Anggaran Biaya (RAB), melainkan batako biasa.
“Masih banyak hal lain yang menyimpang dari spesifikasi,” ujarnya.
Perwakilan dari PT Toleransi Aceh, Dicky Mediansyah, menyatakan bahwa seluruh pekerjaan telah dilakukan sesuai dokumen kontrak, Rencana Kerja dan Syarat-Syarat (RKS), serta diawasi secara ketat oleh konsultan pengawas dan pihak pemberi kerja.
“Tunggakan kepada supplier/pemasok material sudah ada pihak yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan pembayaran. Langkah-langkah konkret telah dilakukan perusahaan untuk menyelesaikannya secara bertahap dan terstruktur,” ujarnya. Sayangnya, Dicky tidak mengungkapkan siapa pihak yang bertanggungjawab, Rabu (18/6/2025).
Dicky juga menyebut, pembayaran upah pekerja yang belum menerima haknya akibat kelalaian subkontraktor (mandor) telah dibayarkan langsung dari sisa nilai kontrak. Ditanya terkait tunggakan dengan nilai cukup besar sesuai pengakuan suplier bernama Totok, Ia menambahkan bahwa proses mediasi telah dilakukan, dengan dihadiri oleh Totok, dan kesepakatan juga telah dihasilkan.
Namun, pernyataan tersebut dibantah oleh Totok, salah satu suplier proyek. Ia mengaku belum menerima pembayaran sebesar lebih dari Rp1,7 miliar.
“Sampai sekarang belum ada langkah konkret untuk menyelesaikan pembayaran utang toko material bangunan dari mereka. Sudah enam bulan belum ada kejelasan,” ungkap Totok.
Ia juga menilai pernyataan Dicky sebagai bentuk pengelakan dan menyebutnya sekadar membual kosong karena belum ada realisasinya.
“Itu hanya membual, seperti membuang badan. Jawaban itu formalitas saja. Kami tetap seperti di awal bahwa semua hutang harus dibayar. Jangan berbelit-belit dan bertele-tele,” kata Totok.
Firdaus Akbar selaku PPK dari Balai Prasarana Pemukiman Wilayah (BPPW) Kepri masih belum memberikan keterangan, dan memilih bungkam, meski sudah dikonfirmasi beberapa kali terkait kekisruhan proyek ini. (Ifan)
Discussion about this post