Jakarta, Radarhukum.id —Di mana moral politikus ketika ia melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya? Mungkin pertanyaan ini tidak relevan dan tak perlu ada jawaban. Tetapi dalam cerpen ‘Kontrak Politik' ada fakta yang amat menggelitik. Yang membikin nalar dan logika jungkir balik.
Adalah seorang politikus cantik membuat terobosan baru dalam mendulang suara di Dapilnya. Ia menawarkan dirinya untuk digauli oleh konstituen lelaki dengan syarat meneken sebuah ‘kontrak'. Maka tak ayal, para lelaki pemilik suara berebutan meneken kontrak itu.
Tetapi apa yang terjadi?
Budayawan Nanang R. Supriatin membedah dengan sangat tajam kumpulan cerpen ini yang diluncurkan di Kampus Universitas Islam As Syafiiyah, (UIA), Jatiwaringin, Pondok Gede, Sabtu 28 Juni 2025.
Kumpulan cepen ini merupakan karya bertiga cerpenis Indonesia, Ismail Lutan, Putra Gara dan Hamidin Krazan. Bedah buku sekaligus peluncuran menjadi bagian dari even “FKIP FESTIVAL” yang dislenggarakan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UIA bekerjasama dengan Persaudaraan Jurnalis Muslim Indonesia (PJMI).
Menurut Nanang, kumpulan cerpen KONTRAK POLITIK menawarkan keberagaman pendekatan terhadap realitas yang kompleks, getir, dan penuh paradoks. Ia tidak menyodorkan satu tafsir tunggal atas kehidupan, melainkan membuka berbagai celah pembacaan dari spektrum yang luas: politik kekuasaan, krisis spiritual, hingga kegamangan sosial dalam budaya urban.
Tiga nama pengarang di dalamnya – Ismail Lutan, Putra Gara, dan Hamidin Krazan –menjadi representasi dari tiga gaya yang sangat berbeda, namun saling mengisi dan memberi pantulan nuansa dalam terhadap wajah Indonesia masa kini.
Buku ini bukan semata kumpulan fiksi, melainkan juga dokumen kultural yang menangkap denyut sosial dengan cara yang tak selalu gamblang, namun membekas.
Ismail Lutan mengandalkan satire politik yang kuat, menjadikan absurditas sebagai fondasi naratifnya. Cerpen pembuka, “Kontrak Politik,” mempermainkan logika kekuasaan dan tubuh perempuan dalam permainan metaforis yang tajam namun tidak kehilangan jenaka getir. Pembaca dibawa menertawakan kenyataan yang terlalu nyata, di mana janji politik bisa disamakan dengan pelacuran emosional, dan nilai-nilai demokrasi tak lebih dari perjanjian bawah meja.
Di cerpen lain, seperti “Angka-Angka Sedekah Angka,” Lutan tetap konsisten menyisipkan kritik dengan simbol-simbol yang liar namun terkontrol. Keunggulan Lutan terletak pada kemampuannya mengolah absurditas tanpa kehilangan konteks sosiologis, menjadikan cerpennya sebagai arena di mana ironi berkelindan dengan realitas dalam narasi yang tetap komunikatif dan memikat.
Beda pendekatan
Berbeda dari pendekatan Lutan yang frontal. Putra Gara memilih jalur kontemplatif, spiritual, dan personal. Cerpennya, “Sebuah Jalan,” menjadi titik keseimbangan dalam buku ini. Ia hadir sebagai jeda yang menenangkan dari dunia politik dan gemuruh sosial yang ada di cerpen cerpen lainnya. Di sini, tokoh utamanya adalah anak jalanan yang kehilangan figur ayah pencopet, lalu menempuh perjalanan batin menuju keheningan, doa, dan akhirnya pemahaman.
Gaya naratif Putra Gara lembut, kadang nyaris lirih, tapi justru di situlah kekuatannya: ia tak memburu klimaks, melainkan menggiring pembaca perlahan-lahan untuk masuk ke dunia sunyi, yang justru lebih bising daripada keramaian. Kesederhanaannya adalah ketajamannya; ia tidak melawan dunia dengan satir, tapi dengan diam dan doa yang tak bersuara.
Hamidin Krazan melengkapi lanskap kumpulan ini dengan gaya yang lebih pop, penuh permainan simbol dan humor gelap. Dalam cerpen seperti “Tuhan Oplosan” atau “Kalung Modus,” Krazan memanfaatkan absurditas masyarakat urban dan pseudo-religiusitas untuk membongkar keganjilan realitas sosial. Ia tak segan menertawakan ketulusan semu, baik dalam urusan cinta, ibadah, maupun relasi ekonomi. Gaya bertuturnya ringan, cenderung berirama seperti dialog harian, namun sarat kecurigaan terhadap norma. Jika Lutan mengangkat absurditas dalam konteks kuasa negara dan Gara pada pencarian spiritual, maka Krazan menempatkan absurditas di lorong-lorong pikiran masyarakat kelas menengah bawah yang gamang, labil, dan penuh kepura-puraan.
Ketar ketir
Dalam sesi tanya jawab yang juga dihadiri para penulisnya (kecuali Hamidin Krazan), terungkap. Kumpulan cerpen ini merupakan bentuk kerinduan ‘tiga sekawan' yang dahulu pernah se kantor mengelola tabloid anak-anak.
“Inisiatif ini dipicu oleh tantangan Pak Putra Gara untuk kembali menulis cerpan. Saya dan Hamidin pun meladeni tantangan itu, dan alhamdulillah jadilah buku ini,” tutur Ismail Lutan. Bahkan, lanjut Ismail Lutan yang juga Ketua Umum PJMI ini, cerpennya yang berjudul “Kontrak Politik” -oleh Editornya- dijadikan judul buku.
Dikatakan Ismail, tadinya mereka sudah sepakat untuk memberi judul “Ketar Ketir Dibingkai Takdir”. Bahkan sampul dan ilustrasinya sudah selesai digarap. Tetapi Putra Gara akhirnya merasa lebih condong ke Kontrak Politik.
Ketar Ketir Dibingkai Takdir adalah cerpen yang bergenre satir politik. Bercerita tentang kabar langit yang bocor ke bumi, bahwa akan datang pandemi covid versi 2. Korbannya adalah semua lelaki umur 35-40 tahun. Masalahnya adalah ada calon raja yang akan dilantik umurnya lebih satu hari dari 35 tahun. Jika ia ikut menjadi korban covid maka kerajaannya akan hancur.
Maka berusahalah paman di calon raja (yang menjadi wakil Tuhan di bumi) mencari malaikat pencabut nyawa dan menyogognya untuk memundurkan umur keponakannya sehari saja.
“Cerpen ini bentuk protes saya terhadap Pilpres lalu, di mana ada nalar yang diinjak oleh sebuah proses politik yang telanjang,” tutup Ismail Lutan.***()
Discussion about this post