Muktamar sebuah partai politik, mestinya adalah ajang untuk menyatukan visi dan merajut kebersamaan, bukan justru memecah lanskap menjadi dua kubu yang berseteru. Itu yang kini terjadi di tubuh Partai Persatuan Pembangunan, dalam gelaran Muktamar X di Ancol, Jakarta Utara. Dua nama besar, Muhammad Mardiono dan Agus Suparmanto, sama-sama mengklaim sebagai ketua umum sah. Sebuah pemandangan yang tidak hanya membingungkan, tapi juga menyimpan persoalan lebih dalam tentang arti kebersamaan dan kepemimpinan.
Kita tahu, PPP bukan hanya partai biasa, melainkan sebuah wadah sejarah yang panjang dan menjadi rumah bagi jutaan hati yang percaya pada perjuangan politik dengan asas keagamaan. Maka ketika dua figur bersaing memperebutkan pucuk tertinggi tanpa penyelesaian yang tuntas, artinya ada retak yang harus segera diobati. Ada luka yang perlu disembuhkan agar tidak berkembang menjadi penyakit yang menggerogoti persatuan dan cita-cita besar yang pernah diusung.
Dalam situasi seperti ini, penting untuk kita ingat bahwa manusia dan kepemimpinan itu bukan sekadar tentang posisi atau gelar, tapi tentang kemampuan merajut simpul-simpul harapan yang berbeda menjadi satu benang yang kuat. Ketua umum tidak boleh menjadi simbol perpecahan, tapi harus menjadi jembatan yang menghubungkan ragam pandangan dan aspirasi konstituen. Kalau sampai posisi itu malah jadi ajang rebutan ego, maka partai ini justru akan kehilangan makna perjuangannya sendiri.
Polemik Muktamar X ini mengajarkan kita bahan renungan yang dalam: bahwa politik adalah seni dan etika, di mana dialog dan mufakat harus lebih diutamakan dibandingkan sikap keras kepala dan klaim satu pihak. Kerisauan masyarakat dan kader yang seharusnya menjadi garda terdepan partai, harus dipertimbangkan dengan serius. Karena pada akhirnya, kekuatan sebuah partai bukan dilihat dari siapa yang duduk di pucuk pimpinan, melainkan dari kesatuan langkah yang dibangun bersama demi masa depan bangsa.
Dan sebagaimana kita tahu, tidak ada kemenangan sejati dalam konflik tanpa penyelesaian baik-baik. Baik Mardiono maupun Agus Suparmanto, sesungguhnya memikul beban moral yang sama besar: menjaga soliditas dan kehormatan PPP. Sepanjang keduanya mampu melihat lebih jauh daripada perselisihan semu, masih ada harapan bahwa musyawarah dan etika bisa menjadi jalan keluar yang mulia.
Kita berharap, dari gejolak dan panasnya situasi di Ancol ini, akan lahir sebuah keputusan yang tidak sekadar mengedepankan kemenangan individu, tapi lebih pada kemenangan bersama untuk PPP dan bangsa kita. Kita butuh kepemimpinan yang bukan saja mampu bicara lantang, tapi juga mendengar dengan hati, memimpin dengan jiwa, dan mengayomi dengan kasih. Sebab, dalam politik, keutuhan dan persatuan adalah modal utama untuk berjuang demi kebaikan bersama (***)
Discussion about this post