Bengkulu Tengah, Radarhukum.id – Warga Desa Padang Betuah, Kecamatan Pondok Kelapa, Kabupaten Bengkulu Tengah, memagar kebun kelapa sawit yang dikuasai PT Giantara Mulya Pratama (GMP) pada Minggu (28/9/2025). Aksi berupa pemasangan pagar kawat berduri di lahan yang berada di pinggir jalan lintas provinsi Bengkulu menuju Arga Makmur dan Mukomuko itu dilakukan lantaran persoalan ganti rugi lahan tak kunjung terselesaikan.
Warga menilai sejak 1988 hingga kini, janji ganti rugi yang pernah disampaikan perusahaan tidak pernah terealisasi. Sejumlah warga menyebut mereka tidak pernah menjual tanah tersebut, melainkan hanya menerima ganti rugi tanam tumbuh.
“Ini sudah 36 tahun lebih tidak ada penyelesaian. Kami hanya minta hak kami kembali, sebab tanah ini bukan milik PT GMP,” tegas Zul Azim, warga Padang Betuah saat ditemui wartawan di lokasi.
Hal senada disampaikan Sanusi Salam, warga lain yang mengaku memiliki lahan seluas 18.000 meter persegi. Ia menyebut lahan keluarganya dijanjikan akan diganti rugi sebesar Rp1,5 juta per hektare, namun hingga kini tidak pernah dibayar penuh.
“Sejak tahun 1987 sampai sekarang kami tidak mendapatkan hasil apa-apa dari kebun ini. Tanah ini milik orang tua saya, dan akan terus saya perjuangkan,” ungkapnya.
Mantan Kepala Desa Padang Betuah, Sofyan Efendi, menegaskan pihak pemerintah desa sejak dulu sepakat tidak akan menerbitkan dokumen apa pun terkait lahan tersebut.
“Itu sudah menjadi kesepakatan bersama para kepala desa sebelumnya. Saya memastikan kepala desa setelah saya juga tidak akan mengeluarkan dokumen sebelum ada penyelesaian,” katanya.
Menurut Sofyan, hingga kini PT GMP bahkan belum mengantongi Hak Guna Usaha (HGU) karena syarat utama berupa penyelesaian pembayaran kepada masyarakat tidak pernah dipenuhi.
Persoalan ini bermula sejak era Gubernur Suprapto pada 1988, ketika perusahaan meminta lahan masyarakat untuk ditanami wijen. Saat itu disepakati ganti rugi sebesar Rp3 juta per hektare untuk lahan kelas A (pinggir jalan) dan Rp1,5 juta per hektare untuk kelas B (belakang). Namun realisasinya, masyarakat hanya menerima uang panjar antara Rp150 ribu hingga Rp200 ribu, itupun sebagai ganti rugi tanam tumbuh, bukan ganti rugi tanah.
Hingga kini, masyarakat Padang Betuah masih menunggu itikad baik perusahaan untuk menuntaskan persoalan yang telah berlangsung lebih dari tiga dekade.
Discussion about this post