Oleh: Ifanko P
Siang ini, seorang ibu bersama anak lelakinya datang ke LBH kami. Langkahnya pelan, raut wajahnya murung. Dia tampak gelisah. Setelah saya persilahkan duduk dan meminta menyampaikan keperluan, dia bercerita.
“Saya cemas, Pak, saya mau dilaporkan seorang pengacara kasus penyerobotan tanah,” katanya, setelah duduk di hadapan saya. Suaranya bergetar, kadang terhenti, lalu melanjutkan ceritanya kembali.
Beberapa waktu lalu, ia membeli sebuah rumah dari seseorang yang dikenalnya cukup baik. Rumah itu di kawasan Ruli di Kelurahan Bengkong Indah, bahkan di surat penjual saya lihat tidak ada tandatangan RT/RW sekalipun. Meski begitu, mereka membuat perjanjian tertulis antara penjual dengan pembeli. Pembayarannya dicicil selama beberapa bulan, setiap pembayaran lengkap dengan kwitansinya, dan semuanya tampak berjalan lancar pada awalnya.
Namun, di tengah perjalanan, angin berubah. Orang yang menjual rumah itu mulai mempermasalahkan pembayaran. Menurutnya, ibu ini tidak mematuhi kesepakatan. Padahal, sang ibu yakin ia telah membayar sesuai waktu yang disepakati. Tidak lama setelah itu, ia menerima ancaman (Infonya, penjual ini hendak menjual lagi rumah tersebut ke pihak lain). Penjual rumah menggunakan jasa seorang pengacara untuk menakut-nakuti ibu tersebut. “Kalau tidak segera mengosongkan rumah ini, saya akan dilaporkan karena menyerobot lahan,” katanya menirukan ancaman itu.
Saya mendengarkan ceritanya dengan saksama. Ia menunjuk video seorang mengacara yang mencak-mencak di halaman rumah. Terdengar ancaman sang pengacara akan melaporkan ke polisi. Setelahnya, ibu ini mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya berupa surat perjanjian, bukti pembayaran cicilan, dan beberapa dokumen lain yang mungkin dianggapnya penting. Dengan tenang, saya memeriksa satu per satu.
“Begini, Bu,” saya akhirnya bicara. “Saya sudah melihat dokumen-dokumen ini, dan mendengar semua penjelasan. Dan menurut saya, Ibu tidak bisa dikenakan pasal penyerobotan lahan.”
Ia memandang saya dengan mata penuh harapan. “Benar, Pak? Tapi pengacaranya bilang akan melaporkan saya, katanya hukumannya empat tahun penjara.”
“Tidak, Bu,” saya menjawab. “Penyerobotan tanah itu, sesuai pasal 385 KUHP hanya berlaku kalau seseorang dengan sengaja menduduki, menguasai, atau mengambil alih tanah milik orang lain secara melawan hukum. Sedangkan dalam kasus Ibu, ada surat perjanjian lengkap dengan pembayaran yang menjadi bukti bahwa Ibu memiliki hak untuk tinggal di sana.”
Mendengar itu, mukanya sedikit berubah.
“Kalau boleh saya jujur, Bu, justru ada kemungkinan pihak penjual rumah ini yang bisa dipidanakan,” saya melanjutkan.
Ia terkejut mendengar pernyataan saya. “Maksudnya bagaimana, Pak?” tanyanya dengan nada bingung.
Saya menjelaskan perlahan. Berdasarkan apa yang saya lihat, ada potensi penjual rumah bisa dilaporkan penipuan, jika uang yang telah dibayar pembeli tidak dia kembalikan. Pasal 378 KUHP menyebutkan, siapa pun yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat atau rangkaian kebohongan untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain, bisa dijerat hukum. Menjual rumah tanpa dasar kepemilikan yang jelas, bahkan penjual itu tidak memiliki surat kepemilikan sekedar diketahui dan ditandatangani RT/RW. Ia sengaja mempermasalahkan pembayaran di tengah jalan, lantas mengancam pembeli dengan laporan hukum, sangat mencurigakan. Ada indikasi dia mengancam pakai pengacara dengan tujuan menakut nakuti supaya pembeli keluar rumah dan uang pembayaran hangus.
“Jadi, saya tidak salah, Pak? Apa saran bapak yang harus saya lakukan?” ia bertanya dengan nada ragu, seolah masih belum yakin sepenuhnya.
“Saya pastikan Ibu tidak salah,” saya menegaskan. “Tapi pastikan semua surat menyurat dan bukti ini disimpan dengan baik. Perlu mediasi kedua belah pihak. Saran saya kesepakatannya, penjual harus mengganti uang yang sudah ibu bayarkan, dan ibu membayar ganti sewa rumahnya selama tinggal di sana, bila perlu kami akan bantu buatkan surat atau mediasi, kalau pun diteruskan ini rumah, resikonya sangat besar. Ke depan jangan membeli rumah yang tidak jelas. Harus jelas riwayatnya,” kata saya.
Ia mengangguk pelan. Wajahnya mulai terlihat lebih tenang, meskipun saya tahu beban di pikirannya belum sepenuhnya hilang.
Ketika ia berpamitan, dengan berkali-kali mengucapkan terimakasih, saya melihatnya keluar dengan tersenyum. Anaknya yang berusia kira-kira 35 tahun bahkan hendak mencium tangan saya, yang saya tepis halus.
Permasalahan hukum memang menjadi momok menakutkan bagi orang-orang lemah. Padahal bisa saja, dia berada pada pihak yang benar.
Discussion about this post