Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana merupakan sebuah terobosan baru dalam perjalanan hukum di Indonesia. Sebagai informasi, berikut Pasal 14 dan 15 UU 1/1946 yang dinyatakan MK bertentangan dengan UUD 1945:
Pasal 14 UU 1/1946
(1) Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun
Pasal 15 UU 1/1946
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.
Putusan MK Nomor 78/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Kamis 21 Maret 2024 di Ruang Sidang Pleno MK tersebut menandai sebuah tonggak sejarah dalam perjalanan hukum di Indonesia. MK berpendapat bahwa pasal-pasal tersebut dapat memunculkan ketidakpastian hukum, terutama dalam era di mana teknologi informasi memberikan akses cepat dan mudah terhadap informasi. Ketidakjelasan terkait batasan-batasan dalam pasal-pasal tersebut, seperti definisi “keonaran”, menimbulkan multitafsir yang berpotensi merugikan.
Dalam konteks kebebasan berekspresi, pembatalan Pasal 14 dan Pasal 15 dapat dianggap sebagai sebuah kemenangan. Kebebasan berekspresi adalah pijakan utama bagi perkembangan demokrasi, dan pembatasan terhadapnya harus dilakukan dengan cermat untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Namun, dalam konteks tersebut, perlindungan terhadap masyarakat dari penyebaran berita bohong juga merupakan keharusan. Oleh karena itu, perlu adanya regulasi yang bijaksana dan jelas untuk menangani masalah tersebut tanpa mengorbankan kebebasan berekspresi.
Selanjutnya, penting untuk merenungkan dampak sosial dan politik dari pembatalan Pasal 14 dan Pasal 15. Meskipun keputusan ini menegaskan perlindungan terhadap kebebasan berekspresi, kita juga perlu mempertimbangkan dampak negatif yang mungkin timbul akibat penyebaran berita bohong yang tidak terkontrol. Hal ini menuntut tanggung jawab bersama dari semua pihak, termasuk pemerintah, media, dan masyarakat, untuk memastikan bahwa informasi yang disebarkan adalah akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Terakhir, dalam mengevaluasi pembatalan Pasal 14 dan Pasal 15, kita perlu mengambil pelajaran untuk masa depan. Regulasi yang memadai dan relevan dengan perkembangan zaman haruslah menjadi fokus, tanpa mengorbankan nilai-nilai dasar demokrasi seperti kebebasan berekspresi dan keadilan hukum. Perdebatan yang terjadi seputar pembatalan pasal-pasal tersebut seharusnya menjadi dorongan untuk menciptakan regulasi yang lebih baik dan menyeluruh dalam menangani masalah penyebaran berita bohong.
Dengan demikian, pembatalan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana oleh Mahkamah Konstitusi memunculkan beragam pertanyaan dan refleksi yang mendalam tentang hubungan antara kebebasan berekspresi, keadilan hukum, dan perlindungan masyarakat dari penyebaran berita bohong. Langkah-langkah selanjutnya yang diambil oleh pemerintah dan masyarakat akan menentukan arah masa depan bangsa ini dalam menghadapi tantangan-tantangan seputar informasi dan kebebasan berekspresi.
Konsekuensi Pembatalan
Pembatalan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap penegakan hukum di Indonesia.
Pertama-tama, pembatalan ini dapat menyebabkan kekosongan hukum dalam penanganan penyebaran berita bohong yang dapat menyebabkan keonaran. Tanpa regulasi yang jelas, penegak hukum mungkin akan kesulitan menentukan batas-batas antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran hukum terkait penyebaran informasi yang menyesatkan atau menimbulkan kerusuhan.
Selain itu, pembatalan Pasal 14 dan Pasal 15 juga dapat mempengaruhi legitimasi institusi penegak hukum, seperti kepolisian dan jaksa. Tanpa instrumen hukum yang kuat untuk menangani penyebaran berita bohong, masyarakat mungkin akan meragukan kemampuan institusi hukum dalam melindungi keamanan dan kestabilan negara.
Dampak lainnya adalah potensi peningkatan penyebaran berita bohong atau hoaks di tengah masyarakat. Tanpa ancaman sanksi hukum yang jelas, individu atau kelompok yang bertanggung jawab atas penyebaran informasi palsu mungkin merasa bebas untuk melakukan tindakan tersebut tanpa takut akan konsekuensi hukum.
Selain itu, pembatalan ini juga dapat mengakibatkan perdebatan dan kontroversi dalam masyarakat tentang batasan kebebasan berekspresi dan perlindungan terhadap hak-hak individu. Diskusi tentang perlunya regulasi yang lebih tepat dan modern dalam menangani penyebaran berita bohong kemungkinan akan menjadi topik utama dalam agenda publik.
Secara keseluruhan, pembatalan Pasal 14 dan Pasal 15 memiliki dampak yang kompleks terhadap penegakan hukum di Indonesia, yang memerlukan langkah-langkah lebih lanjut untuk mengatasi tantangan yang timbul dan memastikan perlindungan terhadap masyarakat dari penyebaran informasi yang menyesatkan dan berpotensi mengganggu ketertiban umum (***)
Discussion about this post