Cerpen Oleh: Ifanko Putra
Hari belumlah terang benar, matahari seolah masih malas untuk menampakkan sinarnya. Namun, jalanan Kota Sempadan sudah mulai ramai. Orang-orang berlalu lalang, sebagian menuju tempat kerja, sebagian lainnya sekadar menjalankan rutinitas pagi.
Di sebuah kedai kopi di sudut kota, dua pria duduk saling berhadapan, berbincang santai namun serius. Mereka adalah Jepri dan Joni, dua sahabat karib yang kerap digambarkan seperti “aur dengan tebing”. Ke mana pun mereka pergi, diskusi selalu menjadi bumbu utama pertemuan mereka. Joni, yang seorang aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) di kota itu, menyesap kopinya perlahan, telinganya serius menyimak celotehan Jepri.
“Aku sudah beberapa kali hajar si Dullah lewat berita. Aku yakin kali ini citranya benar-benar terpuruk,” Jepri yang berprofesi sebagai wartawan membuka percakapan dengan penuh percaya diri.
“Yakin sekali kau?” tanya Joni, sedikit heran.
“Jelas, aku ungkap semua bobroknya. Masyarakat pasti akan pertimbangkan. Pak Cahyadi namanya makin harum, kita main cantik,” timpal Jepri.
“Wah, sudah jadi tim inti kampanye nampaknya,” sahut Joni dengan tawa renyah.
“Pasti jelaslah. Lihat saja nanti,” Jepri tersenyum tipis, penuh keyakinan.
Percakapan mereka terus mengalir, hingga menjelang siang. Topiknya tidak pernah jauh dari Pemilihan Wali Kota (Pilwako) yang tengah hangat diperbincangkan. Demikian pula halnya dengan yang lain, dari kedai kopi ke kedai kopi, dari satu pertemuan ke pertemuan lainnya, isu Pilwako menjadi topik nomor satu pembicaraan warga Kota Sempadan. Hanya tersisa sebulan lagi sebelum pesta demokrasi daerah itu digelar.
Jepri, seorang wartawan senior sekaligus pemilik media online ternama di Kota Sempadan, kali ini bukan hanya berperan sebagai jurnalis. Dia dipercaya menjadi juru kampanye untuk pasangan Cahyadi dan Ridwan. Bukan hal aneh, sebab Jepri memang terkenal piawai dalam menelisik dan mengangkat isu. Baginya, dunia jurnalistik adalah ladang tempur, dan kini ia menjadi “peluru” andalan Cahyadi.
Dua pasangan calon bertarung dalam Pilwako ini: Cahyadi-Ridwan (Cari) dan Dullah-Inggit (Duit). Pasangan Cari Duit ini memiliki kekuatan yang nyaris seimbang. Dullah adalah mantan Wakil Wali Kota, yang selama masa jabatannya sudah mempersiapkan pencalonan ini dengan matang. Sementara Inggit, wakilnya, adalah ketua partai yang cukup berpengaruh di Kota Sempadan.
Namun, rival mereka, pasangan Cahyadi-Ridwan, tidak bisa dianggap enteng. Cahyadi, mantan anggota Dewan Pusat, memiliki jaringan kuat yang tersebar luas, dan Ridwan, wakilnya, adalah seorang pengusaha terkemuka di kota itu. Selain dikenal sebagai figur dermawan, Ridwan juga memiliki basis massa yang solid.
Seiring berjalannya waktu, kampanye semakin sengit. Jepri dan tim sukses Cahyadi bekerja keras menarik simpati masyarakat. Mereka menonjolkan visi-misi pasangan Cari, sementara berita-berita yang menyoroti kelemahan pasangan Duit terus diproduksi dan disebarkan, tak jarang bersifat tendensius. Berkat kedekatannya dengan Cahyadi, hidup Jepri terasa lebih nyaman; segala kebutuhannya tercukupi.
Di media sosial maupun platform berita miliknya, dukungan Jepri kepada pasangan Cari tampak jelas. Setiap hari ia menggali kelemahan pasangan Duit, bahkan sampai menebar fitnah demi memenangkan kandidatnya. Usaha maksimal telah dikerahkan, dan Jepri yakin kemenangan ada di depan mata.
Di kubu lawan, pasangan Dullah-Inggit tak kalah tangguh. Tim sukses mereka dikenal solid dan logistik yang mereka miliki melimpah. Berbagai strategi juga dijalankan dengan maksimal. Meskipun mendapat serangan bertubi-tubi, mereka tetap tenang dan optimis.
Hari pemilihan pun tiba. Jepri yakin, kemenangan sudah di depan mata. Ia sempat menulis di media sosial, “Saatnya yang jujur dan adil memimpin kota ini. Tenggelamkan koruptor bejat!” Sebuah pernyataan yang penuh keyakinan.
Hasil perhitungan cepat mulai keluar beberapa jam setelah pemilihan selesai. Pasangan Cari unggul sementara, berdasarkan sejumlah survei. Jepri dan timnya merayakan kemenangan sementara ini dengan euforia. Di benaknya, terbayang jabatan yang dijanjikan Cahyadi sebagai imbalan atas usahanya.
Namun, hasil akhir berbeda. KPU menetapkan pasangan Duit sebagai pemenang Pilwako dengan selisih suara tipis. Kemenangan yang mengejutkan ini menghentak seluruh tim Cari, terutama Jepri. Ia terdiam, murung.
Beberapa hari kemudian, Jepri kembali ke kedai kopi. Kali ini ia duduk di sudut, termenung. Joni, yang melihat sahabatnya itu, mendekat.
“Begitulah, Jep. Wartawan mestinya independen. Kalau sudah main serang membabi buta begini, orang mungkin mulai meragukan kredibilitasmu. Jadi tim sukses ya sebaiknya lepas dulu dari profesi jurnalis. Apalagi sampai menghajar dengan tendensius, bahkan fitnah,” ucap Joni sambil tersenyum kecil, mencoba menghibur.
Jepri hanya terdiam, mengangguk pelan. Ia tahu sahabatnya benar. Dalam hati, Jepri merasa kapok. Semua usahanya, strategi yang ia bangun, dan keyakinannya telah runtuh seiring kekalahan ini. Kini, ia hanya bisa membayangkan bagaimana pandangan orang terhadapnya, terutama koleganya yang kerap ia debat dengan sengit di media sosial dan di kedai kopi.
***
Discussion about this post