Dalam pemilihan kepala daerah Jakarta 2024, Ridwan Kamil (RK), yang berpasangan dengan Suswono, mendapatkan dukungan dari Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus, yang terdiri dari 16 partai politik, termasuk Gerindra, Golkar, Demokrat, PKS, PAN, dan beberapa partai lain. Meskipun dukungan besar ini seharusnya menguatkan posisinya, dalam survei terbaru dari Litbang Kompas, elektabilitas RK-Suswono justru disalip oleh pasangan Pramono Anung-Rano Karno yang unggul tipis dengan perolehan suara 38,3 persen. Situasi ini membangkitkan pertanyaan publik mengenai efektivitas dukungan mesin partai KIM Plus terhadap RK dan pasangannya.
Ridwan Kamil telah menyampaikan bahwa mesin partai KIM Plus tetap bergerak aktif mendukungnya, dengan kegiatan sosialisasi dan kampanye yang dilakukan oleh setiap partai anggota koalisi. Sebagai contoh, ia menyebutkan PAN yang dikomandoi Eko Patrio cukup aktif menggelar acara-acara kampanye. Begitu juga Gerindra, Demokrat, Golkar, dan PKS, yang secara berkala mengadakan kegiatan untuk mempromosikan pasangan RK-Suswono. Namun, RK juga mencatat bahwa kurangnya peliputan media terhadap kegiatan-kegiatan ini membuat publik mungkin mengira bahwa mesin partai KIM Plus tidak bekerja dengan optimal.
Dalam konteks psikopolitik, publik juga sering kali menilai berdasarkan persepsi emosional dan pola pikir yang dibentuk oleh eksposur media dan popularitas figur politik. Ketidakhadiran media dalam meliput kampanye dan aktivitas partai-partai koalisi dapat menciptakan kesan di benak masyarakat bahwa RK kurang didukung atau bahkan “ditinggalkan.” Hal ini memengaruhi persepsi kolektif pemilih yang cenderung melihat keberhasilan kandidat sebagai cerminan kuatnya dukungan koalisi. Dalam hal ini, ketidakterpaduan dalam pencitraan publik membuat RK mungkin terlihat kurang efektif, meskipun faktanya mesin partai tetap berjalan.
Namun, tantangan dalam koalisi besar seperti KIM Plus yang terdiri dari 16 partai politik dengan basis pemilih yang beragam juga tidak bisa diabaikan. Koordinasi antarpartai menjadi faktor kunci yang dapat memengaruhi soliditas kampanye. Setiap partai memiliki dinamika internal dan prioritas yang berbeda, yang sering kali menciptakan hambatan dalam menjalankan kampanye yang terkoordinasi dengan baik.
Lebih jauh, dari perspektif psikopolitik, pemilih Jakarta mungkin juga mempertimbangkan rekam jejak kepemimpinan RK di daerah lain. Evaluasi terhadap keberhasilan atau kekurangan RK di masa lalu akan memengaruhi persepsi pemilih Jakarta tentang kemampuannya sebagai calon pemimpin ibu kota. Ekspektasi yang tinggi ini dapat menjadi beban psikologis bagi RK, di mana setiap gerakannya dievaluasi lebih kritis, terlebih lagi jika dibandingkan dengan sosok Pramono Anung-Rano Karno yang memiliki popularitas dan rekam jejak yang juga diperhitungkan.
Sementara itu, pasangan Pramono Anung dan Rano Karno tampaknya berhasil menarik perhatian pemilih Jakarta. Kharisma Rano Karno sebagai tokoh publik yang populer serta pengalaman Pramono dalam pemerintahan menambah daya tarik mereka. Kombinasi popularitas figur publik dan pengalaman politik mereka menciptakan citra yang disukai pemilih, yang dari sudut psikopolitik dapat membangkitkan rasa kepercayaan dan kedekatan emosional. Pramono-Rano tampaknya mampu memanfaatkan preferensi emosional pemilih Jakarta yang mencari keseimbangan antara kompetensi dan kharisma.
Publik juga memiliki kecenderungan emosional untuk terhubung dengan kandidat yang mencerminkan aspirasi atau nilai-nilai yang mereka pegang. Dalam hal ini, Pramono-Rano mungkin berhasil mencerminkan harapan pemilih yang menginginkan perubahan dan stabilitas secara bersamaan. Fenomena ini dapat menjelaskan mengapa dukungan untuk RK, meskipun memiliki koalisi besar, justru masih kalah bersaing. Ketika pemilih merasa ada figur yang lebih mendekati aspirasi kolektif, mereka cenderung beralih, bahkan jika kandidat itu didukung oleh koalisi yang lebih kecil. Faktor psikologis inilah yang dapat memengaruhi sikap pemilih lebih dalam dari sekadar jumlah partai pendukung.
Dengan semua dinamika ini, pertanyaan apakah RK benar-benar “ditinggalkan” oleh KIM Plus menjadi lebih kompleks. Fenomena penurunan elektabilitas RK bisa jadi lebih berkaitan dengan tantangan psikopolitik dalam membangun persepsi publik yang kuat dan konsisten, serta kepekaan koalisinya untuk mengelola strategi komunikasi yang efektif (***)
Discussion about this post