Radarhukum.id Kediri – Situasi di Kantor Bersama Samsat Kota Kediri mulai memanas setelah pemberitaan dari media “Berita Patroli” minggu lalu memuat dugaan praktik pungutan liar (pungli) sistematis. Dalam judul beritanya, media tersebut menyoroti adanya legalisasi pungli yang melibatkan oknum di Satlantas Polres Kediri Kota, sekaligus menyerukan Kabid Propam Polda Jawa Timur untuk segera mengusut tuntas kasus ini.
Pemberitaan tersebut mengangkat dugaan sindikat mafia berkedok biro jasa yang diduga tumbuh subur di lingkungan Samsat Kota Kediri. Padahal, sesuai Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ), setiap proses administrasi kendaraan, seperti cek fisik kendaraan lima tahunan untuk penggantian Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), harus dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP).
Namun, viralnya berita ini justru memunculkan sorotan dari masyarakat yang mengaku jarang melihat kendaraan truk, bus, atau mobil mewah datang ke Samsat untuk proses penggantian STNK lima tahunan.
Narasumber media ini, seorang warga berinisial RAH mengungkapkan pengalamannya ketika mengurus perpanjangan STNK sepeda motor atas nama orang lain. RAH diminta untuk kembali satu bulan kemudian karena kendaraan tersebut belum dibalik nama.
“Saat saya tanyakan alasan aturan tersebut, petugas hanya mengatakan itu perintah pimpinan. Bahkan, disarankan melapor langsung ke Kasatlantas jika tidak setuju,” ujar RAH menirukan ucapan petugas.
Karena merasa dipersulit, RAH akhirnya menitipkan pengurusan pajak lima tahunan kepada biro jasa dengan biaya tambahan sebesar Rp500.000, yang terdiri dari Rp465.000 untuk biaya “kode dalam” dan Rp35.000 untuk jasa biro.
Narasumber lain, SL, menuturkan bahwa biro jasa dilayani selepas jam operasional sekitar pukul 15.00 WIB. “Saya pernah melihat tumpukan berkas di sore hari, tetapi tidak ada masyarakat yang dilayani. Ternyata, semua berkas itu milik biro jasa,” ungkapnya.
Ketua LSM RATU, Saiful Iskak, mengecam praktik ini. Menurutnya, dugaan pungli di Samsat Kota Kediri harus segera diusut tuntas karena berpotensi merugikan masyarakat.
“Ini jelas pemerasan. Kami meminta Kapolda Jawa Timur mengambil langkah tegas terhadap oknum yang terlibat. Jangan biarkan aturan dipersulit hanya untuk mencari keuntungan pribadi,” tegas Saiful.
Lebih parahnya lagi, dugaan praktik “pengondisian” terhadap awak media juga mencuat. Salah satu petugas Samsat, berinisial A, diduga mengatur pemberian “upeti” rutin kepada awak media.
Hal ini diduga dilakukan untuk meredam pemberitaan negatif dan menciptakan citra kondusif, meskipun praktik pungli tetap berjalan di balik layar. Sikap ini dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap profesi jurnalis demi menjaga kepentingan tertentu. Saat media ini mendalami informasi ini ke Samsat, A tidak menampik adanya upeti tersebut, sambil menjelaskan upeti ini diberikan dengan syarat menyerahkan fotokopi kartu identitas wartawan (KTA) dan pengambilannya setiap Jumat dan Sabtu pada minggu kedua dan ketiga setiap bulan.
Situasi di Samsat Kota Kediri kini menjadi sorotan, terutama di tengah semangat reformasi dan pemberantasan korupsi yang digaungkan oleh pemerintahan Presiden Prabowo. Praktik seperti ini dinilai mencoreng upaya bersih-bersih yang sedang digalakkan di berbagai sektor.
Discussion about this post