Jakarta, Radarhukum.id – Ketua Umum Perkumpulan Advokat Indonesia (Peradin), Ropaun Rambe, M.AD., menyayangkan penetapan tersangka terhadap seorang mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB) berinisial SSS oleh pihak kepolisian. Ia menilai tindakan aparat penegak hukum tersebut prematur, cacat hukum, dan mencederai prinsip dasar negara hukum.
SSS dituding melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) karena mengunggah meme satire bergambar Presiden Prabowo Subianto dan mantan Presiden Joko Widodo. Ia dijerat dengan Pasal 27 ayat (1) jo Pasal 45 ayat (1), serta Pasal 35 jo Pasal 51 ayat (1) UU ITE.
Menurut Ropaun Rambe, yang dikenal luas sebagai tokoh advokat senior dan intelektual hukum progresif di Indonesia, pasal-pasal yang digunakan terhadap SSS tidak tepat sasaran dan jauh dari konteks normatifnya. “Pasal 27 ayat (1) UU ITE membahas distribusi konten bermuatan kesusilaan, bukan karya satire politik. Begitu pula Pasal 35, itu menyasar manipulasi data elektronik untuk menipu atau merugikan, bukan kritik visual,” ujarnya tegas.
Lebih jauh, ia menekankan, penegakan hukum harus berdasar pada asas legalitas dan proporsionalitas, bukan atas dasar tekanan politik atau sensitivitas pejabat publik.
“Cukup dibina saja, tapi tidak harus pidana dengan ancaman sanksi yang serius seperti ini. Jika tidak ada kerugian nyata, tidak ada unsur tipu daya, dan tidak ada korban dalam kerangka hukum yang sah, maka pemidanaan atas nama ekspresi merupakan bentuk penyimpangan hukum,” tegasnya.
Ropaun juga menyinggung dua Putusan Mahkamah Konstitusi terbaru yang telah memberi ruang bagi kebebasan berekspektasi dan perpendapat, bebas dari jeratan pasal karet UU ITE. Putusan tersebut yaitu Nomor 105/PUU-XXII/2024 yang dengan jelas menyatakan, lembaga negara dan pejabat publik tidak dapat mengadukan delik pencemaran nama baik. Dan Putusan MK Nomor 115/PUU-XXII/2024 yang menegaskan, bahwa kerusuhan di ruang digital/siber tidak termasuk tindak pidana sepanjang tidak mengganggu ketertiban umum di ruang fisik.
“Putusan ini bersifat final dan mengikat, dan mestinya menjadi rambu hukum yang dipatuhi oleh seluruh aparat penegak hukum,” paparnya.
Sebagai figur yang telah puluhan tahun memperjuangkan penegakan hukum, Ropaun menyayangkan adanya kecenderungan kriminalisasi terhadap ekspresi mahasiswa yang bersifat kritik atau satire.
“Satire adalah bagian dari dialektika demokrasi. Jika kritik visual pun dimasukkan ke dalam ruang pidana, maka demokrasi Indonesia sedang ditarik mundur,” katanya.
Ia mengingatkan, bahwa hukum pidana adalah instrumen keadilan yang hanya dapat dijalankan bila seluruh unsur delik terpenuhi secara objektif dan terukur.
“PERADIN akan mengawal proses ini, karena tidak ingin hukum digunakan sebagai alat tekanan terhadap kebebasan sipil. Jika penegakan hukum menjauh dari keadilan, maka kami akan berdiri di barisan pembela rakyat,” pungkasnya.
Ropaun Rambe, M.AD yang telah jadi praktisi hukum dan pengurus organisasi advokat sejak zaman Orde Baru ini, adalah mentor dari ribuan advokat di tanah air, penulis buku-buku hukum yang kerap dijadikan referensi kampus dan pengadilan, serta dikenal sebagai penggerak reformasi peradilan yang konsisten. Pandangannya sering dijadikan rujukan dalam forum-forum hukum nasional. (Ifan)
Discussion about this post