Oleh: Ifanko Putra
Oleh sebagian orang, istilah “timun bungkuk” atau “mentimun bungkuk” barangkali agak asing. Tetapi, bagi yang berasal dari Sumatera Barat, Jambi dan Sumatera pada umumnya mungkin sudah familiar dengan adagium timun bungkuk ini.
Timun bungkuk itu, masuk karung bersama timun lainnya namun tidak masuk dalam bilangan. Tidak dianggap dan hanya sebagai pencukup saja.
*
Beberapa waktu lalu, saya bercengkrama dengan salah seorang politisi senior Kota Batam dalam suatu kesempatan. Sejumlah hal yang disampaikannya cukup menarik.
Katanya, diantara persoalan politik kita saat ini adalah banyaknya oknum politisi yang menjabat tidak memiliki kapasitas dan kompetensi mumpuni.
Banyak anggota legislatif yang duduk saat ini, hanya sebagai pelengkap kursi saja. Posisinya sebagai anggota dewan hampir tidak ada manfaatnya buat rakyat. Demikian kata politisi itu yang saya tangkap.
“Oknum Anggota Legislatif dimaksud, ketika orang rapat dia ikut rapat, namun tidak bersuara. Orang Kunker ke luar kota dia ikut juga, namun buat dia itu hanya sebagai tamasya. Tidak ada fungsinya sebagai wakil rakyat yang benar-benar dia lakoni dengan baik,” katanya.
Sebab hal yang demikian, kata politisi senior itu, salah satunya adalah kurangnya kompetensi diri yang bersangkutan. Saat seharusnya dia menyuarakan suara rakyat dalam rapat, dia malah tidak mengerti persoalan. Kadangkala posisinya di komisi yang dibidanginya tidak sesuai dengan latarbelakang disiplin ilmunya. Hal ini tentu boleh saja apabila yang bersangkutan mau belajar dan meningkatkan diri. Yang jadi masalah adalah sudah tidak paham tidak mau pula belajar.
“Selanjutnya, yang jadi persoalan adalah yang bersangkutan tidak cakap dalam komunikasi, sehingga dia tak bersuara tatkala seharusnya menyampaikan pendapat. Padahal suaranya, pekerjaannya, berpengaruh langsung terhadap nasib rakyat,” paparnya.
Mendengar hal tersebut, saya menganggap oknum yang demikian patut diberi gelar politisi timun bungkuk. Hanya pencukup untuk memenuhi kursi saja, tetapi tidak ada kontribusinya. Orang seperti ini umumnya dipilih karena populer namun minim prestasi dan kompetensi.
*
Selain yang disampaikan oleh sang Politisi itu, persoalan lain yang merusak tatanan demokrasi kita adalah politik uang. Sang oknum Politisi sudah keluar modal banyak, yang dipikiran bukan lagi masyarakat tetapi bagaimana cara balik modal dan untung besar. Perannya tidak lagi untuk memperjuangkan masyarakat. Hal ini berlaku untuk legislatif dan eksekutif.
Sebelum menulis catatan ini, saya ingat tadi siang, saya tengah membeli suatu keperluan di sebuah warung kelontong.
Tatkala duduk menunggu yang saya pesan, datang dua orang pemuda menawarkan brosur dan mempromosikan salah satu kandidat calon legislatif kepada saya dan orang lainnya yang ada di warung tersebut. Jelas mereka ini adalah tim sukses dari calon tersebut. Saya mendengarkan apa yang mereka sampaikan hingga kemudian mereka pergi ke tempat lain. Sepeninggal tim sukses itu, datang pemilik warung menyerahkan barang yang saya beli. Sembari menerima uang dari saya, Dia berkata,
“Tadi tim sukses ya bang?”
Saya mengiyakan.
“Kalau cuma promosi tidak ada uangnya gimana mau kita pilih. Kasih uang dulu baru kita pilih,” katanya sembari tertawa.
Saya menanggapi dengan senyum kecut, dan mencoba menjelaskan sehalus mungkin bahwa pemikiran seperti itu keliru.
Hingga menulis tulisan ini saya berpikir, pemilik warung itu, seperti halnya sebagian masyarakat yang lain masih memaknai pola yang salah dalam memilih pemimpin. Pemahaman yang salah ini menumbuh suburkan politik uang. Penyebabnya tidak hanya dari politisi saja tetapi dari masyarakat sendiri, sehingga jadilah politik sebagai barang dagangan, politik transaksional.
Ini bukan hal baru, karena mahalnya ongkos politik, politisi keluar uang besar untuk modal kampanye. Setelah duduk terpilih ia berupaya mengembalikan modal dan sedapat mungkin mengumpulkan laba dengan berbagai cara. Pola semacam inilah salah satunya yang memunculkan bibit koruptor baik di legislatif dan eksekutif, mereka merongrong uang negara dengan berbagai muslihat.
Untuk itu, di tahun politik ini masyarakat harus lebih cerdas bila tidak ingin mendapat pemimpin korup yang hanya akan mementingkan dirinya dan kelompoknya jika sudah beroleh jabatan.
Masyarakat jangan lagi mau disuap untuk memilih calon tertentu. Bayangkan lima tahun lamanya nasib kita dipegang oleh pemimpin tersebut, sedang kondisi kita saat ini masih serba tidak stabil. Jika dapat pemimpin yang abal-abal, maka kian terpuruk lah negara dan daerah kita.
Ada yang bilang, terima uangnya, tapi jangan pilih orangnya. Sebenarnya, akan lebih baik tolak uangnya laporkan orangnya.
Satu lagi, sebelum menentukan pilihan pastikan calon tersebut memiliki kapasitas yang mumpuni untuk memimpin dan memiliki integritas.
Discussion about this post