Oleh: Ifanko Putra
Demokrasi menjadi satu tonggak perubahan dalam sistem pemerintahan yang ada di dunia. Pada zaman dahulu sistem totalitarian umum dipakai, apalagi pada daerah, wilayah atau negara yang masih menganut sistem kerajaan. Masyarakat dipaksa untuk tunduk dan patuh terhadap aturan yang dibuat oleh penguasa tanpa berhak bersuara. Aturan tersebut bahkan cenderung semena-mena dan melanggar hak asasi manusia. Demokrasi dianggap sebagai sistem yang ideal karena berpihak kepada masyarakat, sebab demokrasi itu sendiri sesuai dengan pendapat Abraham Lincoln berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
Dalam era modern, masyarakat di belahan dunia, semakin sadar akan hak asasi mereka sebagai manusia. Masyarakat harus memiliki kebebasan untuk hidup dan menjalankan kehidupan mereka dengan damai, memiliki kebebasan mengutarakan pendapat, serta jauh dari penindasan. Maka, dengan sistem demokrasi harapannya hak asasi manusia terjamin, pemerintahan yang ada dapat berjalan sesuai kehendak masyarakat banyak. Masyarakat dapat menentukan pilihan bahkan mengoreksi pemerintahan yang berjalan apabila tidak sesuai dengan kehendak masyarakat itu sendiri.
Di Indonesia, demokrasi telah berjalan dan terus berbenah seiring era demi era pemerintahan. Mungkin ada yang mengira, negara kita baru belajar berdemokrasi, karena sebelumnya Indonesia berangkat dari kerajaan-kerajaan kecil yang bersatu atau dipersatukan. Padahal jauh sebelum Indonesia ada, nenek moyang masyarakat lokal seperti misalnya di Minangkabau (Sumatera Barat) telah mempraktikan cara hidup berdemokrasi. Di Sumatera Barat, sistim egaliter telah mengakar sejak dahulunya.
Musyawarah dan Mufakat diambil untuk menentukan suatu keputusan, termasuk dalam memilih pemimpin. Pemimpin tidak memegang kekuasaan mutlak, tetapi hanya ditinggikan seranting dan didahulukan selangkah. “Rajo alim rajo disambah, rajo lalim rajo disanggah,” demikian bunyi salah satu falsafah Minang, yang artinya pemimpin yang amanah, yang bekerja dengan benar akan diikuti kata-katanya, akan dihormati. Tetapi jika tindakan penguasa tersebut melenceng dari yang semestinya masyarakat akan memberi koreksi.
Makna Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa yunani yaitu demos dan kratos. Demos artinya rakyat dan kratos artinya pemerintahan. Secara bahasa Demokrasi artinya yang mengijinkan dan memberikan hak, kebebasan kepada warga negaranya untuk berpendapat serta turut serta dalam pengambilan keputusan di dalam pemerintahan.
Demokrasi menurut para ahli.
John L Esposito
Pada Sistem Demokrasi semua orang berhak berpartisipasi, baik terlibat aktif maupun mengontrol kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Selain itu, tentu saja dalam lembaga resmi pemerintah terdapat pemisahan yang jelas antara unsur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.
Abraham Lincoln
Demokrasi menurut Abraham Lincoln adalah sebuah hal yang didasari oleh rakyat. Abraham Lincoln menjelaskan bahwa demokrasi adalah sebuah pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Montesquieu
Kekuasaan negara harus dibagi dan dilaksanakan oleh tiga lembaga atau institusi yang berbeda dan terpisah satu sama lainnya, yaitu pertama, legislatif yang merupakan pemegang kekuasaan untuk membuat undang-undang, kedua, eksekutif yang memiliki kekuasaan dalam melaksanakan undang-undang, dan ketiga adalah yudikatif, yang memegang kekuasaan untuk mengadili pelaksanaan undang-undang. Dan masing-masing institusi tersebut berdiri secara independen tanpa dipengaruhi oleh institusi lainnya.
Sejarah Demokrasi Dunia
Gagasan demokrasi sebagai sistem pemerintahan berasal dari kebudayaan Yunani. Dengan sistem tersebut rakyat akan terlibat langsung dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan keberlangsungan sebuah negara.
Jadi, seluruh perkara kenegaraan harus dibicarakan langsung dengan rakyatnya. Demokrasi murni atau demokrasi langsung adalah sistem yang diusung di zaman tersebut. Ribuan tahun kemudian, pada abad ke-6 SM, bentuk pemerintahan yang relatif demokratis diperkenalkan di negara-negara bagian Athena oleh Cleisthenes pada 508 sebelum masehi.
Kondisi tersebut membuat Cleisthenes dikenal dengan panggilan bapak demokrasi Athena. Saat itu, Athena menganut demokrasi langsung dan memiliki dua ciri utama, yakni pemilihan warga secara acak untuk mengisi jabatan administratif dan yudisial di pemerintahan, serta majelis legislatif yang terdiri dari semua warga Athena.
Kesemuanya saat itu memiliki hak berbicara dan memberi suara di majelis Athena. Meski dibuat oleh majelis, demokrasi Athena berjalan dengan kontrol langsung dari rakyat. Rakyat akan menyuarakan pendapatnya lewat majelis atau pengadilan untuk membantu kendali politik.
Hingga pada saat memasuki abad pertengahan (6-15 M) di Eropa Barat, gagasan tersebut tidak digunakan lagi, ada banyak sistem dimana pemilihan tetap dilakukan meskipun hanya beberapa orang yang dapat bergabung.
Parlemen Inggris sendiri dimulai dari Magna Carta, sebuah dokumen yang menunjukkan bahwa kekuasaan Raja terbatas dan melindungi hak-hak tertentu rakyat. Parlemen terpilih pertama adalah Parlemen De Montfort di Inggris pada 1265. Namun hanya beberapa orang yang benar-benar dapat bergabung sebab parlemen dipilih oleh beberapa orang saja. (sumber: gramedia)
Secara garis besar, terdapat empat periode perkembangan demokrasi di Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Empat periode itu adalah:
1. Demokrasi Liberal-Parlementer (1945-1959)
Sistem demokrasi parlementer ditandai dengan sistem pemerintahan parlementer. Hal ini ditetapkan lewat Maklumat Wakil Presiden No. X dan Maklumat Pemerintah mengenai pergantian sistem pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer pada 3 November 1945. Pada 14 November 1945 terbentuklah kabinet pertama yang dipimpin Soetan Sjahrir atau Kabinet Sjahrir sebagai perdana menteri. Kabinet ini hanya berusia tiga bulan karena dijatuhkan oposisi. Tetapi pada 12 Maret 1946 kembali membentuk kabinet Sjahrir setelah ditunjuk Presiden Soekarno untuk kedua kalinya. Kabinet Sjahrir II terbentuk pada 12 Maret 1946 dan berakhir pada 2 Oktober 1946 sekali lagi akibat tekanan oposisi. Setelah itu, Sjahrir ditunjuk untuk ketiga kalinya membentuk kabinet. Kabinet Sjahrir III berlangsung selama kurun waktu 2 Oktober 1946 hingga 27 Juni 1947. Setelah pemerintahan Sjahrir III, kabinet silih dibentuk silih berganti. Tercatat ada kabinet Amir Sjarifudin I dan II, Kabinet Darurat, serta Kabinet Hatta I dan II. Pada 1949, demokrasi parlementer diperkuat dengan landasan konsititusional Undang-undang Dasar Sementara 1950. Di Undang-Undang Dasar Sementara 1950 menyatakan lembaga eksekutif atas presiden sebagai kepala negara konstitusional dan menteri-menteri bertanggungjawab kepada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan sehari-hari. Tetapi, hal itu tidak membuat kabinet pemerintahan berjalan stabil. Jatuh bangun kabinet terus berlangsung hingga Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang menandai berakhirnya era demokrasi liberal atau parlementer.
2. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)
Dalam dekrit 5 Juli 1959, Presiden Soekarno menegaskan berlakunya kembali UUD 1945. Dekrit tersebut adalah realisasi dari keinginan Soekarno untuk mengubah sistem demokrasi parlementer pada 27 Januari 1957 di Bandung. Soekarno mengungkapkan keinginannya untuk kembali bisa mencampuri urusan pemerintahan meskipun Badan Konstituante belum juga menyelesaikan membentuk undang-undang dasar yang baru. UUD 1945 memebuka kesempatan bagi seoramg presiden untuk bertahan selama lima tahun. Tetapi lewat ketetapan MPRS No. III/1963, jadilah Soekarno sebagai presiden seumur hidup. Di masa demokrasi terpimpin, keuasaan Soekarno sebagai presiden sangat besar. Dengan kekuasaannya tersebut, pada 1960 Soekarno bahkan membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hasil pemilihan umum.
3. Demokrasi Pancasila Era Orde Baru (1965-1998)
Peristiwa G30S/PKI segera mengakhiri era demokrasi terpimpin. Pada 1969, MPRS memberhentikan Soekarno sebagai presiden dan digantikan Soeharto. Indonesia memasuki era baru yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila.
Demokrasi Pancasila bermaksud untuk mengoreksi sistem politik selama masa demokrasi terpimpin yang dianggap bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Demokrasi Pancasila ingin meletakkan UUD 1945 sebagaimana terlahir setelah proklamasi. Tetapi dalam perkembangannya, peran presiden juga makin dominan terhadap lembaga-lembaga negara yang lain. Demokrasi Pancasila selama era Orde Baru ditandai dengan dominasi ABRI atau TNI, birokratisasi dan sentralisasi pengambilan keputusan politik. Campur tangan pemerintah dalam partai politik dan kehidupan politik masyarakat juga terjadi. Kondisi ini berlangsung hingga Mei 1998 ketika Soeharto terpaksa mundur dari posisi sebagai presiden akibat people power yang dinamakan sebagai Gerakan Reformasi.
4. Demokrasi Pancasila Era Reformasi (1998-Sekarang)
Seperti Demokrasi Pancasila ala Orde Baru yang ingin merevisi praktik demokrasi terpimpin, Demokrasi Pancasila era reformasi juga ingin merevisi praktik politik dan pemerintahan Orde Baru yang dianggap menyimpang. Pemerintahan BJ Habibie yang menggantikan Soeharto membuka belenggu terhadap kemerdekaan pers dan berbicara sesuai tuntutan reformasi. Pemilu bebas pertama setelah Orde baru digelar pada 1999, menempatkan KH Abdurrahman Wahid sebagai Presiden keempat Indonesia. Sampai masa pemerintahan Presiden Jokowi yang kedua saat ini, demokrasi di Indonesia masih terus mengalami tantangan dalam perkembangannya.
Jauh sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ada, demokrasi telah terlebih dahulu dipraktikan oleh masyarakat Minangkabau. Jika dirujuk dari historisnya, masyarakat minangkabau dulunya memiliki dua sistim politik, yaitu Bodi Caniago dan Koto Piliang. Kedua sistim politik ini dicetuskan oleh dua orang tokoh nenek moyang orang Minangkabau yakni Datuak Parpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan, keduanya merupakan saudara seibu berlainan ayah. Datuak Parpatiah Nan Sabatang mencetuskan sistim Bodi Caniago, sedangkan Datuak Katumanggungan mencetuskan Koto Piliang. Secara garis besar, sistim yang dianut oleh Datuak Katumangguangan lebih bersifat aristokrat, hal ini terlihat dalam falsafah yang dianutnya yaitu “Bajanjang naiak batanggo turun” (berjenjang naik, bertangga turun) artinya kekuasaan itu bersifat bertingkat-tingkat dan wewenang bersifat vertikal. (Sjafri Sairin 1995)
Sementara, sistim politik Bodi Caniago yang diturunkan oleh Datuak Parpatiah Nan Sabatang dilambangkan dengan falsafah adat yang berbunyi, “Duduak samo tingi tagak samo randah” yang artinya kesetaraan dan falsafah “Mambasuik dari bumi” yang maknanya keputusan datang dari bawah atau dari masyarakat banyak yang menggambarkan sistim pemerintahan yang egaliter dan vertikal.
Kedua sistim politik ini, juga disebut dengan istilah Lareh yakni lareh Koto Piliang dan Lareh Bodi Caniago yang jika ditarik dari sejarahnya masing-masing merupakan nama dari dua suku. Koto Piliang adalah gabungan dari suku Koto dan Piliang. Bodi Caniago merupakan gabungan dari suku Bodi dan Caniago.
Meski berasal dari dua aliran yang cenderung bertolak belakang, dalam perkembangannya, masyarakat minang lebih cenderung mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan. Hal tersebut berlaku hingga saat ini. Terlihat dalam falsafah adat yang dianut oleh masyarakt hingga sekarang.
“Bulek ayia dek pambuluah
Bulek kato dek mufakat”
(Bulat air karna pembuluh
Bulat kata karena mufakat)
“Kamanakan barajo ka mamak
Mamak barajo ka panghulu
Panghulu barajo ka mufakat
Mufakat barajo kanan bana
Nan bana badiri sandirinyo”
(Kemenakan beraja kepada mamak/paman
Mamak beraja ke penghulu
Penghulu beraja kepada mufakat
Mufakat beraja kepada kebenaran
Kebenaran berdiri sendirinya)
Dari falsafah ini, jelas bahwa mufakat atau musyawarah merupakan cara yang ditempuh masyarakat miangkabau dalam mengambil suatu keputusan. Bahkan penghulu atau pemimpin kaum harus patuh kepada keputusan dalam musyawarah.
Dalam memilih penghulu atau pemimpin kaum, status penghulu tidak diturunkan berdasarkan sistim keturunan seperti halnya raja-raja pada umunya. Masyarakat Minangkabau yang menganut sistim matrilineal biasanya memilih tokoh dalam satu suku yang memenuhi kriteria dengan cara musyawarah. Tak jarang musyawarah tersebut berlangsung alot jika calon penghulu lebih dari satu. Namun tetap pada akhirnya keputusan ditentukan oleh yang banyak. Meski peserta rapat umumnya adalah laki-laki, saran dari perempuan atau bundo kanduang tetap menjadi pertimbangan.
Setelah terpilih, mengemban amanah yang tidak ringan, melindungi dan mengayomi kaumnya. Pemimpin sendiri di Minangkabau memang dihormati, tetapi tidak Diagung-agungkan. “Didulukan salangkah, ditinggikan sarantiang” (didahulukan selangkah, ditinggikan seranting) Artinya tidak begitu jauh jaraknya dengan rakyat.
Jika pemimpin tidak benar dalam menjalankan tugasnya, maka masyarakat dapat pula memberi koreksi. Sehingga tidak ada istilahnya pemimpin yang otoriter dan bertindak semaunya di Minangkabau.
Sesuai dengan falsafah yang umum dipakai oleh orang Minang. “Rajo Alim rajo disambah, Rajo lalim rajo disanggah” artinya pemimpin yang amanah, yang bekerja dengan benar akan diikuti kata-katanya, akan dihormati. Tetapi jika tindakan penguasa tersebut melenceng dari yang semestinya masyarakat akan memberi koreksi bahkan tidak mematuhi pemimpin tersebut.
Dengan sistim demokrasi yang ada di Minangkabau sedemikian rupa, masyarakat dapat hidup dan berbaur dengan mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam mengambil suatu keputusan.
Kesimpulan
Demokrasi memungkinkan masyarakat mendapatkan haknya dengan semestinya. Pemerintahan harus berjalan berdasarkan kehendak masyarakat dan jauh dari kebijakan yang sewenang-wenang serta mengutamakan musyawarah untuk mengambil suatu kebijakan. Di Indonesia sendiri, demokrasi terus berubah dan berbenah dari tiap era pemerintahan.
Sementara itu, jauh sebelum Indonesia ada ternyata Masyarakat di Minangkabau (Sumatera Barat sekarang), telah lebih dahulu mempraktikan hidup berdemokrasi. Masyarakat minangkabau terbiasa hidup dengan egaliter, selalu mengutamakan musyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan, termasuk dalam memilih pemimpin. Pemimpin yang telah dipilih pun juga tidak boleh bertindak otoriter dalam membuat suatu keputusan. Tetapi lebih mengutamakan suara terbanyak dari masyarakat dan kesepakatan berama. Saat pemimpinnya bekerja, masyarakat juga berhak mengawasi dan mengoreksi jika keliru dalam menjalankan jabatannya.
Keberadaan demokrasi dengan berbagai turunannya dinilai penting untuk menjamin keberlangsungan dan kedamaian dalam suatu kelompok hingga suatu negara.**
Discussion about this post