Wartawan adalah profesi mulia. Wartawan atau jurnalis salah satu pilar penting dalam menjaga demokrasi. Wartawan bekerja menyuarakan kebenaran, mencatat sejarah, menyampaikan informasi penting kepada publik, dan melakukan kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah. Dalam menjalankan tugasnya, wartawan juga terikat oleh Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit pihak yang menyalahgunakan profesi wartawan. Mereka menjual embel-embel jurnalis untuk keuntungan pribadi dengan cara bobrok.
Di tengah gampangnya mendirikan perusahaan media berbasis internet atau media siber, banyak individu tanpa latar belakang jurnalistik yang memadai mendirikan media, dan mengklaim dirinya sebagai pemimpin redaksi atau pemilik media, lantas merekrut wartawan. Jadilah mereka bak main wartawan-wartawanan.
Seorang pemimpin redaksi bukanlah gelar sembarangan. Ia harus mengantongi sertifikasi wartawan utama, atau paling tidak memiliki pengalaman sebagai wartawan betulan minimal lima tahun, memahami Kode Etik Jurnalistik, mengetahui dasar-dasar Undang-Undang Pers, serta mahir dalam tata bahasa Indonesia dan penulisan jurnalistik.
Namun, kenyataan di lapangan, alih-alih mengantongi sertifikasi, banyak yang tidak memahami penggunaan bahasa Indonesia dengan benar. Bikin judul berita saja masih belepotan, tetapi dengan percaya diri mengklaim diri sebagai pemimpin redaksi. Bahkan, jika dilihat dari hasil karya jurnalistiknya, menjadi wartawan saja mereka tidak pantas. Praktik yang seperti inilah yang kemudian melahirkan wartawan dan media abal-abal.
Lebih memprihatinkan, sebagian dari mereka menjalankan peran yang tidak etis, seperti bertindak layaknya penyidik, atau merangkap sebagai anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk menakut-nakuti narasumber, di mana dalam praktiknya di lapangan, mereka menelusuri kasus, menulis berita kadang dengan diri sendiri sebagai narasumbernya selaku LSM, lalu bertindak layaknya orang hebat, gembar gembor membikin aduan, yang kebanyakan cuma pepesan kosong. Tujuannya biasanya mencari keuntungan melalui pemerasan atau “86.” Tulisan ini, tentu saja bukan untuk menyinggung LSM, karena masih banyak LSM yang idealis, keras mengkritik serta melakukan kontrol sosial dan tidak mau disogok.
Selanjutnya, ada yang bertindak layaknya mafia. Dengan memakai embel-embel wartawan, dia mengutip upeti dari berbagai bisnis dan usaha ilegal seperti judi, prostitusi, dan lain sebagainya agar usaha hitam itu tidak diberitakan.
Wartawan odong-odong semacam ini hanya memanfaatkan profesi untuk kepentingan pribadi, tanpa memedulikan dampak buruk bagi kredibilitas pers. Insan jurnalis yang bekerja dengan benar, secara tidak langsung bisa kena dampak dari tindakan praktik kotor yang mereka lakukan.
Jangan tanyakan kepada mereka tentang Ida B. Wells, Carl Bernstein-Bob Woodward, Tirto Adhi Soerjo, Adinegoro, atau Rosihan Anwar. Bila mereka benar-benar mendalami jurnalistik dan menilik sejarahnya, tentu mereka memahami profesi jurnalis bukan sekedar untuk mencari penghasilan, tapi juga sarana untuk memperjuangkan kebenaran, keadilan, dan demokrasi dengan cara yang pantas.
Kebijakan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, dalam kondisi seperti ini memang ada baiknya, meski masih ada juga wartawan senior yang kurang sepakat dengan UKW. Untuk bisa lulus UKW, wartawan harus memiliki pemahaman tentang Kode Etik Jurnalistik, Undang-Undang Pers, Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA), serta kemampuan menulis, menyunting berita, hingga membangun jejaring.
Namun, tanggung jawab tidak berhenti di situ. Wartawan yang telah lulus UKW tetap dikungkung aturan. Jika mereka melanggar Kode Etik Jurnalistik atau bahkan terlibat dalam praktik pemerasan, masyarakat dapat melaporkannya ke Dewan Pers. Konsekuensinya, kartu UKW yang bersangkutan bisa dicabut, dan mereka tidak lagi diakui sebagai wartawan profesional.
Keberadaan wartawan abal-abal, ancaman bagi kredibilitas jurnalistik. Mereka merusak citra wartawan profesional dan menggerus kepercayaan publik terhadap media. Untuk itu, diperlukan peran dari berbagai pihak, mulai dari Dewan Pers, komunitas pers profesional, pemerintah, hingga masyarakat, untuk melakukan pengawasan dan mengambil langkah tegas. Pihak yang merasa dirugikan wartawan abal-abal ini, agar tidak segan melaporkan kepada Dewan Pers dan aparat penegak hukum.
Media juga harus bertanggung jawab dalam merekrut wartawan. Pendidikan dan pelatihan jurnalistik yang baik harus menjadi prioritas. Di sisi lain, masyarakat juga perlu selektif menilai informasi yang mereka konsumsi.
Discussion about this post