Oleh: Ifanko P.
Menulis adalah kerja intelektual yang kompleks. Untuk membuat tulisan berkualitas diperlukan analisis, kreativitas dan kemampuan merangkai tulisan. Seorang penulis harus menggali ide, membangun argumen yang logis, serta mempertimbangkan sudut pandang pembaca agar tulisan bermutu dan tepat sasaran. Penulis profesional tentu akan menghadirkan tulisan yang bermakna kepada pembaca, bukan hanya deretan kata yang kosong dari nilai.
Menurut Slamet St. dkk. dalam bukunya Dasar-Dasar Keterampilan Berbahasa Indonesia, keterampilan menulis pada hakikatnya bukan cuma kemampuan menulis simbol-simbol grafis yang membentuk kata dan kalimat menurut aturan tertentu, tetapi kemampuan menuangkan buah pikiran ke dalam bahasa tulis melalui kalimat-kalimat yang dirangkai secara utuh, lengkap, dan jelas sehingga dapat dikomunikasikan dengan baik kepada pembaca.
Tidak ada jalan pintas dalam menulis. Kemampuan menulis harus diasah melalui pengalaman, riset, dan banyak membaca. Dengan banyak membaca, seseorang mampu memperluas cakrawala berpikir, menambah perbendaharaan kata yang berguna dalam menyampaikan ide secara efektif, dan tahu bagaimana cara menulis. Jika malas membaca, jangan bermimpi jadi penulis, kecuali jika tahan malu dengan terus terusan meminjam “otak robot.”
Akhir-akhir ini, banyak muncul penulis “karbitan” yang terlalu bergantung pada teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk menghasilkan tulisan. Alih-alih digunakan sebagai alat bantu, hasil tulisan AI diambil begitu saja tanpa proses penyaringan atau pengolahan, kemudian diakui sebagai karya sendiri.
Tentu tidak ada salahnya memanfaatkan teknologi AI untuk memudahkan kita, sebab teknologi seperti itu adalah keniscayaan. Namun yang jadi soal, penulis karbitan ini ingin terlihat produktif dan cerdas, namun malas berpikir dan malas belajar meningkatkan kapasitas. Hanya bergantung sepenuhnya mengandalkan hasil kerja AI. Jadinya tulisan yang muncul ke permukaan tampak seragam memakai gaya dan kosakata yang senada, seperti tulisan-tulisan robot.
Teknologi AI memang menawarkan kemudahan dan kecepatan. Namun, AI, seberapa canggih pun, memiliki keterbatasan. Misalnya, AI sering kali gagal menangkap konteks atau nuansa yang diperlukan untuk menulis dengan kedalaman. Kemudian, AI cenderung melakukan generalisasi berlebihan dan sulit memahami kerumitan argumen manusia yang membutuhkan perasaan atau sensitivitas terhadap isu-isu tertentu. Dalam membangun argumen, AI kerap kali menghasilkan pernyataan yang melenceng atau kurang relevan. Kesenjangan pemahaman antara AI dan nalar manusia ini sering tidak disadari oleh mereka yang langsung menerima output AI tanpa analisis lebih lanjut.
Ketergantungan yang berlebihan pada AI mengikis keterampilan berpikir kritis dan kreativitas penulis, serta merendahkan kualitas intelektual. Publik yang jeli bisa menilai apakah sebuah tulisan adalah buatan manusia, atau hanya sekadar hasil dari mesin. Mengklaim karya AI sebagai tulisan pribadi, terutama oleh akademisi atau penulis profesional, sama saja dengan mempertontonkan kedangkalan intelektual.
Ambisi untuk terlihat produktif dan mahir dalam menulis bisa berujung pada kehancuran kredibilitas bila terlampau berpatokan pada AI, apalagi bila 100 persen mencatut hasil AI sebagai karya sendiri. Meminjam istilah yang sering diucapkan Rocky Gerung, orang semacam ini pantas disebut penulis “dungu.”
Menulis bukan ajang untuk “tampil cerdas.” Kita harus memahami, teknologi AI hanyalah alat bantu. Penulis sejati bertanggung jawab atas setiap kata yang dituangkan dan dipublikasikan. Sebaik-baiknya karya adalah karya yang dihasilkan oleh hasil pemikiran dan kualitas intelektual sendiri.
Jadikan menulis sebagai sarana untuk menggali potensi diri dan memperkaya pemikiran, Jangan mengejar popularitas instan tanpa fondasi yang kokoh. Sebuah tulisan adalah cermin dari kemampuan dan wawasan penulisnya.
Discussion about this post