Batam, Radarhukum.id – Komisi I DPRD Kota Batam mendesak aparat penegak hukum segera menindaklanjuti kasus penipuan kavling bodong yang marak terjadi di Batam. Sekretaris Komisi I DPRD Batam, Anwar Anas, meminta kepolisian bergerak cepat dan profesional dalam menangani kasus yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah.
“Polisi harus cepat bertindak, melakukan penyelidikan secara menyeluruh dan profesional. Korbannya masyarakat kecil yang sudah mengumpulkan uang sedikit demi sedikit demi punya rumah yang sah,” ujar Anwar di ruang Komisi I DPRD Batam, Kamis (7/8/2025).
Politikus Partai Gerindra ini juga mengimbau masyarakat agar melapor langsung ke aparat penegak hukum jika menjadi korban penipuan, tanpa melalui pihak ketiga, guna menghindari hambatan dalam proses hukum.
“Segala sesuatu yang merugikan masyarakat, segera dilaporkan ke polisi. Jangan ke mana-mana dulu,” katanya. Ia menambahkan, DPRD siap mengatur pendampingan hukum bagi korban jika dibutuhkan.
Anwar mengingatkan warga agar lebih teliti sebelum membeli kavling. Ia menegaskan bahwa sejak 2015–2016, BP Batam sudah tidak lagi menerbitkan alokasi Kavling Siap Bangun (KSB), sehingga legalitas lahan harus dicek melalui pihak berwenang.
“Jangan sampai tertipu dua kali. Bahkan sekarang ada korban yang setelah kena kavling bodong, ditipu lagi oleh oknum pengacara,” ujarnya.
Ia memastikan DPRD akan memantau perkembangan kasus ini dan mendorong proses hukum berjalan adil. “Kami akan pantau terus, tapi masyarakat juga harus aktif melapor. Ini untuk mencegah korban baru,” tegasnya.
Korban Kavling Bodong Kembali Tertipu Kuasa Hukum
Terpisah, 25 kepala keluarga (KK) dari total 144 korban dugaan penipuan kavling oleh pengembang PT Era Cipta Karya Sejati di Batam kembali menjadi korban penipuan. Mereka mengaku kehilangan uang hingga Rp25 juta setelah kuasa hukum yang mereka tunjuk, berinisial S, menghilang tanpa kabar.
S sebelumnya menjanjikan penyelesaian kasus dalam tiga bulan. Namun hingga kini, tidak ada perkembangan berarti.
“Jangankan menyelesaikan kasus, membuat laporan polisi saja akhirnya kami yang lakukan sendiri,” kata Heny Fitry, salah satu korban, Rabu (6/8/2025).
Menurut Heny, warga sempat mengumpulkan dana secara kolektif untuk membayar jasa hukum S. Pada April 2025, S meminta Rp40 juta, namun disepakati Rp25 juta dan langsung diserahkan malam itu juga.
Dua minggu kemudian, tidak ada tindak lanjut. Ketika ditanya, S mengklaim masih dalam tahap penyelidikan. Pada Juni, warga kembali bertemu S, yang lalu meminta tambahan Rp1,4 juta untuk pembuatan plang dan biaya transportasi, termasuk untuk wartawan yang dibawanya.
“Baru kami tahu belakangan, minta tolong wartawan sebenarnya tidak perlu bayar,” kata Heny.
Pertemuan terakhir pada akhir Juli, S menyebut ingin melakukan penyitaan aset pengembang, namun tidak dapat menjelaskan aset yang dimaksud. Sejak itu, S tidak bisa dihubungi.
“Nomornya tidak aktif. Kami putuskan buat laporan sendiri ke Polres, dan masih tunggu itikad baik S hingga akhir bulan ini,” ujarnya.
Hingga berita ini ditulis, S belum memberikan tanggapan dan tidak dapat dihubungi.**
 
			















 
                                 
                                











Discussion about this post