Oleh: Ifanko Putra
Banyak hal yang mula-mula kita yakini sebagai suatu kebenaran, ternyata hanyalah semu belaka. Ia bisa berupa kesalahpahaman, kedok yang menutupi, atau cuma sekadar persepsi dangkal. Kebenaran hakiki memang kerap tersembunyi di balik kabut persepsi, dan biasanya akan tersingkap perlahan, melalui celah-celah yang dibuka oleh waktu.
Saya turut mengamati kasus perseteruan antar tetangga yang lagi viral beberapa hari ini di media sosial. Tentu Anda sudah tahu, antara Muhammad Imam Muslimin, atau yang akrab disapa Yai Mim, mantan dosen UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dengan tetanganya, Nurul Sahara. Peristiwa tersebut ramai berseliweran di berbagai platform media sosial.
Mulanya, netizen menempatkan Yai Mim sebagai semacam public enemy. Video dirinya yang berguling di tanah menjadi viral, disusul narasi pura-pura stroke saat di kantor polisi, lalu ditambah berbagai narasi negatif yang dengan cepat berkembang. Tekanan sosial dampak dari peristiwa itu, banyak orang yang menghujatnya. Dia kehilangan pekerjaan, sempat diusir dari lingkungan perumahan, serta mendapat stigma negatif.
Namun seiring waktu, informasi baru mulai muncul. Video dan kesaksian dari pihak Yai Mim menyingkap sudut pandang berlainan. Perlahan opini publik berbalik arah. Simpati mayoritas netizen mulai mengalir kepadanya, sementara kritik dan hujatan justru berbalik diarahkan kepada Sahara dan lingkarannya.
Tetapi ada juga yang masih ragu-ragu, atau pun memilih tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan apakah kebenaran berada di pihak Yai Mim, atau justru di pihak Sahara.
Terlepas dari kasus tersebut, sesekali mungkin pernah muncul pertanyaan di dalam kepala kita, khususnya saat mendengar sesuatu atau melihat sebuah peristiwa, manakah sesungguhnya yang benar? Apakah kebenaran itu yang sering muncul di layar gawai, digerakkan algoritma media sosial? Apakah kebenaran itu suara yang paling lantang, atau pendapat yang paling banyak diyakini?
Filsuf Plato melalui karyanya The Republic (Politeia) menceritakan kisah menarik berkaitan dengan kebenaran ini. Para penikmat filsafat tentu tidak asing lagi dengan Alegori Gua atau Allegory of the Cave Plato yang bercerita tentang sekelompok orang yang sejak kecil terpenjara di gua. Mereka seumur hidup hanya dapat menatap dinding, yang sewaktu-waktu akan diperlihatkan benda-benda, dibawa orang melewati jalan di belakang mereka. Benda-benda tersebut memunculkan aneka bayangan yang dipantulkan api. Bagi mereka, bayangan tersebut adalah kenyataan sejati, itulah penampakan dunia sebenarnya menurut tawanan tersebut. Namun tatkala seorang dari tawanan berhasil keluar, ia lantas menyaksikan pohon, batu, sungai, dan matahari di luar sana. Akhirnya dia melihat dan menyadari semua jauh lebih indah dan nyata dibanding bayangan semu di gua. Masalahnya, ketika ia kembali untuk bercerita, teman-temannya menolak percaya. Mereka lebih nyaman dengan bayangan yang telah lama mereka yakini.
Situasi ini mirip dengan cara publik sering terjebak oleh potongan video, caption singkat, atau narasi sepihak di media sosial. Kebenaran versi algoritma tampak meyakinkan, padahal bisa jadi itu keliru dan jauh dari fakta. Untuk menyingkap kebenaran dibutuhkan keberanian keluar dari gua. Menggali konteks, mencari sumber, dan membuka diri pada kemungkinan bahwa persepsi awal bisa keliru. Meski begitu, banyak orang tetap bertahan pada kebenaran versinya sendiri, karena merasa benar sering lebih kuat daripada rasa ingin tahu.
Untuk memahami kebenaran dibutuhkan keseimbangan antara akal sehat dan pengalaman. Ia tidak bisa cuma bertumpu pada persepsi seseorang, sebab persepsi mudah bias. Namun kebenaran juga tak boleh disandarkan pada suara mayoritas, sebab jumlah tidak otomatis menjamin kebenaran.
Sesungguhnya, kebenaran itu tidak pernah benar-benar menjadi milik si A ataupun B, dia berdiri sendiri. Kebenaran tidak dapat diklaim oleh suara paling lantang atau paling ramai, tidak bisa ditunggangi oleh yang pandai bernarasi, beretorika atau bahkan raja atau pengusa sekalipun. Ada satu penggalan falsafah lokal lebih tepatnya dari Minang yang relevan dengan ini. Begini bunyinya: “Mufakat barajo ka nan bana, nan bana badiri sandirinyo.” Artinya, mufakat atau musyawarah bertuan kepada kebenaran, sementara kebenaran itu berdiri tegak sendiri, independen, tidak bergantung pada siapa pun juga.
Kebenaran tidak pernah tunduk pada arus opini. Yang dapat kita perebutkan bukanlah kebenaran, tapi ketepatan dalam menyingkapnya. Tinggal lagi apakah kita berani atau tidak keluar dari gua untuk menyelidiki kebenaran, meski jalan itu sering sepi, berliku, atau kadangkala penuh cahaya menyilaukan.






























Discussion about this post