Dr. (C). H. Tirtayasa, S.Ag., M.A., C.NLP., C.LCWP.
Widyaiswara Ahli Muda (Junior Trainer) BKPSDM Kabupaten Natuna,
Kandidat Doktor PAI pada Universitas Muhammadiyah Malang,
Penerima Beasiswa Kaderisasi Seribu Ulama Doktor MUI-Baznas Pusat Angkatan 2021.
Pendahuluan
Pemahaman yang memandang pensyariatan hukum Islam (fikih) sebagai ajaran Islam yang berkarakter simbolik, legalistik, eksoterik, dan formalistik an sih merupakan pemahaman yang tidak sepenuhnya dapat diterima. Pola pemahaman tersebut dimungkinkan karena keterbatasan dalam memahami pesan dan substansi pensyariatan itu sendiri (Mas'ud dan Fuad, 2018; Islamy, 2021). Padahal pensyariatan ajaran Islam sudah pasti mengandung dimensi kemaslahatan untuk umat manusia (Wijaya, 2015; Islamy, 2021), baik pada sisi eksoterik (lahir) maupun sisi esoterik (batin) (Ahmad, 2014; Islamy, 2021).
Bulan Ramadhan adalah bulan yang ditunggu-tunggu oleh umat Islam dan dinilai sebagai bulan yang penuh berkah dan ampunan (Ashar, 2022; Kurniadi dan Putri, 2021; Nafia dan Khafidhoh, 2021; Novitasari dan Prastyo, 2020; Septiani et al., 2024; Shufya, 2022). Puasa Ramadhan bukanlah aktivitas ibadah simbolik tahunan tanpa nilai dan makna (Islamy, 2021; Mufaizin 2018), melainkan memiliki misi besar dalam pembentukan kepribadian umat Islam (Islamy, 2021; Nurjannah, 2017). Hal demikian tidak lain disebabkan kewajiban ibadah puasa bukanlah sekedar kategori ibadah yang berorientasi teosentrik, melainkan juga berorientasi antroposentrik (Islamy, 2021; Umairso, 2018). Oleh sebab itu, pemahaman yang bercorak legal formal fikih an sih terhadap perintah kewajiban puasa Ramadhan merupakan pemaknaan sempit yang dapat mendistorsi nilai filosofis dari tujuan pensyariatan ibadah puasa. Model pemahaman legal formalistik tersebut juga dapat berimplikasi pada model penalaran teologis dalam beragama Islam yang memusatkan segala aktivitas kehidupan seorang muslim hanya pada relasinya dengan Tuhan, tanpa menghiraukan harkat dan martabat manusia dan problem kemanusiaan dalam kehidupan lingkungan sosial sekitar. Dengan kata lain, hal ini akan melahirkan wujud keberagamaan dengan pemahaman ajaran agama yang tidak utuh, sehingga menjadikan ajaran agama hanya memberi janji pahala dan surga, dengan mengabaikan dimensi ajaran kemanusiaannya (Islamy, 2021; Nafis, 2015).
Ibadah puasa Ramadhan merupakan media bagi umat Islam untuk melatih dan meningkatkan kesadaran serta ketaatan dalam beragama. Namun sayangnya masih banyak umat Islam yang berpuasa tanpa menghayati makna dan maksud puasa serta tanpa mengikuti petunjuk dan pedoman yang harus ditaati, sehingga mereka hanya memperoleh rasa haus dan lapar. Padahal, puasa apabila dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukunnya secara benar akan memberikan manfaat yang sangat besar bagi umat Islam (Mukmin, 2017).
Ibadah puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat Islam. Ibadah ini tidak hanya melatih menahan lapar dan dahaga, namun juga sarat dengan nilai-nilai pendidikan yang penting untuk diimplementasikan dalam kehidupan. Tulisan ini selanjutnya akan membahas implementasi nilai-nilai pendidikan ibadah puasa Ramadhan dalam pelaksanaan fungsi dan tugas ASN di tempat kerja, dengan harapan bahwa nilai-nilai tersebut tidak hanya diimplementasikan di bulan Ramadhan tetapi juga di bulan-bulan lain selain bulan suci tersebut.
Fikih Ibadah Puasa Ramadhan
Secara etimologis, fikih berasal dari kata fiqh yang merupakan istilah bahasa Arab yang berasal dari akar kata faqiha-yafqahu-fiqhan. Kata fiqh tersebut mengandung arti al-‘Ilm bi al-syai' wa al-fahm lahu wa al-fathanah (pengetahuan, pemahaman, dan ketajaman pemikiran terhadap sesuatu) (Norhadi, 2019; al-Zadi, 1996). Kata fiqh juga mengandung arti idrak al-syai' wa al-‘Ilm bihi (mengetahui dan memahami sesuatu) (Norhadi, 2019; Zakaria, 1981).
Secara terminologis, fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang tafsili/terperinci dari Al-Qur'an dan hadis (Ali, 2004; Gafrawi dan Mardianto, 2023). Senada dengan pengertian di atas, dijelaskn bahwa fikih merupakan kajian ilmu Islam yang digunakan untuk mengambil tindakan hukum terhadap sebuah kasus tertentu dengan mengacu pada ketentuan yang terdapat dalam syariat Islam yang ada (Gafrawi dan Mardianto, 2019; al-Qurtuby, 2003).
Al-Jurjani (t.th.) mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan tentang hukum-hukum syariat yang bersifat praktis (amaliah) yang diperoleh (secara ijtihadi) dari dalil-dalilnya terperinci. Definisi di atas juga diikuti oleh Muhammad Amim Ihsan (2003) dalam bukunya al-Ta'rifat al-Fiqhiyah, Ibrahim (2014) dalam karyanya al-Fiqh al-Islami: Ahkam al-‘Ibadat, dan Wahbah al-Zuhaili (1985) dalam karyanya al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Anshori, 2021).
Secara substansial, fikih diklasifikasi sebagai berikut. Pertama, fikih taharah, yaitu hukum yang berkenaan dengan bersuci dari najis dan kotoran. Fikih ini merupakan pintu bagi segala bentuk dalam Islam. Kedua, fikih ibadah, yaitu hukum yang berkenaan ibadah, seperti salat, puasa, zakat, dan penyelenggaraan jenazah. Ketiga, fikih akhwal syakhshiyah, yaitu hukum yang berkenaan dengan keluarga, seperti nikah, cerai, nasab, dan kewarisan. Keempat, fikih muamalah, yaitu hukum yang berkenaan dengan pertukaran harta, amanat, perselisihan di dalamnya. Kelima, fikih siyasah, yaitu hukum yang berkenaan politik dan kenegaraan. Keenam, fikih jinayah, yaitu hukum yang berkenaan dengan pidana, seperti mencuri, zina, dan sebagainya. Ketujuh, fikih adab, yaitu hukum yang berkenaan dengan adab, akhlak, dan perbuatan baik (Anshori, 2021; al-Zuhaili, 1985).
Secara etimologis, ibadah berasal dari bahasa Arab, ‘abada-ya'budu-‘ibadatan, yang berarti mengesakan, melayani, dan patuh. Ibadah mengandung arti taat, menurut, mengikuti, tunduk yang setinggi-tingginya dan doa (Huda, 2022; al-Shiddieqy, 2001). Ibadah merupakan perbuatan untuk menyatakan bakti kepada Allah dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya (Depdikbud, 2003; Huda, 2022). Menurut Muhammad Hasan Musa (1999) dalam karyanya al-‘Ibadat al-Qalbiyah wa Atsaratuha fi Hayat al-Mu'minin, ibadah adalah istilah yang menghimpun segala apa yang dicintai Allah dan diridai-Nya berupa perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan, baik yang bersifat batin maupun zahir (Anshori, 2021).
Ulama tauhid mengartikan ibadah dengan mengesakan Allah dan mentakzimkan-Nya (mengagungkan-Nya) dengan sepenuh hati seraya menundukkan dan merendahkan diri kepada-Nya. Ulama akhlak mengartikan ibadah dengan beramal secara badaniah dan melaksanakan segala syariat. Menurut ulama tasawuf, ibadah adalah mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan keinginan nafsunya, untuk membesarkan Tuhan-Nya. Menurut ulama fikih, ibadah adalah mengerjakan sesuatu untuk mencapai keridaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat (Huda, 2022; Syukur, 2010). Menurut Quraish Shihab, ibadah ialah ketundukan dan ketaatan yang berbentuk lisan dan praktik yang timbul akibat keyakinan tentang ketuhanan yang kepadanya seseorang tunduk (Huda, 2022; Shihab, 1987).
Secara etimologis, puasa adalah imsak yang berarti menahan diri (Anggraini, 2019; Khoir, t.th.), dari segala sesuatu, seperti makan, minum, nafsu, berbicara, dan sebagainya (Anggraini, 2019; Rasjid, 2012). Secara terminologis, puasa berarti menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai dari terbit fajar sampai dengan terbenam matahari dengan niat dan beberapa syarat tertentu atau menahan diri dari perkara yang membatalkan puasa sejak terbitnya fajar sadik sampai terbenamnya matahari dengan disertai niat. Sumber lain menjelaskan bahwa puasa dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan shaum atau shiyam. Secara lughawi, shaum atau shiyam berarti berpantang atau menahan diri dari sesuatu, diam, berhenti, atau berada di suatu tempat. Dalam pengertian syarak, puasa adalah menahan hawa nafsu dari makan, minum dan hubungan seksual dari terbit fajar sampai terbenam matahari (Anggraini, 2019; Arfan, 2011; al-Farisi, 2023; Sholehuddin, 2017).
Sumber lain menjelaskan, istilah shaum atau shiyam adalah dua istilah populer yang digunakan lantaran kedua kata ini merupakan diksi asli dari perintah kewajiban berpuasa. Disebutkan dalam kitab al-Mu'jam al-Mufahras li Alfazh Al-Qur'an al-Karim karya Muhammad Fuad Abd al-Baqi (2010) bahwa kata shaum disebut satu kali dalam Al-Qur'an, yaitu pada surat Maryam ayat 26, sedangkan kata shiyam diulang sebanyak delapan kali (Yahya, 2019).
Kata shiyam tersebar di surat al-Baqarah ayat 183, 187, 196 (empat kali), al-Nisa ayat 92, al-Ma'idah ayat 89 dan 95, serta al-Mujadilah ayat 4. Sebaran kata shiyam ini memiliki tujuan yang beragam, baik sebagai kewajiban membayar fidyah, diat, atau kafarat. Sementara itu, kata shiyam yang merujuk pada puasa Ramadhan terdapat pada surat al-Baqarah ayat 183 dan 187. Ayat 183 menyatakan kewajiban puasa Ramadhan, sedangkan ayat 187 menjelaskan aturan aktivitas puasa. Selain dua kata tersebut, Al-Qur'an juga memuat derivasi lain dari kata shaum dan shiyam, yaitu tashumu yang termasuk kategori fi'il mudhari', kata kerja yang bermakna sedang atau akan (al-Baqarah: 185) dan falyashumh (al-Baqarah: 185), serta al-sha'imin dan al-sha'imat (al-Ahzab: 95) yang merujuk pada pelaku puasa bentuk plural untuk pria dan perempuan (Yahya, 2019).
Secara etimologis, sebagaimana disebutkan dalam Kamus al-'Ain, kamus pertama dalam peradaban Islam, karya Khalil bin Ahmad al-Farahidi (718-789 M), shaum ataupun shiyam terbentuk dari akar kata shama-yashumu yang berarti imsak (menahan), shamt (diam tidak bicara), rukud (diam tidak bergerak), dan wuquf (berhenti). Jadi kedua kata tersebut secara bahasa berarti meninggalkan atau tidak makan-minum, tidak berbicara, dan tidak melakukan aktivitas apa pun. Makna harfiah ini kemudian menjadi makna pakem yang melekat pada istilah shaum dan shiyam sampai saat ini (Yahya, 2019).
Sebagimana dikutip oleh al-Hasan bin Abdillah bin Sahl bin Said, yang terkenal dengan panggilan Abu Hilal al-‘Askari (920-1005 M), dalam al-Furuq fi al-Lughah, kata shiyam memiliki arti menahan diri dari hal-hal yang membatalkan (makan, minum, jimak) dengan disertai niat, sedangkan kata shaum bermakna meninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa atau tidak berbicara. Berbeda dengan makna shaum atau shiyam secara etimologis, dalam lingkup syariat atau disiplin fikih, kedua kata tersebut secara istilah tidak menimbulkan perbedaan yang berarti. Kata shaum bersifat umum. Apa pun bentuk puasa bisa disebut shaum. Sedangkan shiyam lebih bersifat khusus dalam aspek ruh maknanya. Shaum atau shiyam dalam fikih Islam dimaknai sebagai aktivitas menahan diri, dengan disertai niat, dari makan, minum, berhubungan badan, dan segala hal yang membatalkan sejak terbitnya fajar sampai terbenam matahari. Mungkin saja dari sudut pandang tasawuf berbeda dan lebih dalam dengan menyentuh aspek etik sufistik, tetapi hal tersebut tidak dapat melepaskan diri dari makna puasa di atas yang lebih bersifat fisik (Yahya, 2019).
Pendapat lain menyebutkan, meskipun shaum dan shiyam memiliki arti yang sama, yaitu berpuasa atau menahan, keduanya berbeda penggunaannya secara semantik dalam Al-Qur'an. Adapun kata shaum lazimnya digunakan untuk makna menahan diri dari berbicara yang tidak baik. Karena itu, Siti Maryam ketika diperintahkan makan dan minum setelah melahirkan anaknya, dia diminta berpuasa menahan lidahnya agar tidak bicara dan berkata buruk saat melayani caci maki kaumnya. Sedangkan shiyam lazimnya digunakan untuk menunjukkan makna menahan dari makan, minum, dan berhubungan suami istri di siang hari Ramadhan. Karena itulah perintah untuk menahan makan dan minum serta berhubungan suami istri di siang Ramadhan hingga terbenam matahari disebut Allah dengan kata shiyam (Kholis, 2023).
Adapun salah satu cara lain untuk mengungkap hikmah dari dipopulerkannya kata shaum daripada kata shiyam adalah dengan melihat fi'il madhi (kata kerja lampau) kedua kata tersebut dan perbandingannya dengan kata lain berikut pembentukannya. Dalam hal ini, kata shaum dan shiyam berasal dari kata kerja yang sama, yaitu shama. Karena itu, persamaan dari shama menjadi shiyam dan shaum juga dapat dibandingkan dengan kata yang lain. Hal ini sebagaimana pada kata qaum dan qiyam yang sama-sama dibentuk dari kata qama. Namun, saat kata ini dalam bentuk masdar maka qaum bermakna kaum, sedangkan qiyam bermakna berdiri (Kholis, 2023).
Qaum yang juga sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia menjadi kaum tersebut menunjukkan kumpulan suatu komunitas manusia yang ajeg dan keberlangsungannya turun temurun hingga stabil sekian lama. Adapun qiyam yang artinya berdiri menunjukkan aktivitas setelah tidur atau duduk. Hal ini sebagaimana pada kata qiyamu Ramadhan yang dimaknai salat tarawih pada malam Ramadhan (Kholis, 2023).
Dengan demikian, qiyam bersifat sementara karena tidak lama. Hal ini sebagaimana juga shiyam yang dibatasi sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari, menahan diri untuk tidak makan, minum, dan lain sebagainya. Adapun shaum lebih dari sekedar shiyam. Aktivitas puasanya tak hanya oleh indra namun juga disertai dengan puasanya mulut dan hati. Hingga hati selalu merasakan kehadiran Allah Yang Maha Satu yang hakiki, dan melihat selain Allah adanya secara majazi. Karena itu, shaum lebih dipopulerkan daripada shiyam oleh para ulama, juga mungkin dimaksud agar shiyam dapat berlanjut kepada shaum. Dengan demikian, Ramadhan yang di dalamnya terdapat qiyam dan shiyam juga dapat mewujudkan qaum yang shaum (Khalis, 2023).
Menurut Abu Bakar Jabir el-Juzairi (1991), puasa adalah tidak makan, tidak minum, tidak menggauli istri dan menjauhi diri dari segala rupa yang boleh dimakan semenjak fajar sampai terbenamnya matahari. Puasa adalah menahan diri dari makan dan minum dan hal yang membatalkan puasa mulai terbit fajar sampai terbenamnya matahari (Arfan, 2011). Puasa juga didefinisikan sebagai menahan diri dari sesuatu yang membatalkan sejak matahari terbit hingga matahari terbenam dengan niat dan syarat tertentu (al-Farisi, 2023; Syarbini dan Afgandi, 2012).
Abi Abdillah Muhammad bin Qasim as-Syafi'i (t.th.), sebagaimana ditulis dalam kitab Tausyah a'la Fath al-Qarib al-Mujib mengemukakan bahwa puasa menurut syarak adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya seperti keinginan untuk bersetubuh, dan keinginan perut untuk makan semata-mata karena taat (patuh) kepada Tuhan dengan niat yang telah ditentukan seperti niat puasa Ramadhan, puasa kifarat atau puasa nazar pada waktu siang hari mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari sehingga puasanya dapat diterima kecuali pada hari raya, hari-hari tasyrik dan hari syak, dan dilakukan oleh seorang muslim yang berakal (tamyiz), suci dari haid, nifas, suci dari wiladah (melahirkan) serta tidak ayan dan mabuk pada siang hari (Azis, 2022).
Dalam pandangan Abi Yahya Zakaria al-Anshari (t.th.), sebagaimana disebutkan dalam kitab Fath al-Wahab bi Syarh Manhaj al-Thulab, puasa menurut istilah terminologi syarak adalah menahan diri dari segala sesuatu yang dapat membatalkannya sesuai dengan tata cara yang telah ditentukan. Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (t.th.), dalam kitab Fath al-Mu'in bi Syarh Qurrat al-‘Ain, menjelaskan bahwa puasa menurut bahasa mempunyai arti menahan, sedangkan menurut syarak adalah menahan diri dari segala yang membatalkan puasa dengan syarat-syarat tertentu. Menurut Imam Taqiyuddin Abu dalam Bakar bin Muhammad al-Husaini (t.th.), sebagainya dijelaskan dalam kitab Kifayat al-Akhyar fi Hall Ghayat al-Ikhtishar, puasa adalah menurut syarak adalah menahan diri dari sesuatu yang telah ditentukan bagi seseorang yang telah ditentukan pula pada waktu tertentu dengan beberapa syarat (Azis, 2022).
Sedangkan Imam Muhammad bin Ismail al-Kahlani (t.th.) dalam kitab Subul al-Salam menjelaskan bahwa puasa adalah menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan lain-lain yang telah diperintahkan menahan diri darinya sepanjang hari menurut cara yang telah disyaratkan, disertai pula menahan diri dari perkataan sia-sia (membual), perkataan yang merangsang (porno), perkataan-perkataan lainnya baik yang haram maupun yang makruh pada waktu yang telah disyariatkan, dan disertai pula menahan diri dari perkataan-perkataan lainnya baik yang haram maupun yang makruh pada waktu yang telah ditetapkan dan menurut syarat yang telah ditentukan (Azis, 2022).
Para sufi memberikan pengertian yang lebih luas mengenai puasa. Menurut para sufi, puasa adalah menahan diri dari makan, minum, dan bersetubuh sejak matahari terbit hingga Magrib karena mengharap rida Allah dan untuk menyiapkan diri untuk bertakwa kepada-Nya, dengan cara memperhatikan Allah dan mendidik nafsu sepanjang hari menurut cara yang disyariatkan, disertai pula menahan diri dari perkataan yang sia-sia, perkataan yang mengundang fitnah, serta perkataan yang diharamkan dan dimakruhkan menurut syarat-syarat yang telah ditentukan dan waktu yang telah ditetapkan (al-Farisi, 2023; Syarbini dan Afgandi, 2010).
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat ditarik pengertian bahwa puasa (shiyam/shaum) adalah suatu substansi ibadah kepada Allah yang memiliki syarat dan rukun tertentu dengan jalan menahan diri dari segala keinginan syahwat, perut, dan dari segala sesuatu yang masuk ke dalam kerongkongan, baik berupa makanan, minuman, atau apa saja yang dapat membatalkan puasa sejak terbit fajar hingga terbenam matahari, yang dilakukan oleh orang Islam yang berakal, tidak haid, dan tidak pula nifas, yang dilakukan dengan yakin dan disertai dengan niat (Anggraini, 2019; Azis, 2015).
Ramadhan adalah nama bulan pelaksanaan ibadah puasa yang merupakan bulan kesembilan dalam tahun hijriah (Anggraini, 2019). Jadi yang dimaksud dengan ibadah puasa Ramadhan adalah ibadah puasa yang dilaksanakan di bulan Ramadhan. Sementara itu, ada beberapa sebutan lain untuk bulan Ramadhan, yaitu bulan Al-Qur'an, bulan puasa, bulan salat malam, bulan doa, rahmat, bulan ampunan, bulan kesabaran, bulan sedekah, bulan rezeki, dan bulan kedermawanan (Nurhakim, 2018; Nurhakim, 2018). Ini mengandung makna, bahwa bulan Ramadhan tidak hanya diisi dengan ibadah puasa saja, tapi juga diisi dengan ibadah-ibadah lainnya sesuai dengan sebutan-sebutan lain dari bulan suci ini.
Syeikh Manna' al-Qaththan (2012) menceritakan bahwa ibadah puasa disyariatkan setelah peristiwa hijrah. Setelah tiba di Madinah, Rasulullah aktif menjalankan puasa Asyura (10 Muharram) sebelum puasa Ramadhan diwajibkan. Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas, “Ketika tiba di Madinah, Rasulullah menyaksikan umat Yahudi Madinah berpuasa Asyura. ‘Puasa apa?' tanya Rasulullah. ‘Ini (Asyura) hari baik. Allah menyelamatkan Musa dan Bani Israil dari musuh mereka pada hari ini,' jawab Yahudi Madinah. Rasulullah kemudian juga ikut berpuasa Asyura dan memerintahkan sahabatnya untuk berpuasa Asyura. “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian,” kata Rasulullah (Kurniawan, 2021).
Ibadah puasa Ramadhan disyariatkan pada tahun kedua hijriyah. Allah menurunkan surat al-Baqarah ayat 183-185 sebagai perintah wajib puasa Ramadhan. Setelah ibadah puasa Ramadhan diwajibkan, Rasulullah memberikan pilihan kepada sahabatnya untuk mengamalkan dan tidak mengamalkan puasa Asyura. “Sungguh, Asyura adalah salah satu hari (milik) Allah. Siapa saja yang ingin berpuasa di dalamnya, silakan berpuasa,” kata Rasulullah. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dari sahabat Ibnu Umar (Kurniawan, 2021; al-Qaththan, 2012).
Guru besar hukum Islam di Mesir, Syeikh Muhammad Afifi al-Baijuri yang dikenal dengan nama pena Syeikh Muhammad Khudari Bek (1872-1927 M), mengatakan, pada tahun pertama, dalam perintah wajib puasa Ramadhan, para sahabat dilarang untuk mendekati (menggauli) istri mereka pada malam-malam Ramadhan (Bek, 1995; Kurniawan; 2021). Aturan tersebut dirasa berat oleh para sahabat. Al-Qur'an kemudian meringankan keberatan dan kesulitan pelaksanaan ibadah Ramadhan tersebut melalui surat al-Baqarah ayat 187 yang membolehkan mereka untuk menggauli istri pada malam hari Ramadhan (Bek, 1995).
Awalnya, umat Islam diberikan pilihan antara mengerjakan ibadah puasa Ramadhan dan fidyah sebagai dendanya jika tidak melaksanakan ibadah puasa Ramadhan. Hal ini disebutkan oleh Al-Qur'an pada surat al-Baqarah ayat 183-184. Surat al-Baqarah ayat 184 secara jelas memberikan pilihan kepada umat Islam yang mampu melakukan puasa untuk berpuasa atau membayar fidyah sekiranya dia memiliki beban atau kesulitan tambahan, yaitu memberikan makan kepada fakir miskin setiap harinya. Meski demikian, pilihan puasa tetap lebih baik daripada membayar fidyah (Ismail, 2015; Kurniawan, 2021).
Prinsip pemberlakuan hukum secara bertahap merupakan manhaj Al-Qur'an. Tahapan ini yang juga dilakukan Al-Qur'an terhadap kewajiban puasa. Puasa merupakan ibadah yang sulit, terlebih bagi masyarakat di negeri tertentu seperi Hijaz; dan bagi masyarakat muslim-muslim awal yang umumnya fakir dan susah sehingga butuh mengerahkan kemampuan fisik untuk mendapatkan penghasilan harian. Ketika masyarakat telah terbiasa dengan ibadah puasa, Al-Qur'an menghapus pilihan fidyah tersebut melalui surat al-Baqarah ayat 185. Al-Qur'an mewajibkan ibadah puasa Ramadhan bagi mereka yang sehat dan mampu setelah sebelumnya memberikan pilihan kepada mereka untuk berpuasa atau menggantinya dengan fidyah (Ismail, 2015; Kurniawan, 2021).
Tahapan pewajiban puasa melalui tiga fase sebagaimana riwayat hadis Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan al-Baihaqi. Kewajiban fase pertama, kewajiban puasa selama tiga hari dalam setiap bulan dan puasa Asyura. Fase kedua, kewajiban ibadah puasa Ramadhan dengan pilihan berbuka puasa dan denda fidyah bagi mereka yang mampu secara fisik menjalankan puasa. Mereka yang ingin berpuasa dipersilakan. Mereka yang memilih berbuka puasa, juga dipersilakan dengan membayar fidyah. Sedangkan fase ketiga, kewajiban ibadah puasa Ramadhan tanpa pilihan membayar fidyah bagi mereka yang mampu secara fisik (Ismail, 2015; Kurniawan, 2021.
Dasar hukum puasa khususnya puasa Ramadhan adalah Al-Qur'an dan sunah (hadis) (Anggraini, 2019). Dasar hukum puasa Ramadhan berupa Al-Qur'an adalah firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (Q.S al-Baqarah: 183).
“Beberapa hari yang ditentukan itu ialah bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah dia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur” (Q.S Al-Baqarah: 185).
Dasar hukum puasa Ramadhan berupa hadis adalah sabda Nabi Muhammad,
“Islam adalah bahwa engkau bersaksi bahwa tiada yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah, engkau menegakkan salat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, serta berhaji ke rumah (Allah) bila engkau sanggup menempuh jalan untuk itu” (H.R. Bukhari dan Muslim).
“Islam dibangun di atas lima (perkara, pondasi): syahadat laa Ilaha Illallah wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuluhu, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, berhaji ke Baitullah, dan berpuasa Ramadhan” (H.R. Bukhari dan Muslim) (Angraini, 2019).
Ada seorang Arab Badui datang kepada Rasulullah dengan keadaan kepalanya penuh debu lalu berkata, “Wahai Rasulullah, kabarkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan buatku tentang salat?” Maka beliau menjawab, “Salat lima kali kecuali bila kamu mau menambah dengan yang sunah.” Orang itu bertanya lagi, “Lalu kabarkan kepadaku apa yang telah Allah wajibkan buatku tentang puasa?” Maka Beliau menjawab, “Puasa di bulan Ramadhan kecuali bila kamu mau menambah dengan yang sunah” (H.R. Bukhari) (Al-Farisi, 2023).
Syarat-syarat wajib puasa ada lima yaitu, beragama Islam, mukallaf (dewasa dan berakal sehat), ithaqah (mampu/ kuat), sehat dan iqamah (bukan musafir) (Anggraini, 2019; Arfan, 2011). Syarat sah puasa adalah beragama Islam, berakal sehat, suci dari haid dan nifas, mengetahui bahwa sudah wajib berpuasa pada saat itu (tahu sudah masuk puasa) (Anggraini, 2019; Arfan, 2011). Rukun puasa ada dua, yaitu pertama, niat pada setiap malam selama bulan Ramadhan. Yang dimaksud dengan malam puasa adalah malam yang sebelumnya. Kedua, menahan diri dari segala yang membatalkan puasa sejak terbit fajar sampai terbenam matahari (Anggraini, 2019; Rasyid, 2012).
Hal-hal yang membatalkan puasa ada sebelas, yaitu masuknya sesuatu ke dalam lambung perut lewat lubang yang ada di anggota tubuh, muntah denagn sengaja, berhubungan suami istri, keluar air mani secara langsung (dalam keadaan jaga) dengan syahwat dan disengaja, mengetahui dan mengerti bahwa semua (empat) hal itu membatalkan puasa, gila walau hanya sebentar, mabuk atau pingsan, yang jika disengaja namun menghabiskan waktu siang, datang haid, murtad, melahirkan, dan nifas (Anggraini, 2019; Arfan, 2011).
Hal-hal yang membatalkan pahala puasa adalah berdusta (berbohong), ghibah (bergunjing), mengadu domba, memandang hal-hal yang haram ataupun halal namun dengan syahwat, bersumpah palsu (Anggraini, 2019; Khoir, t.th.). Sumber lain menyebutkan bahwa perbuatan-perbuatan yang membatalkan pahala puasa adalah sebagai berikut: berbicara yang sia-sia dengan perkataan yang tergolong maksiat perkataan (ma'shiat al-maqal); marah-marah tanpa terkendali; melakukan pertengkaran; membayangkan sesuatu yang jorok dan maksiat; menghasut, memfitnah, ghibah dan riya; seluruh jenis pekerjaan yang tidak pantas dilakukan oleh orang muslim apalagi ketika sedang berpuasa, misalnya mendatangi tempat-tempat maksiat (Anggraini, 2019; Hamid dan Saebani, 2010).
Puasa Ramadhan termasuk ibadah wajib yang artinya jika dikerjakan akan diberi pahala, dan jika ditinggalkan maka dihukumi dosa. Meskipun demikian, puasa Ramadhan termasuk ibadah yang istimewa, karena Allah menjanjikan pahala yang tak terhitung banyaknya sehingga tidak disebutkan besaran pahalanya karena Allah yang secara langsung memberikannya. Berkaitan dengan pahala menjalankan puasa Ramadhan, Rasulullah bersabda,
“Setiap amalan kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat. Allah Taala berfirman (yang artinya), “Kecuali amalan puasa. Amalan puasa tersebut adalah untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya, disebabkan dia telah meninggalkan syahwat dan makanan karena-Ku. Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada bau minyak kasturi” (H.R. Bukhari dan Muslim) (Musawwa dan Saputro, 2022).
Selain itu, bagi orang yang menjalankan puasa Ramadhan dengan beriman dan mengharap-harap pahala, maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya, sebagaimana sabda Rasulullah,
“Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu” (H.R. Imam Bukhari dan Imam Muslim) (Musawwa dan Saputro, 2022).
Imam al-Ghazali (t.th.) membagi tingkatan puasa menjadi tiga. Pertama, puasa umum, yaitu mencegah perut dan kemaluan dari memenuhi keinginannya. Puasa umum ini dititikberatkan hanya pada menahan diri dari hal-hal yang membatalkan, dalam bentuk kebutuhan perut dan kelamin, tanpa memandang lagi hal-hal yang diharamkan dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Pada tingkat ini seseorang yang melakukan puasa tidak akan terbebas dari kemaksiatan, karena pada tingkat ini tidak mengikutkan hatinya untuk berpuasa pula.
Kedua, puasa khusus, yaitu berusaha mencegah pandangan, penglihatan, lidah, tangan, kaki dan anggota-anggota tubuh lainnya dari dosa. Puasa khusus ini, disamping mencegah keinginan perut dan nafsu kelamin, juga menahan keinginan anggota-anggota badan seluruhnya. Menurut al-Ghazali, perbedaan antara tingkatan umum dan tingkatan khusus terletak pada pengekangan diri yang dilakukan masing-masing. Pada tingkatan umum, orang berpuasa dengan menahan diri dari makan, minum, hubungan seksual, dan segala hal lain yang membatalkan puasa. Sementara, kalangan khusus berpuasa dengan menahan diri dari segala yang membatalkan puasa, disertai menahan diri dari segala perbuatan buruk. Dia menahan mata, lisan, telinga, kaki, tangan, dan anggota tubuh lainnya dari keburukan.
Ketiga, puasa khusus dari khusus, yaitu puasa hati dari segala cita-cita yang hina dan segala pikiran duniawi serta mencegahnya dari selain Allah secara keseluruhan. Puasa khusus dari yang khusus menurut al-Ghazali adalah puasanya para Nabi, orang-orang shiddiq dan yang dekat dengan Khaliq, yang menganggap batal apabila memikirkan hal-hal yang bersifat duniawi yang menyebabkan hatinya lupa terhadap Allah. Sedangkan memikirkan masalah-masalah duniawi yang mendorong ke arah pemahaman agama tidak membatakan puasa menurut puasa khusus dari yang khusus ini karena hal tersebut dianggap sebagai tanda ingat kepada akhirat (Azis, 2015).
Nilai Pendidikan Islam dalam Ibadah Puasa Ramadhan
Islamy (2021) menjelaskan sedikitnya ada tiga nilai pendidikan yang terdapat dalam ibadah puasa Ramadhan. Pertama, nilai pendidikan keimanan. Secara etimologis, kata “iman” berasal dari Bahasa Arab, dan merupakan bentuk mas}dar dari akar kata: aamana yang berarti “good faith, sincerity” (percaya); amaana yang berarti “fidelity, loyality” (ketaatan, kesetiaan); amaan yang berarti “protection granted” (diberikan perlindungan, aman); dan aamana yang berarti “to believe, to give one's faith” (percaya, mempercayai) dan “to protect, to place in safety” (melindungi, menempatkan sesuatu pada tempat yang aman). Dari beberapa arti kata “iman” tersebut dapat ditegaskan bahwa, secara etimologis “iman” berarti “kepercayaan atau pembenaran”, yakni sikap membenarkan sesuatu, atau menganggap dan mempercayai sesuatu yang benar. Jadi, “iman” adalah “faith”, yakni kepercayaan. Orang yang beriman disebut “mu'min” (Lewis et al., 1971; Shodiq, 2014).
Al-Qur'an menyebut kata “iman” dalam berbagai bentuk kata jadian yang tidak kurang dari 550 kali, seperti: aamanuu, yu‘minu, yu‘minuun, mu‘miniin, dan mu‘min. Bahkan menurut Ali Audah, kata “iimaan” dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 718 kali dalam Al-Qur'an. Kadang-kadang penyebutan tersebut digunakan untuk menunjuk “ciri perilaku” atau sifat orang beriman, dan kadang-kadang menunjuk kepada “objek” yang harus diimani. Penyebutan kata “iimaan” dalam Al-Qur'an yang berulang-ulang ini dapat dipahami bahwa “iman” merupakan sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia, dan sekaligus merupakan kunci pokok dalam membentuk keislaman dan kepribadian seseorang (Audah, 2003; Shodiq, 2014).
Jika merujuk pada pelbagai teori iman dalam kajian teologi Islam, maka setidaknya dapat dikatakan bahwa konstruksi keimanan meliputi dua dimensi pokok, yaitu dimensi batin dan dimensi lahir. Dimensi batiniah (internal act) merupakan kondisi dan perbuatan batin (kejiwaan) yang melibatkan ranah kognisi, afeksi, dan konasi secara bersama-sama. Dimensi batiniah ini terdiri dari dimensi keyakinan sepenuh hati terhadap pelabagai doktrin ajaran Islam, seperti halnya rukun iman. Selain dimensi keyakinan, dalam dimensi batiniah juga terdapat dimensi sikap batin dalam menerima keadaan dan sekaligus adanya keinginan yang kuat untuk menjalani kehidupan sesuai dengan perintah dan aturan Allah. Dimensi lahir (external act) merupakan tindakan anggota badan yang bersifat empirik, baik berupa perkataan lisan maupun lainnya. Perilaku lahiriah ini merupakan bentuk perwujudan kondisi dan perbuatan batin (internal act) (Islamy, 2021: Shodiq, 2014).
Wujud nilai pendidikan keimanan dalam ritualitas ibadah puasa tecermin dalam pelaksanaan ibadah puasa yang disertai keyakinan bahwa segala aktivitas dalam berpuasa senantiasa diawasi oleh Allah. Sejatinya seseorang yang sedang berpuasa mudah untuk melakukan kebohongan publik, yakni dengan berpura-pura untuk tidak makan dan tidak minum di depan orang lain, tapi karena selalu merasa diawasi Allah maka dia tidak melakukan kebohongan tersebut (Islamy, 2021; Nafis, 2015).
Kedua, nilai pendidikan karakter. Pembentukan karakter dalam diri seseorang menjadi individu yang lebih baik pada pelbagai aspek, baik aspek inteketual, emosional bahkan spiritual bukanlah hal yang mudah, melainkan membutuhkan usaha yang serius, intensif dan kontinyu, baik melalui pendidikan formal maupun non formal. Terlebih dalam konteks era globalisasi saat ini, pendidikan karakter tersebut semakin menjadi kebutuhan sebagai solusi problem moral serta dapat menjadi benteng yang kuat dari pengaruh beragam budaya globalisasi (Islamy, 2021; Istiani dan Islamy; 2018).
Dalam konteks ibadah puasa, kata imsak (menahan) sebagai kata kunci dalam pelaksanaan ibadah puasa bukan hanya berarti tindakan menahan diri dari perkara-perkara yang dilarang, seperti makan, minum, berhubungan intim pada siang hari. Namun juga bermakna aktivitas menahan dari pelbagai keinginan atau godaan hawa nafsu. Hal demikian disebabkan sejatinya ibadah puasa bukanlah ibadah yang menekankan aktivitas jasmani semata, melainkan juga aktivitas nafsani (Islamy, 2021).
Sebagai aktivitas nafsani, ibadah puasa dapat menjadi medium pendidikan karakter seorang muslim yang menjadi bagian dari pensyariatan hukum Islam (maqashid syariah). Dalam konteks ini dapat dimasukkan dalam nilai hifz nafs (memelihara jiwa). Melalui ibadah puasa, dharapkan dapat melahirkan pribadi-pribadi muslim yang memiliki kesabaran dan keikhlasan sebagaimana dijelaskan dalam hadis Nabi,
“Puasa merupakan perisai. Jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak. Jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah, aku sedang berpuasa” (H.R. Bukhari dan Muslim) (Islamy, 2021; Nafis, 2015).
Penjalasan tekstual normatif hadis di atas mengisyaratkan bahwa puasa seperti halnya perisai yang dapat menjaga pertahanan dari serangan lawan. Penjelasan demikian dapat dipahami bahwa sejatinya orang yang berpuasa sedang melakukan penguatan diri dari serangan hawa nafsu yang selalu menjerumuskan pada perbuatan tercela. Tidak berhenti di situ, anjuran untuk mengatakan sebagai orang yang sedang menjalankan ibadah puasa ketika menghadapi hinaan atau penyerangan dari orang lain, mengisyaratkan pesan ajaran Islam agar pemeluknya bersikap pasif dalam pelbagai tindakan yang dapat memicu disintegrasi sosial, seperti permusuhan, pertikaian, peperangan, dan lain sebagainya (Islamy, 2021).
Pendidikan karakter bagi seorang muslim sebagai bagian dari tujuan pensyariatan ibadah puasa dikuatkan oleh nasihat Imam al-Ghazali. Menurut al-Ghazali, terdapat enam etika (adab) dalam menjalankan ibadah puasa, antara lain, mengkonsumsi makanan yang halal dan baik, menjauhi perselisihan, menghindari ghibah (menggunjing orang lain), menghindari berbohong, tidak menyakiti orang lain, menjaga anggota badan dari segala perbuatan buruk. Keenam adab berpuasa tersebut dapat menjadi elemen penting dalam mendukung tercapainya nilai pendidikan karakter muslim dari ritualitas ibadah puasa. Dalam perspektif psikologi Islam juga dijelaskan bahwa Islam merupakan ajaran agama yang memuat sumber nilai pedoman hidup seorang muslim dalam membentuk kondisi psikis dan perilaku manusia yang baik (Islamy, 2019; Islamy, 2021). Oleh karena itu, jika seorang muslim memahami dan menjalankan ajaran Islam yang termuat dalam pensyariatan ibadah puasa dengan baik, maka kemuliaan perilakunya akan tampak dalam kehidupan sehari-hari (Islamy, 2021).
Ketiga, nilai kepedulian sosial. Sebagai agama wahyu terakhir, ajaran Islam memiliki daya kritik terhadap realitas kehidupan masyarakat Arab dan memiliki fungsi transformatif dan pembebasan. Islam sejatinya merupakan jalan hidup (way of life) yang ditujukan untuk membentuk moralitas dan sistem kehidupan manusia yang sehat. Fungsi transformatif ajaran Islam inilah yang kemudian menjadi basis paradigmatik dalam pemikirannya di bidang hukum Islam. Fungsi transformatif merupakan manifestasi ajaran Islam yang membawa misi bahwa ajaran Islam tidak sebatas pembentukan akhlak individu, melainkan juga akhlak sosial (Islamy, 2021).
Puasa adalah sarana dan latihan untuk memaksimalkan fungsi kemanusiaan. Saat berpuasa berarti manusia telah menjaga martabatnya dari perbuatan hina di mata Allah dan menjaga hubungan baik dan peduli dengan sesama. Ketika umat Islam telah melakukan ibadah puasa maka empati dan simpatinya telah diasah sehingga dapat merevitalisasi jiwa kepedulian dan rasa sosial yang tinggi. Hal ini secara otomatis telah memaksimalkan fungsi al-nas sebagai makhluk sosial (Islamy, 2021; Nafis, 2015).
Pada saat menjalankan ibadah puasa, umat Islam dilatih untuk memiliki rasa kepedulian kepada kondisi orang lain dan lingkungan sekitarnya. Hal demikian tidaklah sama-sama dalam kondisi merasakan lapar dan haus semata, melainkan terkait bagaimana umat Islam dapat saling menumbuhkan sikap kepedulian sosial. Semangat kerekatan sosial dalam diri seorang muslim yang berpuasa merupakan bentuk implikasi sosial dari ritualitas ibadah puasa yang tumbuh dari kondisi yang sama dalam merasakan penderitaan dan kepedihan atas kurangnya kesejahteraan ekonomi yang dialami oleh orang-orang fakir dan miskin, seperti halnya rasa kekurangan dan kelaparan (Islamy, 2021; Nafis, 2015).
Terkait nilai kepedulian sosial ini, Nabi Muhammad menyebut bulan Ramadhan sebagai Syahr al-Muwaasat, yang berarti “Bulan Kepekaan Sosial” (H.R. Ibnu Khuzaimah). Predikat bulan kepekaan sosial juga paralel dalam hadis Nabi terkait anjuran untuk memberi makan orang yang berbuka puasa. Nabi bersabda, “Barangsiapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikitpun.” (H.R. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad).
Nilai kepedulian sosial sebagai bagian dari tujuan pensyariatan ibadah puasa juga relevan dengan pesan hadis terkait bentuk perintah mengeluarkan zakat fitrah sebagaimana hadis Nabi yang berbunyi, “Pahala puasa Ramadhan digantungkan antara langit dan bumi, tidak diangkat kepada Allah kecuali dengan dibayarkannya zakat fitrah” (H.R. al-Dailami) (Islamy, 2021).
Sumber lain menyebutkan bahwa terdapat beberapa nilai pendidikan dalam puasa Ramadhan. Pertama, pendidikan kejujuran. Tujuan akhir puasa Ramadhan adalah terwujudnya ketakwaan pada diri orang yang beriman. Sedangkan salah satu refleksi ketakwaan dalam kehidupan adalah sikap jujur. Puasa memiliki korelasi yang kuat dengan sikap positif ini. Misalnya, seseorang bisa saja mengaku berpuasa, padahal tanpa sepengetahuan orang tuanya dia telah berbuka. Apalagi ibadah puasa ini berhubungan langsung dengan Allah Yang Maha Mengetahui. Puasa memiliki tujuan antara lain menyucikan aspek batin manusia (agar menjadi takwa), di mana kesucian itu juga harus diaktualisasikan dalam kehidupannya sehari-hari agar terhindar dar sifat kemunafikan dan kefasikan (Mukmin, 2017; Sholikhin, 2008).
Kedua, pendidikan kerja keras. Saat berpuasa, umat Islam senantiasa dituntut untuk bekerja. Bekerja keras bagi orang beriman bukanlah suatu tuntutan karena adanya pengawasan dari atasan. Puasa mendidik umat Islam untuk tetap bekerja meskipun tidak diawasi manusia karena orang yang beriman akan senantiasa merasa diawasi langsung oleh Allah. Perwujudan kerja keras ini dapat juga dilihat dari semangat untuk menjalankan ibadah yang dianjurkan pada bulan Ramadhan. Seseorang yang jarang salat sekalipun, akan berusaha untuk menunaikan salat secara lengkap dan tepat waktu, bahkan salat tarawih pada bulan Ramadhan (Mukmin, 2017).
Ketiga, pendidikan kedisiplinan. Puasa melatih umat Islam hidup disiplin. Disiplin meliputi disiplin menunaikan kewajiban sebagai hamba Allah dan melaksanakan perintah-Nya. Misalnya, disiplin dalam waktu, yakni disunahkan menyegerakan berbuka ketika telah tiba waktu berbuka puasa. Disiplin fisik dan hukum yakni mematuhi untuk tidak makan, minum dan berhubungan suami istri sejak terbit fajar hingga terbenam matahari (Mukmin, 2017).
Keempat, pendidikan kesabaran. Pada saat puasa umat Islam akan merasa haus dan lapar yang melilit perut. Ketika waktu Magrib belum tiba, umat Islam tidak diperbolehkan untuk makan dan minum meskipun perbuatan tersebut halal. Umat Islam harus bersabar menunggu dibolehkan untuk makan dan minum hingga waktu berbuka tiba. Kebiasaan di luar bulan Ramadhan, seperti kemarahan yang begitu mudah terjadi, namun pada waktu berpuasa umat Islam diingatkan untuk bersabar untuk tidak marah agar pahala puasa tidak berkurang. Berpuasa di bulan Ramadhan menerapkan latihan yang berbasiskan kesabaran karena orang akan merasa lapar selama kurang lebih 15 jam, bahkan 24 jam jika mereka lupa bersahur. Jadi berpuasa pada intinya adalah melatih kesabaran (Mukmin, 2017; Pramuktianingrum, 2006).
Kelima, pendidikan kesetaraan. Dalam ibadah puasa, manusia memiliki kesamaan, yaitu sama-sama menahan dari segala yang membatalkan puasa, seperti makan dan minum dan lain sebagainya. Orang kaya maupun orang miskin merasakan hal yang sama. Puasa tidak memandang perbedaan derajat dan status umat Islam. Mereka yang memiliki banyak harta, berstatus sosial yang yang tinggi, memiliki dolar, atau yang mempunyai rupiah yang sedikit, atau bahkan orang yang tak memiliki sepeser uang pun, ketika sedang berpuasa, tetap merasakan hal yang sama, yaitu lapar dan haus. Puasa Ramadhan memberikan pendidikan kepada kaum muslimin tentang sikap kesetaraan. Ketika berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah (Mukmin, 2017).
Keenam, pendidikan rasa empati. Rasa lapar yang dirasakan saat berpuasa Ramadhan mendidik umat Islam untuk memiliki rasa empati terhadap sesama. Dengan berpuasa, umat Islam belajar untuk ikhlas memberi dan peduli terhadap nasib golongan yang kurang beruntung. Dengan merasakan keadaan tersebut diharapkan akan membuat umat Islam lebih bersungguh-sungguh dan ikhlas untuk mengulurkan bantuan kepada mereka yang membutuhkan serta memberikan ruang besar pada diri mereka untuk mengembangkan kepekaan sosial, tanggung jawab, dan mengedepankan kepentingan orang lain dan masyarakat (Mukmin, 2017).
Pendapat lain menyebutkan bahwa ibadah puasa Ramadhan mengandung beberapa nilai pendidikan. Pertama, pendidikan kesehatan. Rasulullah Muhammad telah menegaskan bahwa puasa dapat menjaga kesehatan. Para ahli dari Barat juga meyakini bahwa ada mata rantai yang hilang pada pola makan manusia modern saat ini, yaitu berpuasa. Puasa memberikan kesempatan pada tubuh untuk beristirahat terutama dari mengolah makanan dan minuman. Saat berpuasa, tubuh melakukan detoksifikasi secara alami. Dengan tidak adanya makanan yang masuk ke dalam lambung, organ tubuh seperti hati dan limpa membersihkan diri dari racun-racun sepuluh kali lebih banyak dari biasanya (Syaifi, 2019).
Kedua, pendidikan mengenal nilai nikmat Allah. Kebiasaan terlalu sering mendapatkan nikmat dapat menghilangkan nilai rasa dan derajat nikmat tersebut. Derajat nikmat tidak akan diketahui kecuali pada saat ketiadaannya. Seseorang hanya akan dapat merasakan kenikmatan kenyang dan segar tatkala dia sedang merasa lapar dan haus. Melalui puasa, derajat nikmat Allah yang biasanya tampak remeh dan rendah dalam pandangan lahiriah manusia, akan terangkat menjadi kenikmatan yang sangat besar dan berharga (Syaifi, 2019).
Ketiga, pendidikan kebersamaan dan persatuan. Puasa merupakan syiar (simbol dan identitas) kebesaran tahunan bagi umat Islam seluruh dunia yang mencerminkan kebersamaan lahir dan batin serta sebagai wujud persatuan universal yang sangat erat. Salat Jumat merupakan syiar mingguan dan jamaah salat lima waktu yang merupakan syiar harian. Pada pada saat berpuasa, umat Islam semuanya menahan diri dari makan dan minum pada waktu yang sama dan berbuka juga pada waktu yang sama. Dengan demikian, puasa merealisasikan sebuah kesatuan tujuan, rasa, nurani, dan kesetaraan di kalangan umat Islam yang menjalankan puasa (Syaifi, 2019).
Keempat, pendidikan keimanan. Puasa menjadi tolok ukur tinggi atau rendahnya keimanan dan keislaman seseorang. Barangsiapa yang benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka dengan kerelaaan penuh dia akan membuktikan hal itu dengan mengutamakan ajaran Allah dan Rasul-Nya melebihi segala-galanya. Apa pun kepayahan yang harus dihadapi, keimanan yang kuat akan menjadikan semuanya ringan untuk dikerjakan, termasuk perintah menjalankan puasa (Syaifi, 2019).
Kelima, pendidikan sosial. Bulan Ramadhan adalah musim pahala yang berlimpah dan merupakan bulan yang penuh fadilah (keutamaan) dan kemuliaan. Hal itu telah disiarkan oleh Al-Quran dan hadis, serta digembor-gemborkan oleh para ulama, para da'i, dan para khatib. Hingar-bingar kemuliaan bulan Ramadhan yang sangat nyaring tersebut merupakan motivator yang dapat menggugah kesadaran sosial yang tinggi dalam jiwa umat Islam. Animo positif mereka akan bergerak kuat oleh pengaruh psikologi kesucian bulan Ramadhan, sehingga mereka akan berlomba-lomba melakukan kebajikan yang sebanyak-banyaknya dan semampu-mampunya, baik berupa aktivitas ibadah individual maupun ibadah sosial (syaifi, 2019).
Keenam, pendidikan budi pekerti. Secara otomatis, setiap orang yang berpuasa akan berusaha menjaga kesucian puasanya dari segala hal yang dapat merusak pahala dan nilainya. Tanpa harus diawasi oleh siapa pun, orang yang berpuasa, terlebih puasa Ramadhan, akan selalu berusaha berbuat baik. Hubungan batiniahnya dengan Allah akan selalu terbangun melalui puasanya, sehingga dia senantiasa mengutamakan perilaku yang baik dan terpuji baik dalam tutur kata maupun perbuatannya. Semua itu dia kerjakan selama sebulan penuh yang dapat membentuk sebuah kepribadian yang mulia yang tertanam di dalam jiwanya (Syaifi, 2019).
Ketujuh, pendidikan kesabaran. Puasa Ramadhan adalah ibadah penahanan diri dan pencegahan kemauan yang membutuhkan kesabaran dan kedisiplinan yang tinggi. Bukan saja menahan diri dari segala yang mengandung dosa, namun lebih dari itu, juga menahan diri dari segala yang mubah (halal) untuk tidak dilakukan sewaktu masih menjalani ibadah puasa selama sehari penuh. Segala kemauan yang mubah untuk dilakukan, pada saat puasa, harus ditunda sampai tiba saatnya waktu berbuka. Hal ini tentunya merupakan pendidikan kesabaran yang tinggi dan penuh dengan nilai-nilai kemuliaan yang luhur (Syaifi, 2019).
Hapipah (2016) menjelaskan bahwa dalam ibadah puasa Ramadhan terdapat nilai-nilai pendidikan karakter sebagai berikut. Pertama, nilai takwa/religius (sikap patuh dalam melaksanakan perintah Allah dan menjuahi segala larangan-Nya). Nilai ketakwaan merupakan nilai pokok yang terbentuk melalui ibadah puasa Ramadhan. Dikatakan demikian karena ibadah puasa menuntut seorang muslim untuk menjaga dirinya dengan sungguh-sungguh dari segala hal yang merusak ketaatannya kepada Allah. Kedua, nilai jujur, yaitu jujur dalam perkataan, perbuatan dan sikap. Nilai jujur ini sebenarnya turunan dari nilai ketakwaan. Ibadah puasa menuntut seorang muslim memilki sifat jujur ketika berpuasa. Seorang muslim menjaga dirinya dari perkataan dan perbuatan yang sia-sia. Ketiga, nilai kebijaksanaan, yaitu sifat yang pandai mengambil keputusan, tindakan yang tidak terburu-buru, dan memutuskan segala sesuatu dengan pertimbangan yang matang. Hal ini adalah nilai luhur yang muncul pada diri orang yang berpuasa, karena berpuasa menjaga diri dari tindakan atau perilaku jahil (bodoh).
Keempat, nilai disiplin, yaitu sifat atau tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan tepat waktu dalam melaksanakan aktivitas. Ibadah puasa menuntut seseorang memilki sifat disiplin, baik disiplin waktu berbuka maupun pada waktu sahur. Kelima, nilai bersahabat, yaitu tindakan yang memperlihatkan rasa senang bicara, bergaul, dan bekerja sama baik dengan orang kaya dan miskin. Dianjurkan bagi umat Islam untuk saling bekerja sama karena berpuasa menjaga diri agar tidak bermusuhan antara sesama umat Islam. Keenam, nilai cinta damai, yaitu sikap, perkataan, dan tindakan yang diungkapkan dengan baik sehingga orang merasa senang dan tidak berkata kotor. Ibadah puasa menuntut umat Islam untuk berkata baik. Ketujuh, nilai kepedulian sosial, yaitu sikap dan tindakan yang selalu memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. Hal ini karena ibadah puasa menuntut seorang muslim untuk saling peduli baik yang kaya maupun yang miskin. Kedelapan, nilai tanggung jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya yang seharusnya dilakukan terhadap diri sendiri. Ibadah puasa menuntut seorang muslim untuk memiliki sifat tanggung jawab dalam melakukan kewajibannya terutama dalam mengganti puasa dan membayar fidyah, ketika meninggalkan puasa baik yang disengaja maupun tidak.
Aryanto (2022) merinci nilai-nilai pendidikan dalam ibadah puasa Ramadhan sebagai berikut. Pertama, nilai-nilai pendidikan dalam ibadah puasa Ramadhan ditinjau dari aspek jasmani: puasa memberikan kesempatan untuk beristirahat kepada alat pencernaan, membebaskan tubuh dari racun dan menjaga dari segala kebiasaan yang membahayakan. Kedua, nilai-nilai pendidikan dalam ibadah puasa Ramadhan ditinjau dari aspek rohani: yaitu puasa sebagai pendidikan hawa nafsu dan puasa dapat mengendalikan emosi (marah). Ketiga, nilai pendidikan dalam ibadah puasa dalam pembentukan karakter: pendidikan untuk berdisiplin, pendidikan untuk meningkatkan iman dan takwa, pendidikan solidaritas sosial, dan pendidikan kesabaran.
Umar (2011) menjelaskan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terkandung dalam ibadah puasa Ramadhan adalah nilai pendidikan kesehatan, nilai pendidikan akhlak, nilai pendidikan kedisiplinan, dan nilai pendidikan kejujuran. Khairunnisa et al. (2023), menyebutkan bahwa nilai pendidikan dalam ibadah puasa Ramadhan adalah nilai pendidikan religius, nilai pendidikan kejujuran, nilai pendidikan kesabaran, nilai pendidikan kedisiplinan, dan nilai pendidikan rasa syukur. Sedangkan Andrian (2018) menjelaskan nilai-nilai pendidikan dalam ibadah puasa Ramadhan adalah nilai pendidikan akhlak berupa kejujuran, kesabaran, kedisiplinan, dan kepekaan sosial. Ibad (2015) menyebutkan bahwa nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam ibadah puasa Ramadhan adalah pendidikan kesabaran, pendidikan rasa kasih sayang, pendidikan kejujuran, pendidikan kedisiplinan, dan pendidikan untuk bersikap amanah. Menurut Natasya (2021), terdapat delapan nilai-nilai pendidikan akhlak dalam ibadah puasa Ramadhan, yaitu nilai ikhlas, nilai dermawan, nilai tadharru', nilai sabar, nilai jujur, nilai ihsan, nilai syukur, dan nilai amanah. Wibowo et al. (2022) mencatat bahwa nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam ibadah puasa Ramadhan adalah nilai religius, nilai kejujuran, nilai kesabaran, nilai kedisipilan, nilai rasa syukur, nilai mandiri, dan nilai kepedulian sosial. Selain itu, ibadah puasa Ramadhan juga mendidik umat Islam agar hidup sederhana (Aji, 2022; Syakour, 2021).
Ibadah puasa Ramadhan mengandung nilai pendidikan kepemimpinan. Ibadah puasa Ramadhan merupakan syariat yang membentuk jiwa kepemimpinan karena pelaksanaan ibadah puasa berpusat pada daya tahan diri (self endurance). Pemimpin adalah orang yang memiliki daya tahan dalam dirinya demi kepentingan warganya. Karena itu daya tahan diri (endurance) adalah sifat kepemimpinan seseorang. Seseorang dianggap layak untuk memimpin ketika dirinya telah mampu mengendalikan dirinya dan telah selesai dengan urusan pribadinya. Pemimpin bukan hanya manusia yang mampu berpuasa, tetapi juga mampu menjadi seorang pemimpin yang mampu menahan keinginan duniawinya, menegakkan keadilan, dan melaksanakan mandat publik. Jika seorang pemimpin tidak mempunyai kemampuan untuk menahan diri, yang muncul adalah aura otoriter, serakah, karakter korup dan penuh warna untuk mencari popularitas atau citra belaka (Wajdi, 2023).
Khoiriah (2022) membagi nilai pendidikan karakter dalam ibadah puasa Ramadhan menjadi tiga. Pertama, nilai pendidikan karakter yang berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Puasa dapat dijadikan sebagai sarana latihan untuk membentuk karakter yang baik pada seseorang. Puasa membiasakan orang bersikap sabar terhadap hal-hal yang diharamkan, penderitaan, dan kesulitan yang terkadang muncul di saat orang sedang berpuasa. Misalnya, pada saat melihat makanan lezat di hadapannya, maka keimanan seseorang diuji seberapa sabar dalam menghadapi godaan tersebut. Bisakah seseorang tersebut menahan diri sampai waktu yang diizinkan untuk berbuka, hal tersebut tergantung pada keimanan dan ketakwaan masing-masing. Dengan demikian, dalam ibadah puasa Ramadhan terdapat nilai-nilai pendidikan karakter, salah satunya adalah nilai karakter yang berdasarkan pada nilai-nilai ketuhanan. Nilai pendidikan karakter tersebut adalah religius.
Kedua, nilai pendidikan karakter yang ada hubungannya dengan diri sendiri. Selain merupakan ibadah yang diwajibkan, puasa mengandung banyak manfaat bagi umat Islam, baik secara jasmani maupun rohani. Namun tujuan utama dari puasa adalah untuk menggapai takwa. Takwa adalah dasar dalam membentuk karakter seorang muslim sejati. Takwa yang tertanam di dalam jiwa seorang mulsim akan memancarkan kebaikan. Dengan demikian, dalam ibadah puasa Ramadhan terdapat nilai-nilai pendidikan karakter yang ada hubungannya dengan diri sendiri. Nilai pendidikan karakter tersebut adalah jujur, disiplin, kerja keras, dan tanggung jawab.
Ketiga, nilai pendidikan karakter antar sesama. Puasa Ramadhan melatih seseorang untuk menguasai diri, menahan hawa nafsu, dan merasakan penderitaan sesama, hingga mendorongnya untuk membantu dan berbuat baik kepada orang yang membutuhkan. Dengan demikian, akan terwujud rasa cinta dan persaudaraan. Oleh karena itu terdapat nilai pendidikan karakter antar sesama dalam pengamalan ibadah puasa Ramadhan. Nilai pendidikan karakter tersebut adalah kepedulian sosial.
Azis (2015) menguraikan bahwa ibadah puasa Ramadhan mengandung nilai pendidikan sebagai berikut. Pertama, ibadah puasa Ramadhan mendidik umat dengan sifat-sifat kesabaran, agar dapat mengendalikan diri dari segala yang membatalkan puasa dan nilai pahala puasa, yang semata-mata ditujukan untuk beribadah kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat yang diberikan-Nya. Nilai ini terkait dengan hakikat puasa sebagai latihan kesabaran. Kedua, orang-orang yang menunaikan puasa dengan sungguh-sungguh sesuai dengan yang disyariatkan Islam, secara perlahan tapi pasti akan menimbulkan sikap jujur, percaya diri, dan berakhlak mulia. Kesadaran tentang pengawasan Allah sebagai orang yang berusaha memperoleh derajat muttaqin, secara otomatis dapat menghilangkan sifat tercela yang pada akhirnya dapat menumbuhkan karakter yang baik. Ketiga, orang yang taat melaksanakan ibadah puasa, akan menumbuhkembangkan kepedulian sosial yang mendalam dan selalu berpihak kepada kelompok dhuafa (fakir miskin). Kondisi seperti ini bermuara pada penghayatan terhadap pengamalan ibadah puasa sebagai upaya untuk mneladani sifat pengasih dan penyayang Allah. Keempat, pelaksanaan ibadah puasa dengan baik akan menghilangkan berbagai macam penyakit. Nilai pendidikan ini berhubungan dengan kesabaran sebagai hakikat puasa sekaligus tujuan puasa agar memperoleh derajat muttaqin.
Ibadah puasa Ramadhan disebutkan mengandung nilai pembersihan diri dari penyakit hati. Pertama, riya', yaitu penyakit hati di mana seseorang melakukan perbuatan baik karena ingin dilihat atau ingin dipuji. Ketika tidak mendapatkan pujian, maka dia tidak ikhlas dalam beramal. Kedua, sum'ah, yaitu penyakit hati berupa keinginan seseorang agar perbuatannya terdengar sampai ke telinga orang lain. Hal ini ditujukan supaya orang-orang tahu kelebihan yang dia miliki. Ketiga, ‘ujub, yaitu merasa bangga dengan kelebihan-kelebihan yang ada pada dirinya dan tidak mampu dimiliki oleh orang lain. Keempat, fakhr, yaitu berbangga dengan apa yang dimiliki; baik berupa harta, tahta, ataupun kelebihan lainnya. Kelima, ikhtiyal, yaitu keinginan agar tidak tersaingi oleh orang lain. Keenam, tasahul, menganggap enteng orang lain). Ketujuh, ananiyah (egois). Kedelapan, syuhh (kikir) (Shobari, 2022).
Ibadah puasa Ramadhan mengandung nilai pendidikan ketahanan diri. Sebagaimana dipahami, puasa secara bahasa adalah menahan. Sementara secara istilah adalah menahan diri dari makanan, minuman, dan syahwat mulai waktu fajar hingga waktu tenggelamnya matahari. Dari pengertian itu, sejatinya ibadah puasa dapat menghidupkan dan mencerahkan hati. Sebab, ruh dan jiwa puasa adalah mengendalikan dan menahan diri dari rongrongan hawa nafsu. Kalau kehidupan terasa dibayangi oleh mental masyarakat yang rapuh, maka faktor kegagalan mengendalikan diri dari tekanan hawa nafsulah yang paling meraja. Maka, tidak mengherankan apabila banyak bermunculan pribadi-pribadi yang rapuh, tidak jelas nilai-nilai yang dijadikan pegangan hidupnya, maka puasa harus bisa memunculkan rasa optimisme diri dan ketahanan diri yang kuat (Atabik, 2020).
Ibadah puasa Ramadhan mengandung nilai pendidikan ketaatan terhadap hukum. Ibadah puasa Ramadhan dapat menjadi bentuk ketaatan terhadap hukum melalui tiga cara. Pertama, ibadah puasa Ramadhan merupakan pembentuk sikap taat meskipun tidak ada yang menilai, memberikan sanksi atau memberikan penghargaan. Ketaatan setiap warga negara dan umat Islam terhadap hukum negara dan agama merupakan sikap yang mewujud pada perilaku. Perilaku taat terhadap hukum memerlukan latihan. Sistem hukum Indonesia menerapkan hukuman bagi pelanggar hukum. Penegakan sanksi yang kurang menyebabkan hukum berkurang kewibawaannya. Bagaimana jika warga negara Indonesia dapat taat terhadap hukum tanpa ada sanksi duniawi? Tentunya masyarakat sipil yang sadar hukum, ketertiban dan keteraturan akan mewujud dalam kehidupan masyarakat. Kondisi ini merupakan kondisi yang dibangun oleh ibadah puasa Ramadhan. Kedua, puasa Ramadhan melatih umat Islam untuk menjalankan tidak hanya yang wajib namun juga yang sunah. Tentunya disepakati, tidak ada perintah Allah dan tuntunan Nabi yang mengajarkan keburukan. Hukum disusun untuk membangun keteraturan. Kemauan dan kemampuan umat Islam untuk melakukan kebaikan secara terus menerus selama sebulan penuh akan membangun keteraturan melampaui dari kemampuan hukuman dalam membangun keteraturan. Ketiga, tujuan akhir dari ketakwaan sebagai outcome ibadah puasa Ramadhan adalah rida Allah. Umat Islam yang memiliki tujuan hidup mencapai rida Allah akan mewujudkan ketaatan dalam kehidupan sehari-hari mereka. Bukan berarti hukum tidak diperlukan lagi, namun seorang muslim sebagai individu pelaksana hukum telah menjadi insan yang tidak hanya taat namun membangun ketaatan sebagai bagian dari individu, keluarga, dan masyarakat (Suhaidi, 2024).
Ibadah puasa Ramadhan mengandung nilai pendidikan manajemen waktu. Bagi mereka yang mengetahui apa saja yang dimaksud dengan puasa, jelas bahwa manajemen waktu yang tepat sangat penting untuk keberhasilan puasa. Umat Islam memulai puasanya sebelum salat Subuh. Mereka bangun pagi-pagi untuk sarapan pagi dan salat, kemudian melanjutkan puasanya hingga matahari terbenam, ketika salat Magrib telah tiba. Keterlambatan apa pun dalam mematuhi waktu akan membuat puasa akan terganggu. Meskipun niat sangat berpengaruh dalam praktik apa pun dalam Islam, ada pedoman tertentu yang harus dipatuhi. Masa tenggang beberapa menit diperbolehkan untuk memulai dan mengakhiri dengan cepat tetapi selain itu, waktunya cukup ketat. Lalu ada salat tarawih yang dimulai setelah salat Isya. Jadi dari dini hari hingga larut malam, ada rangkaian acara tertentu, yang semuanya harus dilakukan pada waktunya. Ini adalah rutinitas yang dipatuhi selama sebulan penuh (Center, 2024).
Ibadah puasa Ramadhan mengandung nilai pendidikan untuk mendahulukan perkara yang diprioritaskan. Ibadah puasa Ramadhan mendidik umat Islam untuk menjaga skala prioritas melalui beberapa aspek yang mendorong mereka untuk memahami nilai-nilai dan mengatur prioritas dalam hidup. Berikut adalah beberapa cara bagaimana ibadah puasa Ramadhan berkontribusi dalam membentuk skala prioritas. Pertama, fokus pada ibadah dan spiritualitas. Ibadah puasa Ramadhan menekankan fokus pada ibadah dan peningkatan spiritualitas. Umat Islam diajarkan untuk memberikan prioritas utama pada kewajiban dan perkara yang disunahkan dalam agama, seperti salat, membaca Al-Qur'an, dan berzikir. Ini membantu mereka mengenali dan memprioritaskan aspek-aspek spiritual dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, menahan diri dari urusan duniawi. Dengan menahan diri dari makanan, minuman, dan kegiatan duniawi selama waktu puasa, umat Islam diajarkan untuk tidak terlalu terjebak dalam urusan dunia. Puasa mengingatkan mereka bahwa kehidupan ini sementara, dan kepentingan akhirat harus menjadi prioritas utama. Ketiga, mengelola waktu dengan efisien. Waktu berbuka dan berpuasa di bulan Ramadhan memiliki jadwal yang ketat. Umat Islam belajar untuk mengelola waktu mereka dengan lebih efisien, memprioritaskan ibadah dan kegiatan positif. Ini membantu umat Islam menghargai nilai waktu dan menjaga prioritas sesuai dengan nilai-nilai agama. Keempat, memahami keterbatasan dan bersyukur. Puasa mengajarkan umat Islam untuk memahami keterbatasan mereka. Dengan merasakan lapar dan dahaga, mereka belajar untuk bersyukur atas nikmat-nikmat yang dimiliki dan tidak melupakan kebutuhan pokok. Ini membentuk kesadaran akan prioritas yang sebenarnya dalam hidup. Kelima, pentingnya kesehatan dan keseimbangan. Waktu berbuka dan berpuasa Ramadhan juga menekankan pentingnya kesehatan. Umat Islam memahami bahwa menjaga tubuh sehat adalah prioritas untuk dapat menjalani ibadah dengan baik. Ini mendorong mereka untuk menjaga keseimbangan antara ibadah dan kesehatan fisik. Keenam, berbagi dengan sesama. Ramadhan adalah bulan kasih sayang dan berbagi. Umat Islam dididik untuk memberikan prioritas pada berbagi dengan sesama, baik dalam bentuk zakat, sedekah, atau tindakan kebaikan lainnya. Ini membentuk sikap prioritas pada kepentingan bersama dan kepedulian terhadap kebutuhan orang lain.
Dengan demikian, ibadah puasa Ramadhan membentuk pola pikir umat Islam agar lebih terfokus pada prioritas yang lebih penting, termasuk aspek spiritual, kesehatan, dan kebaikan bersama. Pengalaman puasa menjadi pelajaran berharga dalam mengenali dan mengatur prioritas hidup sesuai dengan nilai-nilai Islam.
Implementasi Nilai-nilai Pendidikan Ibadah Puasa Ramadhan
Menurut Pasal 10 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023, fungsi pegawai ASN adalah ASN berfungsi sebagai: pelaksana kebijakan publik; pelayan publik; dan perekat dan pemersatu bangsa. Sedangkan tugas ASN menurut Pasal 11 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2023 adalah melaksanakan kebijakan publik yang dibuat oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; memberikan pelayanan publik yang profesional dan berkualitas; dan mempererat persatuan dan kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Implementasi nilai-nilai ibadah puasa Ramadhan dalam pelaksanaan fungsi dan tugas ASN di tempat kerja dapat memberikan dampak positif pada produktivitas, hubungan interpersonal, dan iklim kerja. Hal ini dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama, disiplin dan ketaatan. Ibadah puasa Ramadhan membutuhkan disiplin tinggi dan ketaatan terhadap aturan waktu berbuka dan imsak. ASN yang menjalankan puasa memiliki kecenderungan untuk lebih patuh terhadap jadwal kerja dan tanggung jawabnya. Kedua, kesabaran dan ketahanan. ASN yang menjalani puasa akan memiliki tingkat kesabaran dan ketahanan yang lebih tinggi dalam menghadapi tekanan dan tantangan di lingkungan kerja. Hal ini dapat meningkatkan kemampuan mereka dalam menyelesaikan tugas-tugas dengan penuh ketenangan. Ketiga, empati dan solidaritas. Ibadah puasa Ramadhan mengajarkan empati terhadap orang-orang yang membutuhkan. ASN yang berpuasa lebih cenderung untuk membantu rekan kerja atau bawahan yang mengalami kesulitan, menciptakan iklim kerja yang lebih solider.
Keempat, pembersihan diri dan etika kerja. Pelaksanaan ibadah puasa Ramadhan mencakup pembersihan diri dari perilaku negatif. ASN yang mempraktikkan nilai-nilai ini di tempat kerja akan cenderung menjaga etika kerja yang baik, menghindari perilaku yang tidak etis, dan meningkatkan profesionalisme. Kelima, manajemen waktu dan prioritas. Ibadah puasa Ramadhan mengajarkan manajemen waktu yang baik. ASN yang menjalankan ibadah puasa akan lebih cenderung mengatur waktu kerja dengan efisien dan memprioritaskan tugas-tugas yang lebih penting, meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Keenam, kepemimpinan dan tanggung jawab. ASN yang menjalankan puasa cenderung lebih bertanggung jawab terhadap tugas dan kewajibannya. Ini dapat meningkatkan kemampuan kepemimpinan dan memberikan contoh positif bagi rekan kerja. Ketujuh, kesederhanaan dan kepatuhan. Ibadah puasa Ramadhan melibatkan kesederhanaan. ASN yang mengimplementasikan nilai ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih sederhana dan meningkatkan kepatuhan terhadap norma-norma organisasi.
Penutup
Implementasi nilai-nilai ibadah puasa Ramadhan dapat memberikan dampak positif yang signifikan dalam pelaksanaan fungsi dan tugas ASN di tempat kerja. Nilai-nilai seperti disiplin, kesabaran, empati, pembersihan diri, manajemen waktu, kepemimpinan, kesederhanaan, dan kepatuhan mewarnai perilaku dan interaksi ASN selama bulan Ramadhan. Penerapan nilai-nilai tersebut dapat meningkatkan produktivitas, hubungan interpersonal, dan iklim kerja secara keseluruhan.
Ibadah puasa Ramadhan menjadi landasan bagi ASN untuk mengembangkan sikap positif, termasuk disiplin yang tinggi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Kesabaran yang diperoleh selama puasa dapat menghadapi tekanan kerja dengan lebih baik, sementara empati dan solidaritas menciptakan lingkungan kerja yang saling mendukung. Pembersihan diri dan etika kerja yang diperkuat selama Ramadhan dapat memberikan kontribusi pada profesionalisme ASN.
Manajemen waktu yang baik, prioritas yang tepat, dan tanggung jawab yang ditingkatkan merupakan hasil dari nilai-nilai ibadah puasa Ramadhan, yang pada gilirannya dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi kerja. Sikap kesederhanaan dan kepatuhan pada norma-norma organisasi turut memperkuat integritas dan etika kerja di lingkungan ASN.
Dengan demikian, implementasi nilai-nilai ibadah puasa Ramadhan di tempat kerja dapat membentuk budaya organisasi yang lebih positif, menciptakan lingkungan yang mendukung pertumbuhan pribadi dan profesional ASN, serta meningkatkan kontribusi mereka terhadap penyelenggaraan pelayanan publik.***
Discussion about this post