Pencalonan Rohidin Mersyah dalam Pilkada Bengkulu 2024, meski ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), menimbulkan polemik di kalangan masyarakat dan akademisi. Perdebatan ini mencerminkan ketegangan antara prinsip legalitas dalam sistem hukum dengan ekspektasi moralitas publik terhadap pemimpin politik. Sebagai tersangka dalam dugaan korupsi, Rohidin tetap diizinkan mencalonkan diri berdasarkan aturan hukum yang berlaku, meskipun statusnya memunculkan dilema etika dan sosial yang mendalam.
Secara hukum, status tersangka tidak cukup untuk menggugurkan hak seseorang untuk mencalonkan diri dalam pemilu. Hal ini diatur secara eksplisit dalam Pasal 163 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada serta Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024. Prinsip presumption of innocence (praduga tak bersalah) yang menjadi landasan utama aturan ini bertujuan melindungi hak politik individu hingga ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun, pendekatan formalistik ini tidak sepenuhnya selaras dengan harapan masyarakat yang menginginkan standar moral lebih tinggi bagi calon pemimpin. Status tersangka bagi seorang kandidat, khususnya dalam kasus korupsi, sering kali dipersepsikan sebagai tanda ketidaklayakan, yang pada gilirannya melemahkan legitimasi politiknya di mata publik.
Ketegangan ini mencerminkan perbedaan mendasar antara legalitas dan moralitas. Hukum formal mungkin mengizinkan seorang tersangka untuk tetap mencalonkan diri, tetapi moralitas publik menuntut integritas yang lebih besar dari calon pemimpin. Dalam hal ini, hukum kerap dianggap tidak mampu mengikuti ekspektasi masyarakat yang lebih berorientasi pada nilai-nilai etis. Ketidakpuasan terhadap aturan yang mengakomodasi pencalonan tersangka seperti dalam kasus Rohidin juga menunjukkan bahwa hukum tidak selalu diterima secara universal sebagai instrumen legitimasi sosial.
Dalam perspektif hukum, fenomena ini juga mengungkap bagaimana hukum beroperasi dalam konteks kekuasaan. Regulasi yang mengizinkan tersangka untuk tetap maju dalam pilkada berpotensi digunakan sebagai instrumen perlindungan bagi elite politik. Pasal 163 ayat 6–8 UU Pilkada, misalnya, mengatur bahwa calon terpilih tetap dapat dilantik meski berstatus tersangka atau bahkan terpidana, selama putusan pengadilan belum berkekuatan hukum tetap. Ketentuan ini memberikan ruang bagi politisi untuk memanfaatkan celah hukum demi mempertahankan kekuasaan. Hal ini menciptakan kesan bahwa hukum lebih melayani kepentingan elite daripada menjadi instrumen keadilan substantif bagi masyarakat.
Selain itu, ketentuan hukum seperti ini menimbulkan risiko instabilitas politik dan sosial. Jika Rohidin, misalnya, terpilih sebagai gubernur tetapi kemudian terbukti bersalah, proses pencopotannya akan menciptakan ketidakpastian pemerintahan dan beban tambahan bagi masyarakat. Dampak negatif ini menegaskan perlunya evaluasi regulasi untuk mencegah terjadinya konflik antara proses politik dan proses hukum.
Ketegangan antara legalitas dan moralitas dalam kasus Rohidin juga berdampak pada tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan pemilu. Keputusan untuk mengizinkan seorang tersangka tetap mencalonkan diri dapat menimbulkan persepsi bahwa hukum bersikap kompromistis terhadap tindak korupsi. Dalam pandangan Max Weber, legitimasi hukum sangat bergantung pada sejauh mana hukum tersebut mencerminkan nilai-nilai yang dihormati masyarakat. Ketika hukum gagal memenuhi standar moral publik, ia kehilangan otoritasnya sebagai alat pengaturan sosial yang sah. Hal ini dapat memicu apatisme politik, merosotnya partisipasi pemilih, serta semakin menguatkan sikap sinis terhadap institusi negara.
Kasus ini tidak hanya menjadi ujian bagi sistem hukum Indonesia, tetapi juga bagi komitmen masyarakat dan negara dalam menciptakan pemerintahan yang bersih. Konflik antara legalitas dan moralitas seperti ini membutuhkan respons yang lebih terintegrasi antara penegakan hukum, pembaruan regulasi, dan pendidikan politik, sehingga hukum dapat berfungsi sebagai instrumen keadilan yang substansial, bukan sekadar mekanisme prosedur (***)
Discussion about this post