Kepri, Radarhukum.id – Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau menghentikan penuntutan perkara penganiayaan di Kabupaten Karimun melalui mekanisme keadilan restoratif. Kepala Kejati Kepri J. Devy Sudarso bersama Wakajati Kepri, jajaran Bidang Pidum Kejati Kepri, serta Kajari Karimun Dr. Denny Wicaksono, S.H., M.H., menggelar ekspose permohonan penghentian penuntutan di hadapan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung RI Prof. Dr. Asep Nana Mulyana, S.H., M.Hum., yang dilaksanakan secara virtual, Senin (29/9/2025).
Perkara ini melibatkan tersangka Judin Manik alias Manik A.D. Gunung Manik (alm.), yang didakwa melanggar Pasal 351 Ayat (1) KUHP. Kasus bermula pada 26 November 2024 ketika tersangka terlibat perdebatan di sebuah warung kopi di bawah SMAN 2 Karimun. Perdebatan terkait persoalan Pilkada tersebut memicu emosi korban Jonson Manurung yang kemudian merangkul leher tersangka dari belakang. Merasa terancam, tersangka lantas menusukkan kunci motor ke arah perut dan wajah korban sehingga menimbulkan sejumlah luka sebagaimana tercatat dalam visum RSUD Muhammad Sani.
Setelah melalui proses mediasi, korban dan tersangka sepakat berdamai. Tersangka mengakui kesalahannya serta menyampaikan permintaan maaf yang diterima korban. Pertimbangan lain yang menjadi dasar penghentian penuntutan antara lain tersangka belum pernah dihukum, baru pertama kali melakukan tindak pidana, ancaman pidana di bawah lima tahun, serta tidak terdapat kerugian materil. Selain itu, masyarakat juga merespons positif penyelesaian perkara melalui jalur keadilan restoratif demi menjaga keharmonisan sosial.
Kajati Kepri J. Devy Sudarso menegaskan penerapan restorative justice ini penting untuk menciptakan rasa keadilan di masyarakat.
“Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau menyelesaikan perkara pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan keadaan semula dan keseimbangan perlindungan antara kepentingan korban maupun pelaku. Mekanisme ini merupakan kebutuhan hukum masyarakat dan bagian dari pembaruan sistem peradilan yang berpegang pada asas cepat, sederhana, dan biaya ringan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa keadilan restoratif tidak boleh dimaknai sebagai bentuk pembiaran terhadap pelaku. “Restorative justice bukan berarti memberikan ruang pengampunan bagi pelaku untuk mengulangi perbuatannya,” tegasnya.
Berdasarkan Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor 01/E/EJP/02/2022, Jampidum Kejagung RI menyetujui penghentian penuntutan. Selanjutnya, Kajari Karimun akan menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) berbasis restorative justice sebagai bentuk kepastian hukum dan kemanfaatan hukum.
Discussion about this post