Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 116/PUU-XXI/2023 menegaskan bahwa tidak ada perintah untuk menghapus ambang batas parlemen dalam Undang-Undang Pemilihan Umum (Pemilu). Uji materi ini terkait dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Juru Bicara MK, Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih, menjelaskan bahwa putusan ini tidak menghilangkan threshold, dan MK menyerahkan kepada pembentuk undang-undang untuk menentukan ambang batas parlemen dengan metode kajian yang jelas. Tujuannya adalah meminimalkan disproporsionalitas hasil pemilu dan menghindari pemborosan suara sah.
MK menitipkan lima hal penting kepada pembentuk undang-undang. Pertama, ambang batas baru harus dirancang secara berkelanjutan. Kedua, perubahan norma ambang batas harus menjaga proporsionalitas sistem pemilu. Ketiga, perubahan harus mendukung penyederhanaan partai politik. Keempat, perubahan ambang batas harus selesai sebelum tahapan Pemilu 2029. Kelima, partisipasi publik harus dipertimbangkan dalam proses perubahan.
MK memberikan tenggat waktu kepada pembentuk undang-undang untuk mengubah aturan ambang batas parlemen sebelum Pemilu 2029. Pemilu selanjutnya akan menggunakan aturan yang telah diubah tersebut.
Wakil Ketua MK Saldi Isra menyampaikan bahwa perubahan pada ambang batas parlemen perlu dilakukan dengan memperhatikan beberapa hal sesuai dengan norma Pasal 414 ayat (1) UU 7/2017. Hal ini harus dilakukan dengan sungguh-sungguh agar pemilu berjalan proporsional dan meminimalkan masalah disproporsionalitas.
Implikasi terhadap Peserta Pemilu 2029
Dari sudut pandang pembatasan peserta pemilu, putusan MK mengenai ambang batas parlemen memiliki implikasi yang signifikan. MK tidak meniadakan ambang batas, tetapi memberikan panduan kepada pembentuk undang-undang untuk merancang ambang batas yang rasional dengan metode kajian yang jelas dan komprehensif.
Dalam konteks ini, MK menekankan pentingnya ambang batas yang dapat dipertahankan secara berkelanjutan. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya untuk mengontrol jumlah partai politik yang berpartisipasi dalam pemilu, dengan harapan dapat menciptakan stabilitas politik dan efisiensi dalam sistem perwakilan.
Selain itu, MK menyarankan agar perubahan ambang batas parlemen mendukung penyederhanaan partai politik. Ini dapat diartikan sebagai langkah untuk mengurangi jumlah partai politik yang mungkin hanya memiliki dukungan terbatas, sehingga memperkuat partai politik yang lebih substansial.
Pentingnya menghindari disproporsionalitas dalam hasil pemilu juga menunjukkan kekhawatiran terhadap pemborosan suara sah. Ambang batas yang dirancang secara cermat dapat membantu memastikan bahwa hanya partai politik yang memiliki dukungan yang signifikan yang dapat mengakses kursi di parlemen, mengurangi potensi pemborosan suara pada partai kecil.
Dengan memberikan tenggat waktu hingga Pemilu 2029 untuk mengubah aturan ambang batas, MK memberikan stabilitas hukum dan kejelasan bagi partai politik dalam mempersiapkan strategi pemilu mereka. Sementara itu, melibatkan partisipasi publik dalam proses perubahan ambang batas mencerminkan semangat demokratis, memastikan bahwa keputusan ini melibatkan perspektif yang beragam dan mencakup kepentingan masyarakat secara luas (***)
Discussion about this post