Oleh: H. Tirtayasa
Imam Besar Masjid Agung Islamic Center Natuna,
Widyaiswara Ahli Muda (Junior Trainer) BKPSDM Kabupaten Natuna,
Kader Seribu Ulama Doktor MUI Pusat-BAZNAS RI Angkatan 2021.
Pendahuluan
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada umatnya berbagai nilai-nilai kebaikan universal. Nilai-nilai kebaikan itu dapat dijumpai dalam lima ajaran pokok yang disebut dengan rukun Islam, yaitu bersyahadat tauhid dan syahadat rasul, mendirikan salat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan berhaji ke Baitullah, Mekah. Sebagai salah satu rukun Islam, zakat adalah salah satu ibadah yang syarat dengan nilai-nilai sosial dan spiritual. Dalam zakat terdapat dimensi yang menegaskan hubungan keimanan umat Islam kepada Allah (habl minallah) dan berkaitan erat dengan dimensi sosial yang menegaskan hubungan baik umat Islam kepada sesama manusia (habl minannas). Zakat bahkan merupakan momentum kesadaran umat Islam untuk bangkit dari kungkungan tradisi individualistik di tengah-tengah ketimpangan sosial (Karim, 2015).
Islam sebagai pedoman hidup, memiliki grand design yang menjadi acuan manusia dalam menjalani kehidupan. Secara garis besar, grand design tersebut termaktub dalam Al-Qur'an dan hadis yang kemudian diinterpretasi oleh para ulama dan pemikir Islam. Salah satu kontruksi aturan yang memberikan sinyalemen tentang keparipurnaan hukum Islam adalah zakat yang merupakan salah satu kewajiban dasar umat Islam (Zulham bahwa dan Hidayat, 2022). Zakat merupakan bukti bahwa Islam tidak selalu mengajarkan ritual seremonial ukhrawi saja, akan tetapi juga mengajarkan aspek sosial ekonomi duniawi (Isman, 2022; Isman dan Isman, 2024).
Zakat merupakan salah satu instrumen keuangan dalam praktik perekonomian yang banyak digunakan sejak zaman Nabi Muhammad. Selain itu, praktiknya juga berfungsi sebagai perwujudan ibadah yang berdimensi ganda, di antaranya berdimensi tauhid dan dimensi sosial. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa hal ini telah menjadi bagian penting dari sistem ekonomi Islam karena dampaknya yang cukup besar dalam mencapai keharmonisan sosial dan menjaga standar hidup yang layak untuk segmen yang kurang beruntung dalam komunitas Muslim (Bonang et al., 2023; Sawmar dan Mohammed, 2021). Zakat mempunyai peranan penting dalam pembangunan suatu negara dan berfungsi menjembatani kesenjangan antara si kaya dan si miskin (Bonang et al., 2023; Saad et al., 2020).
Zakat dalam bahasa Arab mengacu pada kewajiban moneter keagamaan yang dibayarkan oleh orang Islam kaya kepada orang Islam kategori miskin dan kelompok lainnya, sebagaimana didefinisikan dalam Al-Qur'an. Zakat mempunyai tujuan-tujuan ekonomi yang krusial selain penyucian jiwa dan harta para pembayar zakat (muzakki). Oleh karena itu, tindakan membayar zakat merupakan pemenuhan perintah Allah meski tanpa adanya otoritas zakat di tingkat negara. Lembaga zakat telah memainkan peran penting dalam perkembangan sosial ekonomi, moral dan spiritual masyarakat Islam sepanjang sejarah Islam. Keberhasilan zakat tercatat sepanjang masa-masa awal Islam dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Umar bin Abd al-ʿAziz, Khalifah Bani Umayyah. Selama masa pemerintahannya, terdapat surplus pendapatan zakat sehingga amil zakat mengalami kesulitan untuk menemukan orang yang membutuhkan untuk menerima zakat (al-Omar, 1996; Sawmar dan Mohammed, 2021). Sejarah mencatat bahwa para khalifah dan pengelola zakat awal adalah orang-orang yang memiliki kredibilitas, pekerja keras, kreatif, adil, dan peduli (Sawmar dan Moahmmed, 2021; Uqlah, 1985). Pengelolaan zakat yang dapat dipercaya telah mendorong perilaku memberi dan peduli yang baik dari publik yang memungkinkan mereka dengan mudah mematuhi pembayaran zakat. Oleh karena itu, keberhasilan zakat yang penting selama periode ini dapat dicapai, antara lain, berkat tata kelola yang baik dan kepatuhan pembayaran masyarakat Muslim (Sawmar dan Mohammed, 2021).
Zakat sebagai salah satu manifestasi filantropi dalam Islam (al-Qardhawi, 1973; BN et al., 2023), hadir dalam rangka distribusi kekayaan (distribution of wealth) dan sikap saling tanggung (takaful) antara sesama umat Islam. Sedari awal, konsep pengentasan kemiskinan melalui skema filantropi sudah digariskan sebagai salah satu kewajiban beragama. Pada posisi ini, aktivitas pengumpulan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat membutuhkan kehadiran dan peran negara, baik dalam bentuk regulasi maupun kelembagaan, sehingga pengumpulan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat dapat dilakukan secara optiomal, serta mengikat bagi pemeluk agama Islam, dengan mekanisme tertentu yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan (Zulham dan Hidayat, 2022).
Zakat merupakan ibadah penting yang banyak disebutkan dalam Al-Qur'an. Allah menjelaskan zakat bersamaan dengan penjelasan tentang salat. Hal ini menunjukkan bahwa zakat dan salat mempunyai hubungan yang sangat erat ditinjau dari keutamaannya. Salat dianggap sebagai ibadah utama yang bersifat fisik, sedangkan zakat dianggap sebagai ibadah utama yang bersifat maliyah (Adilah dan Armen, 2022; Putri dan Pratama, 2020). Zakat adalah ibadah maliyah ijtima'iyah (ibadah yang berkaitan dengan ekonomi keuangan masyarakat) yang memiliki posisi sangat penting, strategis, vital dan menentukan dalam membangun kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, zakat tidak hanya berfungsi sebagai ibadah yang bersifat vertikal kepada Allah (habl minallah), namun juga berfungsi sebagai ibadah yang bersifat horizontal (habl minannas) (Azzah dan Santosa, 2021; Adillah dan Armen, 2022; BN et al., 2023; Huda et al., 2012; Manurung, 2014; al-Qardhawi, 1995; Triyani et al., 2018).
Zakat menempati posisi dan kedudukan yang tinggi (Isman dan Isman, 2024; Salahuddin dan Mokhtar, 2019), serta merupakan kewajiban yang mulia dalam Islam (Isman dan Isman, 2024; al-Qahthani, 2018). Kedudukan zakat dalam Islam sangat erat kaitannya dengan distribusi kekayaan dan diwajibkannya ibadah ini tidak terlepas dari situasi sosial peradaban yang berkembang dalam sejarah kemanusiaan (Isman dan Isman, 2024; Natadipurba, 2016).
Zakat yang secara harfiah berarti pengembangan, pertumbuhan, kesucian, dan pujian, mengandung konotasi filosofis bahwa hikmah membayar zakat adalah untuk menambah kekayaan, membersihkan keserakahan dan membuat orang yang membayar zakat mendapat gelar terpuji. Zakat merupakan rukun Islam yang bentuknya berbeda dengan dana sosial lainnya seperti sedekah, hibah, dan infak. Perbedaan hal tersebut dapat dilihat dari sudut pandang penerima, di mana zakat diberikan kepada delapan kelompok yang disebut dengan mustahik (penerima zakat) (Anisa, 2023) .
Zakat tidak hanya berkaitan dengan ibadah ilahiyah semata, namun juga berhubungan dengan muamalah yang memiliki nilai sosial dan ekonomi. Zakat dapat menjadi salah satu upaya dalam peningkatan kesejahteraan dan pemberantasan kemiskinan (Canggih dan Indarini, 2021). Zakat bahkan menjadi instrumen penting untuk mengatasi kemiskinan (Hamid dan Hamid, 2020; Isman dan Isman, 2024). Beberapa negara telah membuktikan bahwa zakat berkontribusi positif dalam pemberdayaan kaum miskin dan membantu masyarakat keluar dari lembah kemiskinan (Isman dan Isman, 2024; Uddin et al., 2020). Selain itu, zakat juga merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan dan pembangunan kesejahteraan umat (Hafidhuddin, 2008; Isman dan Isman, 2024).
Zakat dapat berkontribusi pada pengurangan kesenjangan dan solidaritas sosial (Amara dan Atia, 2016; Isman dan Isman, 2024). Zakat sebagai salah satu sumber dana pembangunan sarana dan prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti tempat ibadah, pendidikan, sosial, maupun ekonomi (Isman dan Isman, 2024; Uddin et al., 2020). Secara umum zakat merupakan ibadah yang memiliki nilai sosial yang tinggi. Kewajiban zakat memiliki berbagai tujuan sosial ekonomi yang positif, tidak hanya bagi penerima zakat tetapi juga untuk pembayar zakat dan seluruh masyarakat (Isman dan Isman, 2024; Salahuddin dan Mokhtar et al., 2019).
Zakat disebut bahkan mempunyai dimensi ekonomi, hukum, sosial, dan politik sekaligus. Sebagai lembaga sosial ekonomi, zakat merupakan sistem fiskal pertama di dunia yang melibatkan enam unsur, yaitu pembayar zakat (muzakki), harta kekayaan zakat (mal al-zakat), tarif masing-masing (miqdar al-zakat), minimum batas kepemilikan harta (nishab), jangka waktu kepemilikan harta (haul), dan penerima dana zakat (mustahiq) (Fathonih, 2019; al-Mawardi, 2006; Ubaid, 1986; Yusuf, 1979).
Sebagai negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia (Utami et al., 2023), yang menurut laporan The Royal Islamic Strategy Studies Center (2023) dalam The Muslim 500: The World's 500 Most Influential Muslims 2023, mencapai 237,55 juta atau setara dengan 87,2 persen dari total jumlah penduduk Indonesia (Tarek ed., 2023; Oseva dan Nurzaman, 2024), Indonesia memiliki potensi zakat yang sangat besar dengan jaringan lembaga zakat terbesar di dunia. Hasil studi Pusat Kajian Strategis BAZNAS (Puskas BAZNAS) pada tahun 2020 menunjukkan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 327 triliun per tahun. Potensi ini terdiri dari potensi zakat pertanian sebesar Rp 19,79 triliun, potensi zakat peternakan sebesar Rp 9,51 triliun, potensi zakat tabungan dan deposito sebesar Rp 58,76 triliun, potensi zakat penghasilan dan jasa sebesar Rp 138,95 triliun, dan potensi zakat perusahaan sebesar Rp 105,5 triliun (Zaenal et al., 2022).
Besarnya potensi zakat di Indonesia tersebut diharapkan mampu berkontribusi terhadap kesejahteraan masyarakat di Indonesia. Hal ini didukung oleh penelitian Shaikh dan Ismail (2017) bahwa zakat berperan penting dalam mengatasi ketimpangan pendapatan, pertumbuhan ekonomi, pendidikan berkualitas, kesejahteraan global, kesehatan, kelaparan dan kemiskinan (Isman dan Pahlevi, 2023). Namun, sayangnya realisasi pengumpulan zakat pada 2021 misalnya baru mencapai Rp 14 triliun atau setara dengan 4,28 persen dari potensi zakat yang ada. Pada tahun 2022, terkumpul zakat sebanyak Rp 21,3 triliun, meskipun masih terbilang rendah, namun pencapaian tersebut meningkat 52,14 persen (YoY) dibandingkan tahun 2021 yang mencapai Rp 14 triliun (Zaenal et al., 2023).
Gambaran yang lebih rinci, berdasarkan Statistik Zakat Nasional Tahun 2017-2021, dapat dilihat perbandingan antara potensi zakat dan realisasi pengumpulan zakat. Pada tahun 2017, potensi zakat Indonesia adalah Rp 233,8 triliun sedangkan zakat yang terkumpul Rp 4,1 triliun (1,75 persen). Pada tahun 2018, potensi zakat Indonesia adalah Rp 232 triliun sedang zakat yang terkumpul sebanyak Rp 8,1 triliun (3,49 persen). Pada tahun 2019, potensi zakat Indonesia adalah Rp 233 triliun sedangkan zakat yang terkumpul sebanyak Rp 10,2 triliun (4,38 persen). Potensi zakat Indonesia pada tahun 2020 adalah Rp 327,6 triliun sedangkan zakat yang terkumpul sebanyak Rp 12,7 triliun (3,87 persen). Potensi zakat Indonesia pada tahun 2021 sebesar Rp 327 triliun dengan jumlah zakat yang terkumpul sebanyak Rp 14 triliun (4,28 persen) (Anggraini et al., 2022). Pada tahun 2022 potensi zakat Indonesia sebesar Rp 327 triliun (Kemenag RI, 2023), sedangkan jumlah zakat yang terkumpul adalah Rp 21,3 triliun (6,51 persen) (BAZNAS, 2022).
Potensi zakat skala BAZNAS RI sendiri mencapai Rp 5,8 triliun. Potensi zakat penghasilan tertinggi ditempati oleh zakat penghasilan pegawai BUMN sebesar Rp 2,57 triliun, disusul zakat karyawan perusahaan nasional yang mencapai Rp 2,301 miliar. Selanjutnya adalah potensi zakat penghasilan ASN kementerian yang memiliki nilai Rp 726 miliar, potensi zakat ASN Lembaga Pemerintah Non Kementerian Rp 102 miliar, potensi zakat ASN Lembaga Negara Rp 71 miliar. Selanjutnya potensi zakat TNI dan Polri tercatat sebesar Rp 46 miliar dan potensi zakat pegawai Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keungan (OJK) tercatat senilai Rp 16 miliar (Zaenal et al., 2022). Sementara itu, secara keseluruhan, potensi zakat penghasilan dari ASN di seluruh Indonesia mencapai Rp 3,911 triliun (Puskas BAZNAS, 2019; Adilah dan Armen, 2022).
Data di atas menunjukkan bahwa potensi penghimpunan dana zakat di Indonesia memiliki prospek yang sangat baik. Meskipun begitu masih ada gap yang besar antara potensi zakat dan penghimpunan dana zakat dengan persentase yang sangat minim (Afiyana et al., 2019; Andiani et al., 2018; Tahliani, 2018; Yusfiarto et al., 2020), meskipun pada tahun 2022 terbilang meningkat dari tahun sebelumnya (al-Machmudi, 2022; Priyambodo et al., 2023).
Adanya gap antara potensi zakat dan penghimpunan zakat ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat untuk membayar zakat harta masih rendah. Hal tersebut tidak lepas dari problem rendahnya tingkat literasi masyarakat terhadap zakat baik itu pengetahuan zakat secara umum maupun pengetahuan tentang pentingnya membayar zakat melalui lembaga amil zakat resmi (Ali et al., 2017; Nafi'ah et al., 2023; Pitchay et al., 2019; Yusfiarto et al., 2020). Padahal tingkat literasi zakat, sebagai faktor eksternal yang mempengaruhi masyarakat untuk membayar zakat (Brilianty dan Muhtadi, 2022), sangat penting dalam pengelolaan zakat, karena tingkat literasi tersebut berdampak terhadap keputusan muzakki untuk menunaikan zakat melalui lembaga zakat resmi yang ditunjuk oleh pemerintah (Nafi'ah et al., 2023).
Tingkat literasi zakat mempengaruhi pemahaman masyarakat terhadap kewajiban membayar zakat (Arifin et al., 2023; Hikmah et al., 2024; Hikmah, 2023). Literasi zakat berpengaruh terhadap minat membayar zakat (Pertiwi, 2020; Febrianti dan Yasin, 2023). Literasi zakat berpengaruh secara signifikan terhadap minat calon muzakki untuk membayar zakat profesi (Martiyanah, 2022). Literasi zakat juga berpengaruh secara signifikan terhadap minat membayar zakat tijarah (perdagangan) (Fadil, 2023). Tingkat literasi yang tinggi tentang zakat diyakini dapat mempengaruhi niat seseorang dalam menunaikan zakat. Semakin tinggi tingkat literasi zakat maka akan semakin tinggi niat seseorang dalam membayar zakat (Masfufah, 2021). Literasi zakat mempengaruhi niat muzakki dan kepatuhannya dalam menunaikan kewajiban membayar zakat. Semakin tinggi literasi zakat muzakki akan berdampak pada tingginya intensi muzakki untuk membayar zakat (Yusfiarto et al., 2020). Literasi zakat membuat pengaruh sikap, norma subjektif, dan pendapatan terhadap niat petani membayar zakat semakin kuat (Anam dan Haq, 2022). Literasi zakat berpengaruh positif secara signifikan terhadap kepatuhan ASN dalam membayar zakat (Nurjannah, 2022). Literasi zakat berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan membayar zakat (Hidayah, 2022). Literasi Zakat berpengaruhi terhadap penghimpunan dana zakat (Brilianty dan Muhtadi, 2022).
Sosialisasi yang dilakukan lembaga amil zakat menambah kesadaran umat Islam untuk menunaikan zakat. Literasi zakat mempengaruhi kesadaran dan minat muzakki membayar zakat melalui lembaga amil zakat. Pernyataan tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Istikhomah dan Asrori (2019) yang menunjukkan bahwa literasi zakat muzakki berpengaruh secara positif terhadap kepercayaan muzakki pada lembaga pengelola zakat. Dengan luasnya wawasan tentang zakat, maka seorang muzakki akan tergerak hatinya untuk mempercayai lembaga pengelola zakat tanpa ada paksaan dari pihak manapun (Nafi'ah et al., 2023). Hal ini dikarenakan literasi zakat berpengaruh signifikan terhadap keputusan muzakki dalam membayar zakat melalui lembaga pengelola zakat (Oktaviani dan Fatah 2022).
ASN sebagai muzakki bukanlah sekadar figur administratif tetapi pilar utama dalam pembangunan dan penyelenggaraan negara. Dalam menjalankan tugasnya, ASN memiliki peran yang signifikan dalam membentuk tatanan sosial yang berkeadilan. Namun, di tengah kompleksitas tugas yang diemban, seringkali aspek spiritual dan sosial terabaikan. Salah satu aspek yang muncul sebagai kebutuhan mendesak untuk mendukung aspek spiritual dan sosial ASN adalah literasi zakat. Oleh karena itu, literasi zakat adalah sesuatu yang krusial untuk diberikan kepada ASN karena literasi zakat berpengaruhi terhadap minat, niat, kepatuhan, dan keputusan dalam membayar zakat. Tulisan ini selanjutnya akan membahas lebih jauh tentang peran krusial literasi zakat dalam meningkatkan minat dan kepatuhan membayar zakat di kalangan ASN.
Literasi Zakat
Literasi diadaptasi dari kata dalam bahasa Inggris literacy, berasal dari bahasa Latin littera yang dapat diartikan sebagai huruf, yang bermakna melibatkan penguasaan sistem-sistem tulisan serta konvensi-konvensi yang menyertainya (Budiyanto, 2013; Leeming, 1971; Salsabila dan Hadziq, 2023). Literasi adalah kemampuan seseorang untuk membaca, menulis, serta mengelola pengetahuan dan informasi yang relevan guna kecakapan dan kemaslahatan hidup (Choirin et al., 2019; Fadil, 2023).
Sumber lain menyebutkan, literasi berasal dari bahasa Latin literatus yang berarti “a learned person” atau orang yang belajar. Pada abad pertengahan, seorang literatus adalah orang yang dapat membaca, menulis, dan bercakap-cakap dalam bahasa Latin. Pada perkembangan selanjutnya, istilah literasi dalam cakupan yang sempit dimaknai sebagai kemampuan minimal dalam membaca. Namun kemudian literasi dipahami tidak hanya terbatas pada kemampuan membaca, tapi juga menulis (Fetrimen, 2023; Gunarsa, 2006; Mujib, 2016).
Menurut Kern, literasi secara sempit didefinisikan sebagai kemampuan membaca dan menulis, termasuk di dalamnya pembiasaan membaca dan mengapresiasi karya sastra serta melakukan penilaian terhadapnya. Sedangkan secara luas, Kern mendefinisikan literasi sebagai kemampuan untuk berpikir dan belajar seumur hidup untuk bertahan dalam lingkungan sosial dan budaya. McKenna dan Robinson menyatakan bahwa literasi merupakan suatu media bagi individu agar mampu berinteraksi dengan lingkungan sosialnya, terutama berkaitan dengan kemampuan menulis (Hayat dan Yusuf, 2010; Mujib, 2016).
Menurut Kern, terdapat terdapat tiga kemampuan dasar dalam literasi. Pertama, kemampuan membaca teks (proses literacy), misalnya membaca perbedaan pendapat dalam sebuah editorial, memahami pesan dalam sebuah cerita pendek, menarik simpulan dari sebuah puisi atau membaca instruksi dalam barang elektronik. Kedua, kemampuan membaca dokumen (document literacy), misalnya kemampuan untuk mengisi formulir pendaftaran, formulir lamaran pekerjaan, atau formulir penghasilan dan perpajakan, memahami tabel atau peta perjalanan, membaca dokumen-dokumen penting dalam pekerjaan sehari-hari. Ketiga, literasi kuantitatif (quantitative literacy) yakni kemampuan untuk melakukan penghitungan dengan menggunakan simbol angka, misalnya menghitung uang kembalian, membayar rekening listrik, menghitung pembayaran atau setoran uang atau kartu kredit dan menghitung bunga bank (Hayat dan Yusuf, 2010; Suflawiyah, 2021).
Menurut UNESCO, di luar konsep konvensionalnya sebagai seperangkat keterampilan membaca, menulis, dan berhitung, literasi kini dipahami sebagai sarana identifikasi, pemahaman, interpretasi, kreasi, dan komunikasi di dunia yang semakin digital, termediasi teks, kaya informasi, dan cepat berubah. Literasi adalah suatu rangkaian pembelajaran dan kemahiran dalam membaca, menulis dan menggunakan angka sepanjang hidup dan merupakan bagian dari serangkaian keterampilan yang lebih besar, yang mencakup keterampilan digital, literasi media, pendidikan untuk pembangunan berkelanjutan dan kewarganegaraan global serta keterampilan khusus pekerjaan (UNESCO, 2024). Literasi memiliki makna yang luas seperti melek teknologi, politik, berpikir kritis, dan peka terhadap lingkungan sekitar (Sudiana, 2017). Literasi dapat memberdayakan dan membebaskan masyarakat. Selain pentingnya hal ini sebagai bagian dari hak atas pendidikan, literasi juga meningkatkan kehidupan dengan memperluas kemampuan yang pada gilirannya mengurangi kemiskinan, meningkatkan partisipasi dalam pasar tenaga kerja dan mempunyai dampak positif terhadap kesehatan dan pembangunan berkelanjutan (UNESCO, 2024). Literasi merupakan pengetahuan, pemahaman, dan kemampuan seseorang dalam melakukan sesuatu yang dapat mengubah perilaku dan keputusannya mengenai hal tersebut (Anggraini et al., 2022; Antara et al., 2016).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa literasi adalah kemampuan suatu individu dalam mendapatkan informasi melalui proses membaca, menghitung, menulis, berbicara, dan memahami sehingga memiliki pengaruh yang luas untuk meningkat kualitas hidup (Choirin et al., 2019; Fadil, 2023).
Literasi biasanya dihubungkan dengan pengetahuan dan pengetahuan dikaitkan sebagai salah satu elemen yang menuntun seseorang kepada perilakunya (Antara et al., 2016; Aryani dan Rasyid, 2023). Dengan kata lain, istilah literasi ini disambungkan dengan kata lain untuk memberikan penekanan lebih bagi kata yang disambungnya. Lalu muncullah literasi kesehatan (Zheng et al., 2018; Aryani dan Rasyid, 2023), literasi informasi (Rapchak et al., 2018; Aryani dan Rasyid, 2023), literasi keuangan islami, literasi halal (Antara et al., 2016; Aryani dan Rasyid, 2023) dan literasi filantropi zakat atau literasi zakat (Sudiana, 2017; Aryani dan Rasyid, 2023).
Literasi zakat dapat didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk memahami dan mempelajari tentang zakat, yang pada gilirannya akan menyebabkan kesadaran seseorang tentang zakat meningkat (Choirin et al., 2019; Fadil, 2023; Muzanni, 2020; Prayoga dan Yafiz, 2022). Senada dengan definisi di atas, literasi zakat dimaknai sebagai kemampuan seseorang dalam membaca, memahami, menghitung, dan mengakses informasi tentang zakat yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dalam membayar zakat (Puskas BAZNAS, 2019). Dalam hal ini literasi zakat mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang zakat termasuk kewajiban zakat, subjek dan objek zakat, jumlah zakat, manfaat zakat, dan lain sebagainya (Anggraini et al., 2022).
Literasi zakat dibentuk oleh dua dimensi. Pertama, pengetahuan dasar tentang zakat yang terdiri dari variabel pengetahuan zakat secara umum yang meliputi definisi zakat secara bahasa; zakat dalam rukun Islam; perbedaan hukum zakat, infak, sedekah, dan wakaf; perbedaan zakat dan donasi secara umum; jenis-jenis zakat; definisi muzakki; definisi mustahik; definisi amil; variabel pengetahuan tentang kewajiban membayar zakat yang meliputi hukum membayar zakat; dosa tidak membayar zakat; syarat wajib zakat mal; syarat wajib zakat fitrah; variabel tentang delapan asnaf yang meliputi pengetahuan tentang golongan delapan asnaf; tugas amil; pengelolaan zakat pada zaman Rasulullah; transparansi serta akuntabilitas amil dalam mengelola zakat; variabel pengetahuan tentang penghitungan zakat yang meliputi pengetahuan kadar zakat mal; kadar zakat fitrah; batasan nishab zakat mal jika dianalogikan dengan emas; batasan nishab zakat mal jika dianalogikan dengan hasil pertanian; variabel pengetahuan tentang objek zakat yang meliputi aset wajib zakat; fikih zakat profesi; konsep zakat mal dan zakat profesi; penghitungan zakat profesi (Puskas BAZNAS, 2019; Zaenal et al., 2022).
Dimensi kedua yang membentuk literasi zakat adalah pengetahuan lanjutan tentang zakat yang terdiri dari variabel pengetahuan tentang institusi zakat yang meliputi jenis-jenis organisasi pengelola zakat di Indonesia; pengetahuan zakat melalui lembaga; variabel pengetahuan tentang regulasi zakat yang meliputi landasan hukum zakat di Indonesia, nomor pokok wajib zakat; pengetahuan zakat sebagai pengurang pajak; variabel pengetahuan tentang dampak zakat yang meliputi pengetahuan tentang dampak zakat dalam meningkatkan produktivitas; dampak zakat dalam mengurangi kesenjangan sosial; dampak program pemberdayaan berbasiskan zakat; dampak zakat dalam mengurangi tingkat kriminalitas; dampak zakat terhadap stabilitas ekonomi negara; variabel pengetahuan tentang program-program penyaluran zakat yang meliputi pengetahuan tentang manfaat menyalurkan zakat melalui lembaga; pengetahuan tentang program pendayagunaan dana zakat di Organisasi Pengelola Zakat (OPZ); variabel pengetahuan tentang digital payment zakat yang meliputi pengetahuan tentang pembayaran zakat digital; dan pengetahuan tentang kanal pembayaran zakat secara digital (Puskas BAZNAS, 2019; Zaenal et al., 2022).
Pengertian Zakat
Zakat adalah salah satu rukun yang memiliki muatan sosial ekonomi dari lima rukun Islam yang ada. Seseorang dianggap telah sah sebagai pemeluk Islam jika dia telah menunaikan zakat di samping juga berikrar tauhid (syahadat), salat, berpuasa di bulan Ramadhan, dan menunaikan haji ke Baitullah. Zakat ditinjau dari sisi bahasa merupakan masdar dari zaka dalam bahasa Arab yang berarti berkah, tumbuh, bersih, dan baik. Sesuatu itu zaka, berarti tumbuh dan berkembang. Seseorang itu zaka, berarti orang itu baik (Karim, 2015). Sumber lain menyebutkan, menurut bahasa, zakat berasal dari kata al-zakah dalam bahasa Arab. Kata al-zakah memiliki makna di antaranya al-numuw (tumbuh), al-ziyadah (bertambah), al-thaharah (bersih), al-madh (pujian), al-barakah (berkah) dan al-shulh (baik) (Mutmainnah, 2020).
Menurut Ibnu Manzhur (t.th.) dalam Lisan al-‘Arab, zakat ditinjau dari sisi bahasa berarti suci, tumbuh, berkah, dan terpuji. Tetapi yang terkuat menurut Wahidi dan lain-lain, kata dasar zaka berarti bertambah dan tumbuh, sehingga bisa dikatakan tanaman itu zaka, berarti tanaman itu tumbuh. Sedangkan tiap sesuatu yang bertambah disebut zaka yang berarti bertambah. Bila satu tanaman tumbuh tanpa cacat maka kata zaka di sini berarti bersih. Bila seseorang diberi sifat zaka dalam arti baik, maka berarti orang itu lebih banyak mempunyai sifat yang baik. Seorang itu disebut zaki, berarti orang tersebut memiliki lebih banyak sifat-sifat orang baik, dan kalimat hakim zaka-saksi, berarti hakim menyatakan jumlah saksi-saksi diperbanyak (Karim, 2015; Lubis, 2023; al-Qardhawi, 2011).
Sumber lain menyebutkan, secara linguistik, sebagaimana disebutkan dalam Mu'jam al-Wasith, zakat merupakan bentuk masdar dari kata kerja zaka yang berarti berkah, tumbuh, suci, dan baik. Makna linguistik zakat tersebut dapat ditemukan dalam Al-Qur'an dan hadis. Menurut Wahidi, dari berbagai arti linguistik zakat, tumbuh dan bertambah merupakan arti yang paling sesuai dengan kata zakat. Oleh sebab itu, setiap sesuatu yang tumbuh dan berkembang dapat disebut zaka (Zulham dan Hidayat, 2022).
Secara terminologis, meskipun para ulama mengemukakannya dengan redaksi yang agak berbeda antara satu dengan yang lainnya, namun pada prinsipnya sama, yaitu bahwa zakat adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu yang Allah wajibkan kepada pemiliknya untuk di serahkan kepada penerimanya dengan persyaratan tertentu. (Hafidhuddin, 2002). Hubungan antara pengertian zakat menurut bahasa dan pengertian menurut Istila sangat nyata dan erat sekali, yaitu bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya akan menjadi berkah, tumbuh, berkembang, dan bertambah (Simanjuntak, 2021).
Secara terminologis, zakat juga diartikan sebagian bagian dari harta yang telah ditetapkan secara wajib oleh Allah untuk disalurkan kepada golongan yang berhak. Selain makna untuk harta yang dikeluarkan sesuai dengan ketentuan, zakat juga dimaknai untuk tindakan atau perbuatan mengeluarkan zakat (al-Qardhawi, 2016; Zulham dan Hidayat, 2022). Sementara menurut Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Penghitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif, zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha yang dimiliki oleh orang Islam untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam (BAZNAS, 2021).
Josep Schacht, dalam Encyclopedia of Islam, mengatakan bahwa Nabi Muhammad mengimplementasikan zakat jauh lebih luas dari pemaknaannya secara bahasa. Nabi Muhammad menggunakan zakat sesuai dengan pengunaannya oleh Bangsa Yahudi, yaitu zakut. Zakut sendiri diambil dari Bahasa Aram. Selama di Mekah, Nabi Muhammad menggunakan kata zakat ataupun kata lain yang masih dalam rumpun derivasi kata kerja zaka dalam pengertian suci. Kata zakat dengan makna suci, merupakan arti kata zakat yang ada di dalam Al-Qur'an dan ini sesuai dengan arti dalam bahasa Yahudi, yaitu takwa (al-Qardhawi, 2016); Zulham dan Hidayat, 2022).
Analisis Joseph Schacht ini, menurut al-Qardhawi, jelas tidak memiliki dasar sama sekali. Pendapat ini merupakan pendapat melenceng yang hanya didasarkan pada praduga dan hawa nafsu. Ada dua argumentasi yang dapat meruntuhkan pendapat Josep Schacht tersebut. Pertama, Al-Qur'an menyebutkan kata zakat sesuai dengan apa yang dipahami oleh Bangsa Arab sedari awal masa kenabian di kota Mekah. Hal ini dapat dijumpai dalam Al-Qur'an surat A'raf ayat 156, Maryam ayat 31 dan 55 serta di beberapa surat lainnya. Nabi Muhammad juga diketahui tidak menguasai Bahasa Ibrani atau bahasa lainnya selain Bahasa Arab. Nabi Muhammad juga tidak berinteraksi dengan kaum Yahudi sebelum beliau hijrah ke kota Madinah. Jadi, bagaimana bisa Rasul mengambil dari kaum Yahudi atau dari bahasa mereka? Kedua, salah satu spekulasi atau diskursus yang kontradiktif dengan metode penelitian adalah klaim tanpa bukti bahwa satu kata diserap dari bahasa lain ketika kata tersebut digunakan oleh dua bahasa. Tidak ada keharusan bagi satu kata yang digunakan oleh dua bahasa atau lebih bahwa salah satu bahasa menyerap kata dari bahasa yang lain. Pembuktian penyerapan kata oleh suatu bahasa tidak boleh hanya berdasarkan klaim tapi harus dengan pembuktian sejarah yang akurat karena klaim dan tuduhan dalam hal ini mengindikasikan hilangnya moral seorang cendikiawan (al-Qardhawi, 2016; Zulham dan Hidayat, 2022).
Hukum Berzakat
Kata zakat disebutkan sebanyak tiga puluh dua kali dalam Al-Qur'an. Dari total penyebutan tersebut, tiga puluh kali dalam bentuk ma'rifah dan dua kali dalam bentuk nakirah. Dari tiga puluh kali penyebutan dalam bentuk ma'rifah, dua puluh tujuh kali kata zakat disandingkan dengan kata salat (Fakhruddin, 2008; Mustarin, 2017; al-Qardhawi, 2016; Zulham dan Hidayat, 2020). Berdasarkan letak geografis turunnya ayat, delapan ayat diturunkan di Mekah dan dua puluh dua ayat diturunkan di Madinah. Banyaknya ayat yang menyebutkan kata zakat menunjukkan bahwa zakat merupakan salah satu ibadah yang sangat penting dalam Islam. Kewajiban zakat juga dapat ditemui dalam hadis Rasulullah dan dipertegas dengan ijmak ulama (Zulham dan Hidayat, 2022).
Dalil kewajiban menunaikan zakat dapat ditemukan dalam Al-Qur'an, di antaranya firman Allah,
“Dan dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan rukuklah beserta orang-orang yang rukuk” (Q.S. al-Baqarah: 43).
“Apabila sudah habis bulan-bulan haram itu, maka bunuhlah orang-orang musyrikin itu di mana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian. Jika mereka bertaubat, mendirikan salat dan menunaikan zakat, maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. al-Taubah: 5).
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia, dirikanlah salat, dan tunaikanlah zakat” (Q.S. al-Baqarah: 83).
Selain beberapa dalil dari Al-Qur'an, kewajiban zakat juga diperkuat oleh hadis Rasulullah. Beberapa hadis tersebut di antaranya,
Dari Anas bin Malik, dia berkata, Rasulullah bersabda, “Orang yang menolak membayar zakat, kelak di hari kiamat berada di dalam neraka” (H.R. Thabrani) (al-Thabrani, 1985).
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata, Rasulullah bersabda, “Islam itu dibangun di atas lima perkara, yaitu syahadat bahwasanya tidak ada Tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah hamba-Nya dan utusan-Nya, menegakkan salat, menunaikan zakat, naik haji, dan berpuasa Ramadhan” (H.R. Bukhari) (al-Bukhari, 1422 H) (Zulham dan Hidayat, 2022).
Berdasarkan ayat-ayat dan hadis-hadis di atas maka terbentuklah ijmak ulama terkait hukum wajib zakat (al-Bajuri, 2002; Ramadhan, 2023). Ulama sepakat bahwa zakat merupakan salah satu rukun Islam yang lima dan hukum menunaikannya adalah wajib. Zakat juga memiliki implikasi hukum yang sama seperti rukun Islam yang lainnya, bahwa mengingkari kewajiban zakat dihukumi kafir dan menolak menunaikannya dianggap sebagai dosa besar, walaupun dia meyakini kewajibannya (Qudamah, 1968; Zulham dan Hidayat, 2020). Mengacu pada sumber utama hukum Islam dan ijmak ulama tersebut, maka tidak ada pro-kontra terkait kewajiban menunaikan zakat. Setiap muslim yang telah memenuhi syarat dan ketentuan berzakat, wajib untuk menunaikan zakat (Zulham dan Hidayat, 2022).
Secara substansial, zakat termasuk kategori kewajiban yang mempunyai dua tinjauan (murakkab), yaitu tinjauan ta'abbudi (penghambaan diri kepada Allah) dan tinjauan sosial. Tidak seperti pelemparan jumrah dalam ritual haji yang tinjauannya hanya ta'abbudi, tidak pula seperti melunasi utang yang tinjauannya berkisar sisi sosial saja, tinjauan sosial zakat terlihat pada objek utamanya, yaitu pemenuhan kebutuhan hidup mustahik yang mayoritas merupakan masyarakat ekonomi kelas bawah, dan peningkatan taraf hidup mereka supaya terentas dari kemiskinan, hidup layak, tak sekadar bergantung pada uluran tangan orang lain, serta berbalik menjadi penolong bagi orang lain yang masih berkubang di jurang kemiskinan (Ramadhan, 2023).
Sementara tinjauan ta'abbudi yang tidak kalah penting dari tinjauan sosial terletak pada keharusan memenuhi berbagai cara pengalkulasian, pendistribusian, dan aturan-aturan lainnya yang harus dipatuhi oleh seorang muzakki, sehingga zakat yang ditunaikan menjadi sah secara syar'i. Dari tinjauan inilah (ta'abbudi) zakat menjadi salah satu rukun Islam yang sejajar dengan salat, puasa, dan haji (Ramadhan, 2023).
Zakat termasuk salah satu dari ajaran Islam yang ma‘lum min al- din bi al-dharuri (ajaran agama yang secara pasti telah diketahui secara umum). Jika seorang muslim mengingkari kewajiban zakat bukan karena ketidaktahuan (jahalah) atau baru masuk Islam (hadits al-Islam), maka dia telah menjadi kafir. Syeikh Muhy al-Din al-Nawawi menjelaskan bahwa kewajiban zakat adalah ajaran agama Allah yang diketahui secara jelas dan pasti. Karena itu, siapa yang mengingkari kewajiban ini, sesungguhnya dia telah mendustakan Allah dan mendustakan Rasulullah sehingga dia dihukumi kafir (al-Nawawi, 2003; Ramadhan, 2023; Sahroni et al., 2020).
Status hukum orang yang meninggalkan zakat adalah: apabila orang yang ingkar zakat tersebut seorang muslim dan menjadi penduduk negara Islam dan jalan untuk mengetahui tentang kewajiban zakat terbuka, maka tidak ada alasan baginya untuk tidak mengetahui, para ulama mengatakan bahwa dia termasuk orang yang murtad, sebab dalil wajibnya zakat jelas dan tegas disebutkan di dalam Al-Qur'an dan hadis. Oleh karena itu, orang yang mengingkari kewajiban zakat berarti mendustakan kitab Allah dan sunah Rasul. Barang siapa menolak menunaikan zakat sebagai salah satu kewajiban agama, maka dia termasuk muslim durhaka. Dia harus ditindak tegas dan dikenakan sanksi (ta'zir) (Nurdin, 2019).
Orang yang enggan menunaikan zakat dalam keadaan meyakini wajibnya, dia adalah orang fasik dan akan mendapatkan siksa yang pedih di akhirat. Allah berfirman,
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu” (Q.S. al-Taubah: 34-35).
Muzakki yang tidak menunaikan zakat sama dengan memakan harta yang batil, haram atau sama saja dengan korupsi, karena harta zakat adalah hak orang lain dan bukan lagi menjadi haknya walaupun harta itu memang ada di tangannya dan memang hasil dari usahanya sendiri. Ini penting untuk digarisbawahi, karena perbuatan ini tentu saja akan mengotori jiwa dan membuat doa tidak akan dikabulkan Allah karena dia telah memakai atau mengonsumsi harta yang haram. Itulah sebabnya zakat sangat penting bagi penyucian jiwa (Nurdin, 2019)
Sanksi terhadap muzakki yang tidak membayar zakat, secara duniawi, yaitu pemerintah diperkenankan mengambil paksa zakat yang harus dibayarkan dan memberi hukuman pada pelaku agar jera. Muzakki yang enggan mengeluarkan zakat bukan hanya diancam dengan hukuman materi akan tetapi pemerintah diberikan kewenangan menghukum secara fisik dan penjara, sesuai dengan kondisi dan situasi. Ketentuan demikian sesuai dengan kasus penolakan membayar zakat pada masa Abu Bakar. Abu Bakar dengan tegas dengan mengatakan, “Wahai Umar, demi Allah, aku akan memerangi siapapun yang memisahkan salat dengan zakat.” Imam al-Qaffal menegaskan, jika pemilik harta tidak mau membayar zakat sebab bakhil, maka zakat diambil paksa darinya dan dia berhak diberi sanksi (Nurdin, 2019).
Syarat Wajib Berzakat
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, zakat merupakan salah satu ibadah wajib dalam syariat Islam. Seperti ibadah wajib lainnya, maka terdapat ketentuan syarat yang harus terpenuhi agar ibadah tersebut menjadi sebuah kewajiban (bagi mukallaf). Adapun secara umum syarat wajib berzakat adalah beragama Islam, merdeka, harta wajib zakat telah mencapai nishab, harta dimiliki secara sempurna, telah memenuhi haul, dan ketiadaan utang (Zulham dan Hidayat, 2022).
Ulama sepakat bahwa zakat hanya diwajibkan orang Islam dan tidak diwajibkan bagi kafir, baik kafir murni maupun kafir murtad. Selain itu, zakat yang berfungsi sebagai penyuci hanya dapat menyucikan orang Islam dan tidak dapat menyucikan bukan orang muslim, karena mereka tidak termasuk dalam kriteria orang-orang yang dapat disucikan (al-Qahthani, 2010; al-Zuhaili, 1985; Zulham dan Hidayat, 2022).
Jumhur ulama tidak mewajibkan balig dan berakal sebagai syarat wajib berzakat. Hal ini didasari bahwa harta mereka tetap dapat dikeluarkan oleh wali mereka sesuai dengan ketentuan syariat (al-Kaaf, 2013; Sibromulisi, 2018). Sedangkan Mazhab Hanafiyah menjadikan baligh dan berakal sebagai salah satu syarat wajib berzakat (al-Zuhaili, 1985; Zulham dan Hidayat, 2022).
Zakat hanya diwajibkan bagi orang Islam yang merdeka. Ulama sepakat bahwa zakat tidak diwajibkan atas budak dan hamba sahaya. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa budak tidak memiliki harta, dan segala sesuatu yang ada padanya adalah milik tuannya (al-Qahthani, 2010: Zulham dan Hidayat, 2022).
Hal yang sama juga berlaku bagi hamba sahaya yang berstatus mukatab, yaitu hambanya sahaya yang berjanji atau djanjikan oleh tuannya apabila membayar sejumlah nominal tertentu akan dimerdekakan. Tidak wajib atasnya berzakat karena harta yang ada padanya tidak bersifat mutlak atau sempurna. Mayoritas ulama berpendapat bahwa kewajiban zakat atas harta tersebut dikenakan kepada tuannya. Dia dianggap sebagai pemilik hamba dan harta hambanya secara bersamaan. Sedangkan ulama Malikiyah mengatakan bahwa tidak wajib zakat dalam kasus ini karena kepemilikan hamba atas harta tersebut tidak sempurna (al-Zuhaili, 1985; Zulham dan Hidayat, 2022).
Telah tercukupi nishab menjadi salah satu syarat wajib zakat. Nishab disinyalir sebagai indikator bahwa sang pemilik masuk dalam kategori orang mampu. Ketetapan nishab berbeda-beda antara setiap jenis harta wajib zakat. Nishab emas sebanyak 20 dinar atau kurang lebih 85 gram emas. Nishab perak sebanyak 200 dirham atau kurang lebih 595 gram perak. Nishab pertanian adalah lima wasq atau 653 kilogram menurut mayoritas ulama. Sedangkan untuk nishab binatang ternak berbeda-beda setiap jenisnya. Nishab kambing dimulai dari 40 ekor kambing. Nishab unta dimulai dari lima ekor unta, dan nishab sapi dimulai dari 30 ekor sapi (Zulham dan Hidayat, 2022).
Syarat wajib zakat berikutnya menuntut dua hal yang wajib terpenuhi, yaitu kepemilikan dan sempurna. Kepemilikan secara terminologis berarti adanya legalitas syariah (hukum) bagi manusia atas harta. Legalitas tersebut memberikan seseorang hak mutlak untuk berbuat atas harta itu tanpa campur tangan orang lain (al-Qardhawi, 2016). Terminologi ini menunjukkan bahwa kepemilikan berarti kekhususan seseorang atas dan/atau terhadap harta (Zulham dan Hidayat, 2022).
Bila harta tersebut merupakan harta bersama, maka harta tersebut dipisah kepemilikannya baik secara materil ataupun secara nilai, dan selanjutnya zakat ditunaikan atas kepemilikan masing-masing. Pada prinsipnya, zakat hanya diwajibkan atas harta yang dimiliki secara pribadi, walaupun nanti ada ketentuan atas zakat perusahaan yang notabene dimiliki oleh banyak orang sebagai pemegang saham. Para mujtahid kontemporer melihat kemandirian kepemilikan hanya sebatas pada harta-harta non profit. Pada perusahaan yang dimiliki secara bersama, maka yang dilihat adalah harta dari perusahaan tersebut. Kewajiban zakat berlaku atas aset lancar yang dikurangi dengan utang perusahaan yang dikenal juga dengan istilah metode asset netto. Ijtihad ini didasari analogi perusahaan dengan zakat perdagangan. Pada zakat perusahaan, nishab dan haul menjadi syarat wajib zakat perusahaan, seperti halnya zakat barang perniagaan (Zulham dan Hidayat, 2022).
Selain itu, pemilik harta harus dapat memanfaatkan harta tersebut secara penuh atau sempurna. Barang yang dikuasai musuh, atau yang dicuri, maka tidak ada kewajiban zakat atas barang tersebut, walaupun secara normatif barang tersebut masih menjadi miliknya. Sedangkan barang yang telah diwakafkan atau dihibahkan, maka kepemilikan barang tersebut telah hilang sehingga tidak ada kewajiban zakat atas barang tersebut (Zulham dan Hidayat, 2022).
Haul adalah masa atau periode perjalanan dalam satu kalender hijriah. Ketentuan haul ini berlaku bagi semua jenis zakat mal kecuali hasil pertanian, hasil tambang dan rikaz seperti yang diutarakan mayoritas ulama. Zakat hasil pertanian dikeluarkan setiap kali panen dan bukan berdasarkan perjalanan satu kalender hijriah (al-Zuhaili, 1985; Zulham dan Hidayat, 2022)
Perhitungan haul dimulai dari pertama kali harta mencapai nishab. Bila pada tanggal 1 Rabiul Awwal 1435 H misalnya seseorang telah memiliki emas seberat 100 gram maka bila harta tersebut tetap, atau bertambah atau mungkin berkurang tetapi tidak sampai di bawah nishab (85 gram), maka pada tanggal 1 Rabiul Awwal 1436 H (satu tahun berikutnya), orang tersebut wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5 persen dari total harta wajib zakat tersbut (Zulham dan Hidayat, 2022).
Ulama berbeda pendapat terkait stabilitas nishab dalam masa haul. Ulama Mazhab Hanafiyah mengutarakan bahwa nishab wajib terpenuhi di awal dan di akhir haul dan tidak terpengaruh dengan berkurangnya harta dipertengahan haul. Pendapat berbeda diutarakan ulama Mazhab Hanabilah. Menurut mereka harta harus mencapai nishab di sepanjang haul, kecuali bila kekurangannya hanya bersifat minim (al-Zuhaili, 1985; Zulham Hidayat, 2022).
Mayoritas ulama mengutarakan bahwa salah satu syarat wajib zakat adalah ketiadaan utang. Mazhab Hanafiyah mengatakan bahwa utang dapat menghilangkan kewajiban zakat, kecuali zakat pertanian. Mazhab Malikiyah mengatakan bahwa utang dapat menghalangi zakat emas dan perak, tetapi tidak berlaku bagi zakat pertanian, hewan ternak dan barang tambang. Sedangkan Mazhab Hanabilah mengungkapkan bahwa utang dapat menyebabkan hilangnya kewajiban segala jenis zakat harta (al-Zuhaili, 1985; Zulham dan Hidayat, 2022). Namun, menurut pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi'i, tanggungan utang walaupun banyak tidak dapat mencegah kewajiban zakat (al-Bahuti, 2003; Sibromulisi, 2018).
Utang merupakan indikasi bahwa seseorang masuk dalam kategori miskin dan tidak ada kewajiban zakat bagi orang miskin. Akan tetapi, dalam praktiknya, bila di saat bersamaan seseorang memiliki utang dan juga harta yang telah mencapai nishab, maka bila utang tersebut ditunaikan dan harta yang dimilikinya tetap mencapai nishab, maka orang tersebut tetap dikenai wajib zakat (Zulham dan Hidayat, 2022).
Pada dasarnya, syariat memerintahkan seseorang agar menyegerakan pelunasan utangnya kepada pihak lain. Tidak layak bagi seseorang menyimpan harta berlebih, sedangkan pada saat bersamaan dia masih memiliki utang ke pihak lain. Oleh karena itu, dalam hukum Islam melunasi utang lebih diutamakan daripada menunaikan zakat. Sebagaimana yang telah dijelaskan, bahwa enam syarat wajib zakat di atas harus terpenuhi. Ketika salah satu syarat tidak terpenuhi, maka hilanglah kewajiban seseorang untuk menunaikan zakat. Walaupun demikian, sumbangsih materil di jalan Allah tetap harus dilakukan melalui jalur lainnya, seperti sedekah, infak dan wakaf (Zulham dan Hidayat, 2022).
Sedangkan dalam kitab Syarh al-Yaqut al-Nafis fi Mazhab Ibn Idris (al-Syafi'i), Habib Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Syathiri menjelaskan bahwa syarat-syarat wajib zakat ada lima, yaitu beragama Islam, merdeka, kepemilikan sempurna, kepemilikan harta berstaus tertentu, sang pemilik wujud secara yakin (Sibromulisi, 2018; al-Syathiri, 2011).
Jenis Zakat
Zakat dibagi menjadi dua jenis. Jenis yang pertama adalah zakat nafs (zakat jiwa)) atau yang lebih dikenal dengan zakat fitrah. Zakat fitrah terdiri dari dua kata, yaitu zakat yang bermakna tumbuh, bertambah dan berkah. Sedangkan fitri dari kata al-fithr yang bermakna makan. Dari kata al-fithr ini dikenal kata ifthar yang maknanya adalah makan untuk berbuka puasa. Adapun kata al-futhur artinya sarapan pagi (Ansory, 2020; Mutmainnah, 2020).
Zakat ini disebut zakat fitrah karena terkait dengan bentuk harta yang diberikan kepada mustahik, yaitu berupa makanan. Selain itu zakat ini dinamakan zakat fitrah juga karena terkait dengan hari lebaran yang bernama al-fithr, yaitu idul fitri yang artinya hari raya fitri. Pada hari Idul Fitri umat Islam diharamkan untuk berpuasa, dan sebaliknya wajib berbuka atau memakan makanan. Oleh karena itu, hari raya itu disebut dengan hari Idul Fitri (‘Id al-Fithr) yang arti secara bahasa adalah hari raya makan-makan (Mutmainnah, 2020).
Jadi kesimpulannya, zakat fitrah adalah zakat yang wajib disebabkan berbuka dari puasa Ramadhan. Zakat fitrah hukumnya wajib atas setiap orang Islam, anak kecil atau dewasa, laki-laki atau wanita, budak atau merdeka (Sabiq, 1978; Mutmainnah, 2020). Zakat fitrah diwajibkan bukan karena sebab kepemilikan harta secara khusus, namun sebagai kewajiban yang dibebankan karena berada di penghujung bulan Ramadhan (Ansory, 2020; Mutmainnah, 2020).
Dalam suatu hadis disebutkan,
Rasulullah mewajibkan zakat fitrah di bulan Ramadhan kepada manusia yaitu satu sha' dari kurma atau satu sha' dari gandum kepada setiap orang merdeka, budak laki-laki atau orang perempuan dari kaum muslimin (H.R. Bukhari dan Muslim).
Zakat fitrah ditunaikan dalam bentuk bahan makanan pokok di daerah setempat. Dalam konteks Indonesia, satu sha' setara dengan sekitar dua setengah kilogram beras per orang (ada yang berpendapat 2,7 kilogram) (Ramadhan, 2023). Membayar zakat fitrah hukumnya wajib sesuai kesepakatan ulama bagi orang yang telah memenuhi kriteria, yaitu beragama Islam, merdeka (bukan hamba sahaya), dan memiliki makanan pokok pada saat Idul Fitri (untuk siang dan malamnya). Hal ini berlaku baik bagi laki-laki, perempuan, anak kecil, orang dewasa, orang merdeka, ataupun hamba sahaya (yang muba'adh/budak yang setengah merdeka atau ada perjanjian kemerdekaannya) (Abror, 2022).
Waktu pengeluaran zakat fitrah dibagi menjadi lima. Pertama, wajib, yaitu bagi seseorang yang menemukan bagian dari bulan Ramadhan dan bagian dari bulan Syawal. Sehingga, orang yang meninggal dunia sebelum matahari terbenam pada malam satu Syawal tidak terkena kewajiban zakat karena tidak menemukan bagian dari bulan Syawal. Demikian juga bayi yang baru lahir setelah terbenamnya matahari malam satu Syawal karena tidak menemukan bagian dari bulan Ramadhan. Kedua, diutamakan, yaitu setelah terbit fajar pada pagi hari raya Idul Fitri sampai sebelum dilaksanakannya salat Id. Lebih utama lagi ditunaikan setelah salat fajar. Ketiga, boleh, yaitu terhitung sejak memasuki awal bulan Ramadhan. Keempat, makruh, yaitu membayar zakat setelah salat Id sampai terbenamnya matahari, kecuali jika untuk suatu kemaslahatan seperti menunggu seorang kerabat atau orang fakir yang salih untuk diberikan kepadanya. Kelima, haram, yaitu membayar zakat sehari setelah hari raya Idul Fitri tanpa adanya uzur (kendala yang dimaklumi). Jika ada uzur semisal harta untuk dizakatkan belum tersedia atau sulit menemukan mustahik, maka hukumnya boleh, akan tetapi statusnya sebagai qadha dan tidak berdosa (Abror, 2022).
Sumber lain menyebutkan bahwa waktu pembayaran zakat fitrah terbagi kepada dua waktu. Pertama, waktu yang terbatas (al-mudhayyiq), yaitu waktu wajib membayar zakat fitrah yang ditandai dengan tenggelamnya matahari di akhir bulan Ramadhan sampai sebelum salat Id. Kedua, waktu yang luas (al-muwassi'), yaitu boleh mendahulukan atau mcmpercepat pembayaran zakat fitrah dari waktu wajib tersebut, yaitu selama bulan Ramadhan (Sahroni et al., 2020).
Jenis zakat yang kedua adalah zakat mal (harta). Secara umum aset zakat mal meliputi hewan ternak, emas dan perak, bahan makanan pokok, buah-buahan, dan mal tijarah (aset perdagangan). Syeikh al-Nawawi al-Bantani dalam kitab Nihayat al-Zain fi Irsyad al-Mubtadi'in menjelaskan bahwa zakat mal wajib dalam delapan jenis harta, yaitu emas, perak, hasil pertanian (bahan makanan pokok), kurma, anggur, unta, sapi, dan kambing. Sedangkan aset perdagangan dikembalikan pada golongan emas dan perak karena zakatnya terkait dengan kalkulasinya dan kalkulasinya tidak lain dengan menggunakan emas dan perak (al-Bantani, t.th; Ramadhan, 2023).
Menurut beberapa ulama kotemporer, aset zakat juga meliputi uang (al-auraq al-maliyah), hasil profesi, atau hadiah yang diterima oleh seseorang sebagaimana yang dijelaskan oleh Syeikh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami, Syeikh Yusuf al-Qardhawi dalam Fiqh al-Zakah, Syeikh Abdurrahman al-Juzairi dalam al-Fiqh ‘ala al-Madzahib al-Arba'ah, dan yang lainnya (Ramadhan, 2023). Pendapat ini berpedoman pada beberapa riwayat ulama, di antaranya,
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas tentang seseorang yang memperoleh harta, (lalu) Ibnu Abbas berkata: (Hendaknya) dia menzakatinya pada saat memperolehnya (H.R. Ahmad).
Diriwayatkan dari Habirah bin Yarim, dia berkata: ‘Abdullah ibn Mas'ud memberi kami suatu pemberian di dalam keranjang kecil, kemudian beliau mengambil zakat dari pemberian-pemberian tersebut (H.R. Abu Ishaq dan Sufyan al-Tsauri) (Ramadhan, 2023).
Zakat penghasilan atau zakat profesi (al-mal al-mustafad) dalam bahasa Arab lebih banyak disebut dengan zakat kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah yang diartikan sebagai zakat atas penghasilan kerja dan profesi bebas (al-Qardhawi, 2016). Zakat penghasilan atau zakat profesi adalah zakat yang dikenakan pada setiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendirian maupun bersama dengan orang/lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) halal yang memenuhi nishab (batas minimum untuk wajib zakat). Contohmya adalah pejabat, pegawai negeri atau swasta, dokter, konsultan, advokat, dosen, makelar, seniman, dan sejenisnya (Navis, 2019).
Zakat profesi terdiri dari dua kata, yaitu kata “zakat” dan “profesi”. Zakat merupakan hak yang harus dikeluarkan dari harta ataupun badan. Profesi sendiri merupakan bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu (Marimin dan Fitria, 2015; Ali, 2021). Kata profesi berasal dari kata bahasa Inggris “profession” yang mempunyai arti pekerjaan, sehingga orang yang ahli dalam bidang pekerjaan disebut profesional (Hafidhuddin, 2002; Ali, 2021).
Zakat profesi adalah zakat yang dikeluarkan dari suatu pekerjaan atau profesi yang mencakup pekerjaan yang dilakukan sendiri tanpa tergantung kepada orang lain, berkat kecekatan tangan atau otak dan pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain, baik perusahaan, pemerintah dengan memperoleh upah (al-Qardhawi, 1987). Zakat profesi merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang taat. Ruang lingkup zakat profesi itu sendiri adalah semua pendapatan yang dihasilkan seseorang yang biasanya dalam bentuk gaji dan upah, sepanjang harta tersebut tidak merupakan suatu pengembalian dari harta, investasi, atau modal (Mufraini, 2006).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa setiap keahlian dan pekerjaan apapun yang halal, baik dilakukan secara sendiri ataupun dilakukan pada pihak lain, seperti ASN, apabila penghasilannya sudah mencapai nishab, maka dia wajib mengeluarkan zakat atas penghasilannya tersebut (Ali, 2021).
Hal itu selaras dengan pendapat Didin Hafidhuddin (2022), terkait kewajiban zakat profesi, yaitu pertama, adanya ayat-ayat al-Qur'an yang bersifat umum yang mewajibkan semua jenis harta dikeluarkan zakatnya; kedua, adanya persetujuan dari ulama terdahulu maupun sekarang, meskipun adanya perbedaan istilah; ketiga, adanya keadilan yang menetapkan kewajiban zakat pada harta yang dimiliki dibandingkan hanya menetapkan kewajiban zakat atas komoditas tertentu yang konvensional, di mana petani saja yang kondisinya secara umum tidak beruntung tetap harus berzakat apabila hasil pertaniannya sampai nishab; dan keempat, sejalan dengan perkembangan kehidupan umat khususnya dalam bidang ekonomi, di mana kegiatan penghasilan melalui keahlian dan profesi akan semakin berkembang dari waktu ke waktu, bahkan menjadi kegiatan ekonomi utama (Ali, 2021).
Terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama fikih tentang zakat penghasilan atau zakat profesi. Mayoritas ulama mazhab empat tidak mewajibkan zakat penghasilan atau zakat profesi pada saat menerima kecuali sudah mencapai nishab dan sudah sampai setahun (haul). Para ulama mutaakhirin seperti Syeikh Abdurrahman Hasan, Syeikh Muhammad Abu Zahro, Syeikh Abdul Wahhab Khallaf, Syeikh Yusuf al-Qardhawi, Syeikh Wahbah al-Zuhaili, hasil kajian Majma' Fikih dan Fatwa MUI Nomor 3 Tahun 2003 tentang Zakat Penghasilan menegaskan bahwa zakat penghasilan atau penghasilan itu hukumnya wajib (Navis, 2019).
Karena zakat profesi ini tergolong baru, nishabnya pun mesti dikembalikan (dikiaskan) kepada nishab zakat-zakat yang lain, yang sudah ada ketentuan hukumnya. Ada dua kemungkinan yang dapat dikemukakan untuk ukuran nishab zakat profesi ini. Pertama, Disamakan dengan nishab zakat emas, yaitu dengan mengkiaskannya kepada emas sebagai standar nilai uang yang wajib dikeluarkan zakatnya, yakni 20 dinar atau 85 gram emas. Kedua, disamakan dengan zakat hasil pertanian, yaitu 5 wasq (sekitar 653 kilogram beras). Zakatnya dikeluarkan pada saat diterimanya penghasilan dari profesi tersebut sejumlah 5 atau 10 persen, sesuai dengan biaya yang dikeluarkan (Marimin dan Fitria, 2015).
Karena profesi itu sendiri mempunyai bentuk, jenis, dan pendapatan yang beragam, maka kedua jenis standar nishab zakat tersebut bisa digunakan dalam menentukan nishab zakat profesi, dengan berimbang sebagai berikut (Hamzah dan Razak, 2020).
Pertama, bagi jenis profesi yang berupa imbalan atas keahliannya, seperti dokter spesialis, akuntan, advokat, kontraktor, arsitek, dan profesi sejenisnya, termasuk pejabat tinggi negara, profesor, dan yang sederajat, maka nishab zakatnya adalah sama dengan nishab zakat pertanian yang nilainya kurang lebih 653 kilogram beras (5 wasq) (Abraham, 2018). Meskipun pekerjaan tersebut terkesan bukan suatu usaha yang menggunakan modal, namun nyatanya tetap menggunakan modal, yaitu untuk peralatan kerja, transportasi, sarana komunikasi seperti telepon, tagihan listrik, dan lain-lain, maka zakatnya 5persen, dan diterbitkan pada saat pembayaran diterima. Hal ini sama dengan zakat pertanian yang menggunakan biaya irigasi (bukan tadah hujan) (Ali et al., 2014; Bilo and Machado, 2020).
Kedua, bagi para profesional yang bekerja di pemerintahan misalnya, atau swasta yang gajinya tidak mencapai nishab pertanian sebagaimana disebutkan di atas, misalnya guru, dokter yang bekerja di rumah sakit, atau orang yang bekerja di perusahaan transportasi. Zakatnya berdasarkan nishab emas 85 gram. Jika pada akhir tahun jumlahnya mencapai nishab, dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen, setelah dikeluarkan biaya pokok dari yang bersangkutan dan keluarganya (Djaghballou et al, 2018; Amalia et al., 2018).
Al-Qardhawi (2016) menjelaskan tiga wacana cara membayar zakat profesi dan penghasilan. Pertama, pengeluaran bruto, yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan yang mencapai nishab 85 gram emas dalam setahun, dikeluarkan 2,5 persen langsung ketika penghasilan diterima sebelum dikurangi apa pun. Jadi misalnya kalau didapatkan gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai Rp 5.000.000,- x 12 bulan = Rp 60.000.000,-, berarti zakat dikeluarkan langsung adalah 2,5 persen dari Rp 5.000.000,- tiap bulan = Rp 125.000,- atau dibayar di akhir tahun sebesar Rp 1.500.000,- (Navis, 2019).
Kedua, dipotong operasional kerja, yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang mencapai nishab, maka dipotong dahulu dengan biaya operasional kerja. Contohnya, seseorang mendapat gaji Rp 5.000.000,- sebulan, dikurangi biaya transpor dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak Rp 500.000,- dan sisanya Rp 4.500.000,-, maka zakatnya dikeluarkan adalah 2,5 persen dari Rp 4.500.000, = Rp 112.500,- atau dibayar di akhir tahun sebesar 1.350.000,- (Navis, 2019).
Ketiga, pengeluaran netto atau zakat bersih, yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nishab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan, utang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperluan dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya. Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nishab, maka wajib seseorang membayar zakat. Akan tetapi kalau tidak mencapai nishab maka tidak wajib membayar zakat, karena dia bukan termasuk muzakki bahkan menjadi mustahik karena sudah menjadi miskin dengan tidak cukupnya penghasilan untuk kebutuhan pokok sehari-hari (Navis, 2019).
Dengan demikian, seseorang yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nishab (85 gram emas) wajib mengeluarkan zakat 2,5 persen, boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain. Ini lebih afdal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tapi tidak dizakati, tentu akibatnya seseorang akan mendapatkan azab Allah baik di dunia dan di akhirat. Ibnu Rusyd menjelaskan bahwa zakat itu ta'bbudi (pengabdian kepada Allah) bukan hanya sekedar hak mustahik. Tapi ada juga sebagian pendapat ulama membolehkan sebelum dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya operasional kerja atau kebutuhan pokok sehari-hari (Navis, 2019).
Mustahik Zakat
Dalam fikih zakat, terdapat delapan golongan penerima zakat. mnurut fikih, delapan kelompok penerima zakat ini dikenal dengan istilah mustahik zakat. Elaborasi zakat mustahik dalam fikih dapat dikategorikan menjadi dua pengertian besar, yaitu pemahaman fikih klasik dan modern (Laila dan Abdullah, (2022). Fikih klasik diwakili oleh ulama-ulama yang berafiliasi dengan mazhab fikih seperti Wahbah al-Zuhaili yang tidak jauh dari penjelasan Syafi'iyah. Sedangkan pemahaman fikih modern cenderung memberikan penjelasan mustahik zakat dalam konteks kekinian, sebagaimana Masdar F. Mas'udi menjelaskan mustahik zakat dalam konteks administrasi negara modern (Ma'sudi, 2010).
Penjelasan fikih tentang mustahik zakat dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, faqir, yaitu orang-orang yang tidak mempunyai pekerjaan atau harta benda dan hampir tidak memiliki apa-apa sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok hidup atau orang-orang yang tidak mempunyai harta sama sekali dan tidak mempunyai penghasilan, atau orang yang mempunyai harta dan penghasilan yang tidak mencukupi setengah dari kebutuhan sehari-hari mereka. Penjelasan ini merupakan penjelasan mayoritas ulama fikih (BAZNAS, 2021; Coirunisa et al., 2020; Fauzia dan Pertiwi, 2023; Mubin dan Siddiq, 2022; al-Zuhaili, 2011).
Kedua, miskin, yaitu orang-orang yang mempunyai harta, namun tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar kehidupan sehari-hari sesuai indikator kemiskinan (di bawah indikator kemiskinan) atau orang yang mempunyai sedikit harta atau penghasilan yang mampu memenuhi separuh kebutuhannya. Kata fakir dan miskin dalam penggunaannya cenderung diperlakukan sebagai satu kata majemuk yang menunjukkan orang-orang yang tidak mampu secara finansial. Banyak fukaha yang secara umum membedakan keduanya. Padahal perbedaan keduanya tidak bersifat mendasar, melainkan hanya bertahap (BAZNAS, 2021; Coirunisa et al., 2020; Fauzia dan Pertiwi, 2023; Mubin dan Siddiq, 2022; al-Zuhaili, 2011).
Ketiga, ‘amil, yaitu orang-orang yang bekerja mengumpulkan dan mendistribusikan zakat, atau orang yang berperan dalam pengelolaan zakat, baik menghimpun, mencatat maupunmendistribusikan zakat (BAZNAS, 2021; Coirunisa et al., 2020; Fauzia dan Pertiwi, 2023; Mubin dan Siddiq, 2022; al-Zuhaili, 2011). Masdar F. Mas'udi (2010) mengatakan, al-‘amilin adalah pemerintah dalam kaitannya dengan hak menerima atau memungut pajak. Mereka adalah orang atau badan yang terlibat dalam salah satu dari empat bidang tanggung jawab sebagai pengendali kebijakan perpajakan yang disepakati oleh wajib pajak, aparat administrasi perpajakan, dan pejabat pemerintah yang bekerja untuk kesejahteraan atau kemaslahatan rakyat dengan dana pajak (Mubin dan Siddiq, 2022).
Keempat, mualaf, yaitu seseorang yang baru masuk Islam dan membutuhkan bantuan untuk menguatkannya dalam tauhid dan syariah. Mereka masih dianggap mualaf untuk jangka waktu dua tahun (BAZNAS, 2021; Coirunisa et al., 2020; Fauzia dan Pertiwi, 2023). Muallaf bisa juga berarti pemeluk Islam yang baru dan orang yang masih kafir. Untuk pemeluk Islam yang, bisa berarti umat Islam yang keimanannya masih lemah atau mempunyai pengaruh sosial di lingkungannya bahwa dengan memberikan zakat kepada mereka diharapkan dapat memperkuat keislaman mereka atau mempengaruhi lingkungan sosialnya untuk masuk Islam. Sedangkan muallaf dalam artian orang yang masih kafir adalah mereka yang kafir dikhawatirkan akan meresahkan umat Islam sehingga dengan memberikan zakat kepada mereka diharapkan dapat melunakkan hati mereka untuk berpindah agama kepada Islam dan tidak mengganggu umat Islam (Mubin dan Siddiq, 2022; al-Nawawi, 1991). Dalam konteks sekarang, pemberian zakat kepada muallaf bisa dalam bentuk lembaga-lembaga non-Muslim atau negara-negara dengan minoritas Muslim sehingga pemberian zakat kepada mereka diharapkan dapat menarik mereka untuk bersimpati kepada Islam dan memperlakukan umat Islam secara adil. Dalam konteks modern, pemberian zakat kepada muallaf dapat diwujudkan untuk menyadarkan kembali para penjahat, biaya mental, kemanusiaan atau rehabilitasi dan pengembangan masyarakat lainnya atau suku terasing (Mubin dan Siddiq, 2022; Sahroni et al., 2018).
Kelima, riqab, yaitu seseorang yang tidak mempunyai kebebasan untuk hidup tetapi berada di bawah penguasaan orang lain (majikan), kemudian dia berhak mendapat zakat untuk membebaskan dirinya dari perbudakan, atau budak dan hamba sahaya yang ingin memerdekakan dirinya (BAZNAS, 2021; Coirunisa et al., 2020; Fauzia dan Pertiwi, 2023). Dalam pengertian fikih klasik muallaf berarti budak mukatab, yaitu budak yang terikat dalam perjanjian untuk membebaskan diri dari perbudakan. Memberikan zakat kepada mereka diharapkan dapat membantu mereka memerdekakan diri mereka dari perbudakan. Sedangkan dalam fikih modern, riqab adalah kaum yang tertindas sehingga memberi zakat kepada mereka merupakan upaya untuk membebaskan orang-orang yang tertindas dan kehilangan haknya untuk menentukan nasib dan arah hidup mereka sendiri. Mustahik pada kategori ini dapat menyasar pada buruh yang terpasung oleh majikannya, atau orang-orang tertentu yang dihukum hanya karena menggunakan hak dasar berpikir atau memilih (Mas'udi, 2010; Mubin dan Siddiq, 2022).
Keenam, gharimin, yaitu mereka yang berutang untuk kebutuhan hidup dalam mempertahankan jiwa dan izzahnya atau mereka yang mempunyai hutang karena alasan tertentu dan dianggap tidak mampu membayarnya, misalnya karena sakit sehingga harus berhutang untuk berobat (BAZNAS, 2021; Coirunisa et al., 2020; Fauzia dan Pertiwi, 2023). Dalam fikih klasik, gharimin adalah orang yang mempunyai hutang di mana hutang tersebut digunakan untuk merujuk orang yang berselisih, demi kebaikannya sendiri atau untuk menanggung beban orang lain. Sementara itu menurut dalam fikih modern, gharimin berarti orang-orang yang bangkrut. Pemberian zakat kepada mereka dapat diwujudkan dalam berupa pembayaran utang, pelatihan manajemen khususnya pengusaha kecil agar tidak mudah bangkrut dan membayar hutang kepada orang atau negara untuk mengurangi beban mereka (Mas'udi, 2010; Mubin dan Siddiq, 2022).
Ketujuh, fisabilillah, seseorang yang berusaha menegakkan agama Allah, melalui berbagai cara, baik pendidikan, seperti madrasah atau pondok pesantren yang tujuan utamanya adalah menegakkan agama Allah atau seseorang yang berjuang di jalan Allah dalam bentuk kegiatan dakwah, jihad dan sebagainya (BAZNAS, 2021; Coirunisa et al., 2020; Fauzia dan Pertiwi, 2023). Mayoritas ulama fikih sepakat bahwa mujahid mengacu pada umat yang berjuang di jalan Allah meskipun mereka kaya (Mubin dan Siddiq, 2022). Sedikit berbeda dengan pendapat Yusuf al-Qardhawi, bahwa yang dimaksud dengan jihad tidak harus berperang senjata. Al-Qardhawi berpendapat bahwa jihad dapat dilakukan dengan tulisan dan ucapan seperti halnya dengan pedang dan pisau. Terkadang jihad dilakukan di bidang pemikiran, pendidikan, sosial, ekonomi, politik serta dilakukan dengan kekuatan tentara. Semua jenis jihad ini memerlukan dukungan dan dorongan materi (Mudin dan Siddiq, 2022; al-Qardhawi, 2008). Masdar F. Mas'udi sependapat dengan para ulama yang mengartikan sabilillah dengan sabil al-khair yang berarti jalan kebaikan, atau manfaat yang meliputi kepentingan semua pihak. Zakat fisabilillah dapat disalurkan kepada mereka yang bekerja untuk bidang kemanusiaan seperti penyelenggara negara atau sistem pemerintahan di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang berperan sebagai penegak hukum, pemelihara sarana dan prasarana umum, serta aktifis sosial lainnya yang peduli terhadap peningkatan kualitas manusia dalam membangun peradaban, ilmu pengetahuan, dan teknologi dan lainnya upaya yang secara konsisten ditujukan untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial dan kesejahteraan manusia (Mas'udi, 2010; Mubin dan Siddiq, 2022).
Kedelapan, ibnu sabil, adalah orang-orang yang melakukan perjalanan dalam rangka mendakwahkan agama Allah atau menegakkan hukum dan syariah Allah atau mereka yang kehabisan biaya di perjalanan dalam ketaatan kepada Allah (BAZNAS, 2021; Coirunisa et al., 2020; Fauzia dan Pertiwi, 2023) atau orang-orang yang melakukan perjalanan karena ketaatan kepada Allah dan membutuhkan dana untuk melanjutkan perjalanannya dan kembali ke rumah (Mubin dan Siddiq, 2022). Menurut Masdar F. Mas'udi, pengertian ibnu sabil dapat diartikan sebagai tunawisma dan pengungsi. Pemahaman ini lebih luas dan relevan dibandingkan sekedar mencakup musafir yang kekurangan bekal sebagaimana dikenal dalam fikih klasik. Oleh karena itu, penyaluran dana zakat dapat digunakan untuk kebutuhan pengungsi karena alasan politik, karena alasan lingkungan atau bencana alam (Mas'udi, 2010; Mubin dan Siddiq, 2022).
Hikmah dan Fungsi Zakat
Zakat mengandung beberapa hikmah. Pertama, sebagai perwujudan keimanan kepada Allah, mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi. Kedua, membantu dan membina mustahik, terutama fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak dan dapat beribadah kepada Allah. Ketiga, sebagai pilar amal bersama antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid, serta menjadi salah satu bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Keempat, sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana umat Islam. Kelima, untuk memasyarakatkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian dari hak orang lain dari harta kita yang diusahakan dengan baik dan benar. Keenam, merupakan salah satu instrumen pemerataan pendapatan. Ketujuh, mendorong umat Islam untuk mampu bekerja dan berusaha sehingga memiliki harta kekayaan untuk bekal beribadah (Hafidhuddin, 2002; Saripudin, 2016).
Secara garis besar, fungsi zakat terbagi dua. Pertama, fungsi personal yang meliputi: membersihkan muzakki dari sifat kikir, menjadi sumber kebaikan dan kebekahan, menghindarkan muzakki dari kejahatan harta, mendidik muzakki untuk berinfak dan memberi, melatih muzakki untuk berhemat dan sederhana, sebagai manifestasi rasa syukur muzakki kepada Allah, mengobati hati muzakki dari cinta dunia, menumbuhkan kekayaan batin pada muzakki, mengembangkan harta muzakki, mensucikan harta muzakki, dan menjadi sebab rasa simpati terhadap muzakki. Kedua, fungsi sosial yang meliputi: menegakkan kemaslahatan umum, membatasi beredarnya harta hanya di kalangan orang kaya, melapangkan rezeki kaum yang tidak mampu secara ekonomi, memadamkan api permusuhan terhadap muzakki (Ali, 2021; Muthohar, 2016).
Sumber lain juga membagi fungsi zakat menjadi dua. Pertama, fungsi sosial. Fungsi sosial zakat disebutkan dalam surah al-Taubah ayat 103 dengan menggunakan lafaz tuthahhir yang membentuk masdar tathhir yang memiliki arti pembersihan dan pensucian. Adapun yang dimaksud dengan pembersihan dan pensucian di sini adalah pembersihan dan pensucian jiwa dan rohani seperti disebutkan dalam surat al-Maidah ayat 41. Merujuk pada pendapat Muhammad Mutawalli al-Sya'rawi (t.th.), maka fungsi sosial zakat terjadi pada setiap elemen zakat, yaitu muzakki, mustahik, dan harta itu sendiri (Widiastuti et al., 2019).
Bagi muzakki, zakat membersihkan hatinya dari sifat rakus dan kikir yang merupakan sifat hina serta menjadi watak manusia. Kewajiban zakat yang telah ditetapkan oleh Allah memiliki peran penting untuk sedikit demi sedikit membunuh sifat rakus dan kikir yang terkadang sudah menyebar ke dalam setiap nadi manusia. Dengan adanya zakat, dia dipaksa untuk memberikan sebagian harta yang Allah titipkan kepada orang yang berhak atas harta tersebut. Kewajiban yang dibebankan secara terus menerus tersebut diharapkan mampu membiasakannya untuk bisa saling berbagi dan merasakan kehidupan orang lain yang kesejahteraannya jauh berada di bawahnya. Sehingga pada akhirnya nanti dia tidak hanya mengeluarkan zakat, akan tetapi lebih dari itu dia akan mulai memberikan sedekah yang melebihi dari nilai zakatnya sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat, tabi'in dan penerusnya (Widiastuti et al., 2019).
Dari sudut pandang mustahik, kesadaran berzakat dan pengelolaannya yang benar dan optimal juga mampu memberikan dampak psikologis positif kepada mereka. Para mustahik akan merasakan manfaat dari keberadaan orang-orang kaya yang zakat hartanya menjadi salah satu sumber pendapatan mereka. Hal ini menjadikan sifat dengki, iri, dan amarah kepada orang kaya yang ada ada pada diri mustahik berubah menjadi rasa syukur dan cinta kasih kepada orang kaya tersebut (Widiastuti et al., 2019).
Dalam konteks sosial masyarakat, zakat seperti dijelaskan di atas menurut al-Qardhawi (1973), mampu memberikan ikatan yang kuat antara orang kaya (muzakki) dengan masyarakat yang ada di sekitarnya. Ikatan tersebut akan selalu dibingkai oleh cinta kasih serta dipadukan dengan sifat persaudaran dan saling tolong-menolong. Ikatan tersebut pada akhirnya akan menciptakan rasa aman, tentram dan harmonis di antara mereka. Rasa aman, tentram dan harmonis di masyarakat ini kemudian akan menjadi salah satu pilar keberhasilan pembangunan ekonomi dan kemajuan negara (Widiastuti et al., 2019).
Fungsi zakat bagi harta adalah membersihkan dan mensucikannya dari perkara syubhat. Menurut al-Sya'rawi (t.th.), dalam penambahan harta yang diperoleh seseorang terkadang terdapat hal yang syubhat. Peternak terkadang hewan ternaknya memakan rumput yang ada di lahan orang lain tanpa dia sadari. Penerima gaji, terkadang kinerjanya tidak sesuai dengan kontrak kerja yang telah disepakati. Begitu pula pedagang terkadang menimbang, menjelaskan spesifikasi produk, dan bahkan memuji barangnya yang tidak sesuai dengan yang sebenarnya tanpa dia sadari. Oleh karena itu, zakat berfungsi sebagai pembersih dan pensuci harta yang diperoleh dari berbagai macam perkara syubhat tersebut (Widiastuti et al., 2019).
Rasulullah bersabda, “Tidaklah zakat yang tidak dibayarkan bercampur dengan harta kecuali akan merusak harta tersebut” (H.R. Baihaqi).
Secara garis besar ada tiga arti dari kerusakan yang ditimbulkan oleh zakat yang tidak dibayarkan tersebut. Pertama, hilangnya keberkahan yang ada pada harta. Ketika keberkahan pada harta hilang, maka pemiliknya akan selalu merasa kurang. Bahkan tidak jarang harta tersebut menjadikan pemiliknya selalu gelisah dan tersiksa karena selalu memikirkan hartanya tersebut. Kedua, kerusakan dalam arti yang sesungguhnya seperti terjadinya kebakaran, pencurian, perampokan atau musibah lainnya yang mampu menghanguskan atau menghabiskan harta yang ada. Ketiga, terjadinya bencana yang menimpa pemilik harta sehingga hartanya habis untuk menangani bencana tersebut, seperti penyakit atau bencana lain yang menimpa pemilik harta, sehingga hartanya habis digunakan untuk mengobati penyakit tersebut. Dalam konteks negara, ketika ada beberapa individu dalam masyarakat tidak mau mengeluarkan zakat, maka pemerintah harus memaksa untuk mengeluarkannya agar tidak menimbulkan berbagai macam bencana bagi masyarakat yang lain. Bencana tersebut bisa berupa musim paceklik, kelaparan, kemarau panjang, dan bencana alam lainnya (Widiastuti et al., 2019). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah,
“Tidaklah suatu kaum mencegah dari membayar zakat kecuali Allah akan menimpakan bala' kepada mereka dengan paceklik dan kelaparan” (H.R. Thabrani).
“Jika suatu kaum enggan mengeluarkan zakat dari harta-harta mereka, maka mereka akan dicegah dari mendapatkan hujan dari langit. Sekiranya bukan karena binatang-binatang ternak, niscaya mereka tidak diberi hujan” (H.R. Thabrani).
Berdasarkan hadits tersebut pembayaran zakat mampu menghindarkan individu yang membayarnya dan masyarakat secara umum dalam konteks bernegara dari kejelekan, kerusakan dan bencana yang diakibatkan oleh harta (Widiastuti et al., 2019). Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah,
“Ketika kamu telah menunaikan zakat hartamu, maka kamu telah menghilangkan kejelekan harta tersebut dari dirimu” (H.R. Baihaqi dan Hakim).
Ketika zakat berfungsi dengan baik bagi muzakki, mustahik dan harta seperti dijelaskan, maka sebuah negara akan menjadi negara idaman,
“(Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun” (Q.S. Saba': 15).
Menurut Ibnu Manzhur (t.th.) yang dimaksud dengan baldah thayyibah (negeri yang baik) adalah negeri yang aman, tentram, serta mengandung banyak kebaikan. Inilah bentuk negeri yang menjadi citacita semua masyarakat di dunia (Widiastuti et al., 2019).
Kedua, fungsi ekonomi zakat. Fungsi ekonomi zakat disebutkan dalam surah al-Taubah ayat 103 dengan menggunakan lafaz yuzakki yang membentuk masdar tazkiyah yang secara bahasa memiliki arti suci, berkembang, berkah, dan pujian (Ibnu Manzhur, t.th.). Berdasarkan makna tersebut, menurut al-Zuhaili (t.th.), maksud dari lafaz yuzakki dalam surah al-Taubah ayat 103 tersebut adalah mengembangkan dan memberikan keberkahan pada harta (Widiastuti et al., 2019).
Artinya, Allah akan menjadikan berkurangnya harta akibat zakat yang dikeluarkan sebagai sebab bagi berkembang, bertambah serta berkahnya harta tersebut. Berdasarkan hal tersebut, zakat secara ekonomi memiliki dua fungsi. Pertama, menambah dan mengembangkan. Kedua, memberikan keberkahan dalam harta. Mengacu kepada pendapat al-Sya'rawi (t.th.) sebelumnya bahwa fungsi ini terjadi pada setiap unsur yang ada di dalam zakat, baik mustahik, muzakki, dan harta itu sendiri. Peran menambah dan mengembangkan tersebut berlaku baik bagi penerima (mustahik), pemberi (muzakki), dan harta itu sendiri. Dalam konteks ilmu ekonomi, peran zakat kepada mustahik dan muzakki dapat dilihat dalam kaca mata ekonomi mikro. Sedangkan peran zakat dalam menambah, mengembangkan, dan memberikan keberkahan dalam harta dapat dilihat dalam kaca mata ekonomi makro (Widiastuti et al., 2019).
Fungsi zakat secara mikro bagi mustahik adalah meningkatkan angka konsumsi mustahik. Menurut Sakti (2007), golongan yang sangat dominan terdampak zakat adalah mustahik, di mana angka konsumsi mereka sangat bergantung pada distribusi zakat. Dengan kata lain bahwa zakat memiliki korelasi positif pada angka konsumsi mustahik. Dengan adanya zakat, maka daya beli orang miskin untuk memenuhi kebutuhan pokoknya meningkat. Dalam konteks ekonomi mikro, peningkatan daya beli tersebut merupakan peningkatan permintaan (demand). Rivai dan Buchari (2013) menjelaskan bahwa dalam sistem zakat, proses dari zakat adalah mengalokasikan harta berdasar pada dua prinsip, yaitu dapat menghasilkan kesejahteraan dan menghasilkan tingkat pendapatan. Naiknya tingkat pendapatan mustahik ini secara otomatis akan meningkatkan daya beli dari mustahik. Secara teoretik, eksistensi zakat akan meningkatkan kurva permintaan melalui agregat demand yang meningkat akibat daya beli masyarakat mustahik yang didorong oleh distribusi zakat (Sakti, 2007). Ini berarti bahwa distribusi zakat akan meningkatkan daya beli dari mustahik (Widiastuti et al., 2019).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa zakat memiliki dua fungsi ekonomi. Pertama, menambah dan mengembangkan. Kedua, memberikan keberkahan dalam harta. Dalam konteks ekonomi makro, fungsi zakat yang pertama (menambah dan mengembangkan) dapat diartikan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi (growth) secara kuantitas. Sedangkan fungsi zakat yang kedua (memberikan keberkahan dalam harta) dapat diartikan sebagai kualitas dari adanya pertumbuhan tersebut. Dengan demikian, fungsi ekonomi zakat secara makro dapat diartikan sebagai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Dalam ilmu ekonomi, hal ini dikenal dengan istilah sustainable growth with equity atau pertumbuhan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Fungsi zakat terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat pada peran zakat dalam meningkatkan konsumsi dan investasi secara agregat. Sedangkan berkelanjutan dan berkeadilan dapat dilihat dari peran zakat dalam menurunkan pengangguran dan kemiskinan serta instrumen distribusi kekayaan yang mampu menciptakan pemerataan kekayaan (Widiastuti et al., 2019).
Lembaga Pengelola Zakat di Indonesia
Kementerian Agama (Kemenag) telah merilis daftar lembaga pengelola zakat berizin yang didata hingga Januari 2023. Di tingkat pusat, terdapat Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), termasuk 34 BAZNAS tingkat provinsi dan 464 BAZNAS kabupaten/kota. Dilansir dari informasi resmi, tercatat ada 37 Lembaga Amil Zakat atau LAZ skala nasional, 33 LAZ skala provinsi, dan 70 LAZ skala kabupaten/kota yang memiliki izin legalitas dari Kemenag. Dirilisnya daftar pengelola zakat berizin ini sebagai bagian dari upaya melakukan pengamanan dana sosial keagamaan zakat, infak, dan sedekah, serta melindungi masyarakat dari penyalahgunaan pengelolaan dana (Kemenag RI, 2023; Kompas, 2023).
Lembaga pengelola zakat berskala nasional adalah LAZ Rumah Zakat Indonesia, LAZ Daarut Tauhid Peduli, LAZ Baitul Maal Hidayatullah, LAZ Dompet Dhuafa Republika, LAZ Nurul Hayat, LAZ Inisiatif Zakat Indonesia, LAZ Yatim Mandiri Surabaya, LAZ Lembaga Manajemen Infak Ukhuwah Islamiyah, LAZ Dana Sosial Al-Falah Surabaya, LAZ Pesantren Islam Al-Azhar, LAZ Baitulmaal Muamalat, LAZ Lembaga Amil Zakat Infak dan Shadaqah Nahdatul Ulama (LAZIS NU), LAZ Muhammadiyah, LAZ Dewan Da'wah Islamiyah Indonesia, LAZ Perkumpulan Persatuan Islam, LAZ Rumah Yatim Ar-Rohman Indonesia, LAZ Yayasan Kesejahteraan Madani, LAZ Yayasan Griya Yatim & Dhuafa LAZ Yayasan Daarul Qur'an Nusantara (PPPA), LAZ Yayasan Baitul Ummah Banten, LAZ Yayasan Mizan Amanah, LAZ Panti Yatim Indonesia Al-Fajr, LAZ Wahdah Islamiyah, LAZ Yayasan Hadji Kalla, LAZ Djalaludin Pane Foundation (DPF), LAZ LAGZIS Peduli, LAZ Al-Irsyad Al-Islamiyyah, LAZ Sahabat Yatim Indonesia, LAZ Yayasan Telaga Bijak Elzawa, LAZ Yayasan Membangun Keluarga Utama, LAZ Yayasan Bangun Sejahtera Membangun Umat (LAZNAS BSM Umat), LAZ Yayasan Mandiri Amal Insani, LAZ Yayasan Assalam Fil Alamin, LAZ Wakaf Infaq Zakat dan Shodaqoh Pesantren, LAZ Yayasan CT Arsa LAZ LAZISKU KBPII (Keluarga Besar Pelajar Islam Indonesia, LAZ Yayasan Bakrie Amanah (Kemenag RI, 2023; Kompas, 2023).
Lembaga pengelola zakat berskala provinsi adalah LAZ Baitul Maal FKAM Jawa Tengah, LAZ Semai Sinergi Umat (Sinergi Foundation) Jawa Barat, LAZ Dompet Amal Sejahtera Ibnu Abbas (DASI) Nusa Tenggara Barat, LAZ Dompet Sosial Madani (DSM) Bali, LAZ Harapan Dhuafa Banten, LAZ Solo Peduli Ummat Jawa Tengah, LAZ Dana Peduli Umat Kalimantan Timur, LAZ Yayasan Al-Ihsan Jawa Tengah, LAZ Yayasan Nurul Fikri Palangkaraya Kalimantan Tengah, LAZ Gema Indonesia Sejahtera Jawa Barat, LAZ Yayasan Insan Madani Jambi, LAZ Yayasan Nurul Falah Surabaya Jawa Timur, LAZ As Salaam Jayapura Papua, LAZ Yayasan Al-Hilal Rancapanggung Jawa Barat, LAZ Yayasan Persyada Al-Haromain Jawa Timur, LAZ Yayasan Sahabat Mustahiq Sejahtera Jawa Timur, LAZ Yayasan Bangun Kecerdasan Bangsa DKI Jakarta, LAZ Yayasan LAZ Sidogiri Jawa Timur, LAZIS UNISIA DI Yogyakarta, LAZ Mukmin Mandiri Jawa Timur, LAZ Perkumpulan Persada Jatim Jawa Timur, LAZ Yayasan Dompet Alquran Indonesia Jawa Timur, LAZ Yayasan Taman Zakat Indonesia Jawa Timur, LAZ Yayasan Kreasi Bangun Semesta Banten, LAZ Yayasan Ikhlas Peduli Umat Sulawesi Selatan, LAZ Yayasan Al-Maunah Sunniyah Salafiyah Pasuruan Jawa Timur, LAZ Al-Bunyan Bogor Jawa Barat, LAZ Yayasan optimalisasi Sedekah Zakat dan Infaq (OPSEZI) Jambi, LAZ Fi Care (Fitrah Insani Care) Jawa Barat, LAZ Dompet Amanah Umat Sedati Sidoarjo Jawa Timur, LAZ Ummul Quro' Jombang Jawa Timur, LAZ Yayasan Sahabat Muadz Indonesia Sulawesi Tenggara, LAZ Yayasan Wakaf As'adiyah Wonomulyo Sulawesi Barat (Kemenag RI, 2023; Kompas, 2023).
Lembaga pengelola zakat berskala kabupaten/kota adalah LAZ Yayasan Ibadurahman (LAZ IBAD DURI) Kabupaten Bengkalis Riau, LAZ Baitul Maal Madinatul Iman Kota Jakarta Pusat DKI Jakarta, LAZ Komunitas Mata Air Jakarta Kota Jakarta Pusat DKI Jakarta, LAZ DSNI Amanah Batam Kota Batam Kepulauan Riau, LAZ Bakti Achmad Zaky Foundation Kota Depok Jawa Barat, LAZ Yayasan Rumah Itqon Zakat dan Infak Kabupaten Jember Jawa Timur, LAZ Amal Madani Indonesia Kota Cimahi Jawa Barat, LAZ Indonesia Berbagi Kota Bandung Jawa Barat, LAZ Insan Masyarakat Madani Kabupaten Bekasi Jawa Barat, LAZ Rumah Peduli Umat Bandung Barat Kabupaten Bandung Jawa Barat, LAZ Yayasan Muslim Al-Kahfi Bekasi Kabupaten Bekasi Jawa Barat, LAZ Yayasan Baitul Maal Barakatul Ummah Kota Bontang Kalimantan Timur, LAZ Yayasan Al-Irsyad Al-Islamiyyah Purwokerto Kabupaten Banyumas Jawa Tengah, LAZ Yayasan Ulil Albab Kota Medan Sumatera Utara, LAZ Yayasan Nahwa Nur Kabupaten Bogor Jawa Barat, LAZ Yayasan Amal Sosial As-Shohwah Malang Kota Malang Jawa Timur, LAZ Yayasan Rumah Amal Kota Bandung Jawa Barat, LAZ Yayasan Zakat Sukses Kota Depok Jawa Barat, LAZ Zakatku Bakti Persada Kabupaten Bandung Jawa Barat, LAZ Yayasan LAZ Cilacap Kabupaten Cilacap Jawa Tengah, LAZ Yayasan Sinergi Membangun Ummat Kabupaten Kutai Timur Kalimantan Timur, LAZ Yayasan Al-Kasyaf Bakti Mulya Kabupaten Bandung Jawa Barat, LAZ Yayasan Lembaga Pengembangan Infaq Mojokerto Kota Mojokerto Jawa Timur, LAZ Yayasan Majlis Amal Sholeh Kota Surabaya Jawa Timur; LAZ Yayasan LAZ Batam Kota Batam Kepulauan Riau, Perkumpulan LAZ Ar Risalah Charity Kota Padang Sumatera Barat, LAZ Yayasan Balqis Karya Indonesia Kabupaten Gunung Kidul DI Yogyakarta, LAZ Yayasan Baitulmaalku Kabupaten Karawang Jawa Barat, LAZ Yayasan Ar-Raudhah Ihsan Foundation Kota Jakarta Selatan DKI Jakarta, LAZ Yayasan LazisQu Lazis Quran Kabupaten Sleman DI Yogyakarta, Yayasan Asrama Pelajar Islam (YAPI) Kota Jakarta Timur DKI Jakarta, Yayasan Cahaya Quran Rabbani Kabupaten Bogor Jawa Barat, Yayasan Nashirussunnah Permata (Yashiruna) Peduli Kabupaten Bandung Barat Jawa Barat, Yayasan Sahabat Kebaikan Umat Kota Sukabumi Jawa Barat, LAZ Yayasan Amal Syuhada Yogyakarta Kota Yogyakarta DI Yogyakarta, Yayasan Sakinah Berkah Mandiri Kota Bandung Jawa Barat, Yayasan Tasdiqul Quran Dompet Amal pecinta Al-Quran Kabupaten Bandung Barat Jawa Barat, LAZ Yayasan Dompet Sejuta Harapan Kabupaten Klaten Jawa Tengah, Yayasan Ukhuwah Care Indonesia Kota Bekasi Jawa Barat, LAZ DAI Lampung Kota Bandar Lampung Lampung, LAZ Yayasan Rumah Yatim dan Dhuafa Hifzhul Amanah (Yayasan Rydha) Kabupaten Tangerang, Banten Yayasan Ummul Quro' Bogor Kabupaten Bogor Jawa Barat, LAZ Yayasan Pendidikan Dakwah Sosial Al-Khairaat (Goedang Zakat Al-Khairaat), Kota Yogyakarta DI Yogyakarta, LAZ Jabalnur Pati Kabupaten Pati Jawa Tengah, LAZ Yayasan Dana Kemanusiaan Dhuafa Magelang Kota Magelang Jawa Tengah, LAZ Yayasan Layanan Amal Zakat Insan Indonesia Baiturrahman Kota Semarang Jawa Tengah, LAZ yayasan Albi menebar manfaat (Al-Abidin) Kota Surakarta Jawa Tengah, LAZ Yayasan Rahmatul Anwar Surabaya Kota Surabaya Jawa Timur, LAZ Yayasan Sawadaya Ummah Riau, LAZ Gelora Insan Mandiri Kota Depok Jawa Barat, LAZ Infaq Sodaqoh Assalaam Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, LAZ Citra Ciraka Kota Bandung Jawa Barat, LAZ Bina Insan Madani Dumai Kota Dumai Riau, LAZ Al-Aqsha De Latinos Kota Tangerang Selatan Banten, LAZ Yayasan Masjid Raya Bintaro Jaya Kota Tangerang Selatan Banten, LAZ Uswah Hasanah Perwira Kabupaten Lebak Banten, LAZ Warga Muslim Graha Raya Kota Tangerang Selatan Banten, LAZ Yayasan Al-Amanah Nusantara Kota Tangerang Selatan Banten, LAZ Yayasan Dompet Yatim dan Mesjid Kota Tangerang Selatan Banten, LAZ Yayasan Lumbung Zakat Kabupaten Sleman DI Yogyakarta, LAZ Tazakka Kabupaten Batang Jawa Tengah, LAZ Al-Huda Kebumen Kabupaten Kebumen Jawa Tengah, LAZ Senyum Dhuafa Kabupaten Pati Jawa Tengah, LAZ Sultan Agung Kota Semarang Jawa Tengah, LAZ Yayasan Lembaga Amil Zakat Keluarga Sakinah Bojonegoro Kabupaten Bojonegoro Jawa Timur, LAZ Al-Madina Surabaya Kota Surabaya Jawa Timur, LAZ Agen Sedekah Kulonprogo Kabupaten Kulonprogo DI Yogyakarta, LAZ Baitul Maal Timoho Sejahtera Kota Yogyakarta DI Yogyakarta, LAZ Graha Duafa Indonesia Kota Bandung Jawa Barat, LAZ LIDZIKRI Kota Bandung Jawa Barat (Kemenag RI, 2023; Kompas, 2023).
Regulasi Pengelolaan Zakat di Indonesia
Regulasi pengelolaan zakat di Indonesia antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Kedua, Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Zakat. Ketiga, Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif. Keempat, Peraturan Menteri Agama Nomor 69 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Agama Nomor 52 Tahun 2014 tentang Syarat dan Tata Cara Perhitungan Zakat Mal dan Zakat Fitrah serta Pendayagunaan Zakat untuk Usaha Produktif. Kelima, Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dalam Pengelolaan Zakat. Keenam, Surat Keputusan Dewan Pertimbangan BAZNAS Nomor 001/DP-BAZNAS/XII/2010 tentang Pedoman Pengumpulan Dan Pentasyarufan Zakat, Infaq, dan Shadaqah pada Badan Amil Zakat Nasional. Ketujuh, Keputusan Ketua BAZNAS Nomor KEP.016/BP/BAZNAS/XII/2015 tentang Nilai Nishab Zakat Pendapatan atau Profesi Tahun 2016. Ketujuh, Keputusan Ketua BAZNAS Nomor 142 Tahun 2017 tentang Nilai Nishab Zakat Pendapatan Tahun 2017. Kedelapan, Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional. Kesembilan, Peraturan Menteri Agama Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pembentukan Tim dan Tata Cara Seleksi Calon Anggota Badan Amil Zakat Nasional. Kesepuluh, Keputusan Ketua BAZNAS Nomor 64 Tahun 2019 tentang Pedoman Pelaksanaan Pendistribusian dan Pendayagunaan Zakat di Lingkungan BAZNAS. Kesebelas, Peraturan Menteri Agama Nomor 18 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat BAZNAS. Keduabelas, Peraturan BAZNAS Nomor 2 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Tata Kerja Unit Pengumpulan Zakat. Ketiga belas, Peraturan BAZNAS Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kode Etik Amil Zakat. Keempat belas, Peraturan BAZNAS Nomor 1 Tahun 2018 tentang Kode Etik Amil Zakat. Kelima belas, Peraturan BAZNAS Nomor 2 Tahun 2018 tentang Sertifikasi Amil Zakat. Keenam belas, Peraturan BAZNAS Nomor 4 Tahun 2018 tentang Pelaporan Pelaksanaan Pengelolaan Zakat. Ketujuh belas, Peraturan BAZNAS Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Cara Pengangkatan dan Pemberhentian Pimpinan Badan Amil Zakat Nasional Provinsi dan Pimpinan Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten/Kota. Kedelapan belas, Peraturan BAZNAS Nomor 2 Tahun 2019 tentang Tugas dan Wewenang Pimpinan BAZNAS Provinsi dan Pimpinan Badan Amil Zakat Nasional Kabupaten/Kota. Kesembilan belas, Peraturan BAZNAS Nomor 3 Tahun 2019 tentang Tata Cara Permohonan Rekomendasi Izin Pembentukan dan Pembukaan Perwakilan Lembaga Amil Zakat (Bengkulu, 2023).
Peran Krusial Literasi Zakat di Kalangan ASN
Literasi zakat dapat meningkatkan minat dan kepatuhan dalam membayar zakat di kalangan ASN dengan membantu mereka lebih baik dalam memahami zakat. Berikut adalah beberapa cara bagaimana literasi zakat dapat meningkatkan minat dan kepatuhan membayar zakat di kalangan ASN.
Pertama, mengenal zakat dengan pasti. Literasi zakat dapat membantu ASN lebih baik mengenal tentang zakat, yang dapat mempengaruhi minat dan kepatuhan membayar zakat. Ini meliputi penjelasan tentang pengertian zakat, hukum berzakat, syarat wajib berzakar, jenis zakat, dan lain-lain (Oktaviani, 2022; Oktaviani et al. 2022). Kedua, meningkatkan pemahaman. Literasi zakat dapat membantu meningkatkan pemahaman ASN terhadap zakat. Penelitian menunjukkan bahwa pemahaman zakat dapat mempengaruhi kepatuhan membayar zakat (Gunawan, 2020). Ketiga, memperjelas syarat-syarat zakat. Literasi zakat dapat membantu masyarakat lebih baik memahami syarat-syarat membayar zakat, yang kemudian dapat mempengaruhi minat dan kepatuhan membayar zakat (Oktaviani, 2022; Otaviani et al., 2022). Keempat, meningkatkan transparansi. Literasi zakat dapat membantu meningkatkan transparansi pengelolaan zakat, yang kemudian dapat mempengaruhi kepatuhan membayar zakat. Penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan zakat yang baik dapat meningkatkan kepatuhan membayar zakat (Gunawan, 2020). Kelima, meningkatkan kepercayaan. Literasi zakat dapat membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga amil zakat. Penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan memiliki pengaruh terhadap kepatuhan membayar zakat melalui zakat (Anggraini, 2022). Keenam, meningkatkan kesadaran. Literasi zakat dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar zakat yang menjadi pendorong yang kuat dan motivasi serta kontribusi yang dapat mempengaruhi kepatuhan membayar zakat (Oktaviani, 2022; Oktaviani et al., 2022).
Literasi zakat sangat penting bagi ASN karena zakat memiliki peran yang krusial dalam membentuk karakter, kesejahteraan sosial, dan keberlanjutan pembangunan. Berikut beberapa analisis tentang peran krusial literasi zakat di kalangan ASN. Pertama, kewajiban agama dan etika ASN. Literasi zakat membantu ASN memahami kewajiban agama terkait zakat sebagai salah satu rukun Islam. Hal ini penting untuk memastikan bahwa ASN menjalankan tugas agama mereka dengan penuh tanggung jawab dan beretika. Kedua, kontribusi pada kesejahteraan sosial. Zakat memiliki peran besar dalam mengentaskan kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan sosial. Dengan literasi zakat, ASN dapat memahami cara zakat dapat dihimpun dan didistribusikan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan. Ketiga, implementasi prinsip keadilan sosial. Prinsip keadilan sosial merupakan bagian integral dari ajaran Islam. Literasi zakat membantu ASN memahami bagaimana zakat dapat dijadikan alat untuk mengurangi kesenjangan sosial, memperkuat solidaritas, dan menciptakan masyarakat yang lebih adil. Keempat, pemberdayaan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. ASN yang memiliki literasi zakat dapat mengarahkan pengelolaan dana zakat ke proyek-proyek yang mendukung pemberdayaan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Ini dapat menciptakan dampak positif jangka panjang bagi masyarakat dan memberikan nilai tambah pada upaya pembangunan. Kelima, pengembangan sikap kepemimpinan. Literasi zakat dapat membentuk sikap kepemimpinan ASN dengan mengajarkan nilai-nilai seperti kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sosial. ASN yang memiliki pemahaman yang baik tentang zakat dapat menjadi contoh bagi rekan-rekan mereka dalam menjalankan tugas-tugasnya. Keenam, penguatan komitmen sosial dan solidaritas. Literasi zakat dapat memperkuat komitmen sosial ASN dan membangun rasa solidaritas di antara mereka. ASN yang terlibat aktif dalam zakat dapat membentuk tim yang kuat, bersatu dalam upaya memberikan kontribusi positif pada masyarakat.
Dengan meningkatnya literasi zakat di kalangan ASN, diharapkan mereka dapat menjalankan tugas-tugasnya dengan penuh kesadaran agama, etika, dan tanggung jawab sosial, serta berkontribusi secara positif pada pembangunan berkelanjutan masyarakat.
Penutup
Dalam konteks tugas dan tanggung jawab sebagai ASN, literasi zakat menunjukkan peran krusial yang mendalam. Artinya, pemahaman yang mendalam terhadap zakat tidak hanya menjadi bagian dari kewajiban agama, tetapi juga merupakan modal penting dalam menjalankan peran sosial dan moral ASN dalam kehidupan masyarakat.
Dengan memiliki literasi zakat yang memadai, ASN dapat menjadi motor penggerak dalam upaya mengurangi disparitas ekonomi, meratakan akses terhadap sumber daya, dan meningkatkan kesejahteraan umum. Mereka dapat berperan sebagai fasilitator dalam proses redistribusi kekayaan melalui penerapan zakat yang efektif dan efisien.
Selain itu, integrasi literasi zakat dalam pembinaan ASN tidak hanya akan meningkatkan pemahaman mereka terhadap prinsip-prinsip keadilan sosial, tetapi juga akan memperkuat kesadaran akan tanggung jawab sosial dan moral dalam menjalankan tugas publik. Dengan demikian, ASN tidak hanya akan menjadi birokrat yang terampil dalam administrasi, tetapi juga pemimpin yang memiliki kepekaan terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Oleh karena itu, penekanan pada literasi zakat bagi ASN tidak boleh diabaikan. Investasi dalam pemahaman yang mendalam tentang zakat akan membawa dampak positif yang signifikan dalam membangun masyarakat yang lebih adil, inklusif, dan berkeadilan bagi semua lapisan karena meningkatnya minat dan kepatuhan ASN dalam membayar zakat.***
Discussion about this post