Oleh : A. Nasution
(Jurnalis & Aktivis Pergerakan)
Menarik untuk diulas dan dicermati kinerja para kepala desa yang notabene merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat dan daerah dalam mengelola dan menjalankan kebijakan agar pembangunan merata serta kesejahteraan masyarakat dapat segera terwujudkan sesuai dengan amanat UUD 1945.
Sesuai regulasi, peranan kepala desa telah diatur melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. UU ini adalah peraturan hukum yang memiliki tujuan untuk mengatur tata cara pelaksanaan otonomi desa, memperkuat tata kelola pemerintahan desa yang demokratis dan partisipatif, serta mendorong pembangunan desa yang berkelanjutan dan berkeadilan.
Kebijakan pemerintah pusat dalam menggelontorkan anggaran Dana Desa (DD) patut diapresiasi setinggi-tingginya, yang mana pemerataan dalam segala aspek pembangunan membutuhkan adanya tata kelola dan rumusan program dalam pelaksanaan di pedesaan yang tentunya memerlukan anggaran dan biaya.
Namun, sangat disayangkan terkadang implementasi dari kebijakan pemerintah pusat untuk pemerataan pembangunan terkadang bisa dikalahkan oleh tindakan dari oknum-oknum yang mempunyai kekuasaan yang berkaloborasi dengan pengusaha guna mencicipi kue DD dengan berbagai teori dan cara untuk dapat ikut serta dalam pengelolaan DD.
Salah satu kebijakan yang mempengaruhi tersedotnya DD adalah kegiatan Bimbingan Tekhnis (Bimtek) yang selalu dilaksanakan setiap tahun, dengan beragam judul dan tema yang disajikan silih berganti.
Niat baik dalam melakukan kegiatan agenda Bimtek para Aparatur Desa yang diprakarsai oleh Dinas Pemberdayaan Desa (PMD) dengan menunjuk lembaga pelaksana yang notabene adalah rekanan kegiatan tentunya menyedot anggaran yang tidak sedikit, ditambah lagi kegiatan Bimtek tersebut kemungkinan dilakukan 3 atau 4 kali dalam setahun dengan mengundang 3 atau 4 orang aparatur desa untuk mengikutinya, secara tidak langsung pasti menyedot DD yang seharusnya orientasi anggaran tersebut untuk program peningkatan dan pemberdayaan masyarakat ataupun sesuai juknis yang dikeluarkan oleh kementerian terkait.
Lalu, pasca kegiatan Bimtek dilaksanakan, ilmu yang didapatkan tersebut nyaris tidak ada faedah dan dampak yang dapat diimplementasikan ke desa masing-masing. Mungkin inilah pertanyaan sesungguhnya dari para pemerhati kebijakan, media dan aktivis anti korupsi.
Beragam berita sering kita baca di media online, banyaknya demonstrasi dan menolak kegiatan Bimtek di tiap daerah yang diduga hanya menghamburkan uang, sering kita baca.
Namun, kegiatan tersebut justru semakin subur dan menjamur seperti tanpa tersentuh oleh aparat hukum, padahal banyak laporan dugaan penyalahgunaan wewenang yang terindikasi korupsi telah dilaporkan oleh para aktivis pergerakan, namun persentase kasus yang naik di persidangan sangatlah kecil.
Benar, bahwa dalam pemeriksaan Dana Desa (DD) telah memiliki mekanisme resmi sesuai undang-undang yang berlaku dan ada instansi yang dinamakan Inspektorat/APIP yang telah ditunjuk dalam pengawasan anggaran itu, pertanyaannya apakah sudah efektif.
Kiranya, anggaran DD tersebut bisa dikelola dan digunakan untuk kepentingan masyarakat tanpa adanya dugaan intervensi dari pihak birokrasi, penguasa dan pengusaha kepada aparatur desa dalam menjalankan programnya sesuai APBDes masing-masing.
Discussion about this post