Kasus-kasus korupsi yang melibatkan aparat peradilan, seperti penangkapan mantan pejabat Mahkamah Agung (MA) Zarof Ricar, mengingatkan publik pada isu kronis makelar kasus dalam sistem hukum Indonesia. Dalam kasus terakhir, MA membentuk tim pemeriksa untuk mengklarifikasi dugaan suap terhadap majelis hakim yang menangani kasus kasasi Gregorius Ronald Tannur. Penetapan Zarof sebagai tersangka menggarisbawahi bahwa persoalan makelar kasus tidak hanya berlangsung di level bawah, melainkan telah merambah hingga institusi peradilan tertinggi di negara ini. Dalam praktiknya, makelar kasus ini berperan sebagai perantara yang memperjualbelikan keadilan, menciptakan jaringan korupsi yang merusak integritas hukum dan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.
Siklus korupsi di MA dan lingkungan peradilan lainnya seakan tak kunjung terhenti, meskipun berbagai upaya reformasi telah dilakukan. Banyak pakar hukum menilai bahwa praktik makelar kasus telah berulang selama puluhan tahun dan menjadi bagian dari sistem peradilan. Praktik tersebut menunjukkan betapa dalamnya korupsi di tubuh lembaga hukum di Indonesia, di mana perilaku yang melanggar hukum ini justru telah menjadi semacam “standar” bagi sebagian aparat. Korupsi di kalangan aparat peradilan menciptakan pandangan bahwa untuk menang dalam suatu perkara, uang dan kekuasaan dapat memainkan peran yang lebih penting daripada keadilan itu sendiri.
Masalah makelar kasus juga mengangkat dilema antara hukum dan etika dalam sistem peradilan. Secara hukum, korupsi dalam peradilan jelas melanggar undang-undang, namun dalam praktiknya, banyak oknum yang tetap memanfaatkannya demi keuntungan pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa ada krisis etika dalam sistem hukum, di mana mereka yang seharusnya menjaga keadilan justru terlibat dalam jual beli perkara. Seolah-olah ada kontradiksi besar antara tujuan hukum untuk menegakkan keadilan dan etika yang seharusnya menjadi dasar moral bagi para penegak hukum. Keberadaan makelar kasus mencerminkan keretakan dalam prinsip etika profesional yang harusnya dijunjung tinggi dalam praktik hukum.
Selain itu, penangkapan Zarof Ricar seharusnya menjadi titik awal untuk melakukan perubahan mendasar di tubuh MA, terutama dalam hal transparansi dan pengawasan. Institusi peradilan membutuhkan sistem pengawasan yang lebih efektif agar tidak ada ruang bagi oknum untuk memperdagangkan keadilan. Penerapan transparansi yang ketat dapat membantu memperbaiki citra MA di mata masyarakat, namun hal ini perlu diiringi dengan perbaikan pada struktur internal serta sanksi tegas bagi pelanggaran hukum di semua tingkatan. Keseriusan dalam memberantas makelar kasus juga bergantung pada komitmen MA dan pemerintah untuk mendukung reformasi yang mendalam, agar korupsi dalam peradilan tidak terus berulang.
Keberadaan makelar kasus tidak hanya merugikan individu yang terlibat dalam perkara, tetapi juga merusak tatanan sosial secara keseluruhan. Ketika hukum tidak lagi dianggap sebagai alat keadilan, masyarakat kehilangan kepercayaan pada negara. Ini adalah ancaman serius bagi negara hukum yang diidamkan dalam demokrasi. Jika praktik makelar kasus tidak diberantas, maka hukum akan kehilangan daya paksanya dan justru menjadi alat bagi pihak yang memiliki kuasa dan uang. Situasi ini pada akhirnya hanya akan memperburuk ketidakadilan sosial di masyarakat, di mana akses terhadap keadilan menjadi sulit dijangkau oleh rakyat biasa.
Mengatasi makelar kasus membutuhkan pendekatan yang lebih dari sekadar penegakan hukum. Perlu ada penanaman nilai-nilai etika yang kuat sejak dini di lingkungan pendidikan hukum, sehingga para calon hakim, jaksa, dan pengacara memiliki landasan moral yang kokoh sebelum masuk ke sistem peradilan. Selain itu, reformasi dalam sistem pengangkatan dan pengawasan hakim harus dilakukan dengan ketat untuk memastikan bahwa mereka yang terpilih adalah individu-individu yang berintegritas. Dengan demikian, hukum dapat benar-benar ditegakkan oleh orang-orang yang berkomitmen pada keadilan, bukan hanya sekadar menjalankan peraturan tanpa mempertimbangkan dampak etisnya.
Pada akhirnya, penyelesaian masalah makelar kasus membutuhkan sinergi antara lembaga-lembaga penegak hukum dan partisipasi masyarakat. Publik perlu dilibatkan secara aktif dalam pengawasan peradilan, baik melalui lembaga independen maupun media. Dengan transparansi yang lebih tinggi, masyarakat dapat ikut memantau dan memberikan masukan jika ada penyimpangan. Selain itu, penegakan hukum yang adil dan transparan akan membantu membangun kembali kepercayaan publik terhadap MA dan sistem hukum secara keseluruhan (***)
Discussion about this post