Menjadi seorang tokoh agama yang juga memegang jabatan strategis dalam pemerintahan membawa tanggung jawab besar, terutama dalam menjaga citra dan kredibilitas, baik sebagai pemimpin spiritual maupun pejabat negara. Gus Miftah, seorang pendakwah yang dikenal dengan gaya komunikasinya yang santai, kini menjadi kontroversi setelah komentarnya kepada seorang penjual es teh dalam sebuah acara di Magelang. Sebagai Utusan Khusus Presiden (UKP) Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, tindakan ini tak hanya menyentuh aspek personal, tetapi juga berpotensi memengaruhi citra politik presiden yang menunjuknya.
Celetukan Gus Miftah yang dianggap merendahkan pedagang kecil tersebut memicu reaksi publik yang beragam. Sebagian melihatnya sebagai guyonan spontan yang tak sepatutnya dilontarkan oleh seseorang dengan jabatan sekelas UKP. Bagi masyarakat, jabatan tersebut bukan sekadar simbol, melainkan representasi dari nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh pemerintah, yakni empati, keadilan, dan penghormatan terhadap semua lapisan masyarakat. Peristiwa ini menjadi dilema tersendiri karena Gus Miftah, yang seharusnya menjadi pengayom, justru terjebak dalam perilaku yang dinilai kurang bijak.
Presiden Prabowo, sebagai pemimpin tertinggi negara, tentu mengandalkan orang-orang terpilih untuk membantu menjaga stabilitas sosial dan kepercayaan masyarakat. Ketika seorang pejabat yang ditunjuk membuat kesalahan di depan umum, hal ini bisa menciptakan beban politik tambahan bagi presiden. Kejadian di Magelang ini, meskipun terlihat sederhana, berpotensi menjadi bola liar yang digunakan oleh oposisi untuk menyerang kredibilitas pemerintah. Padahal, upaya membangun kerukunan beragama membutuhkan kepercayaan publik terhadap semua pihak yang terlibat dalam tugas ini.
Guyonan Gus Miftah juga membuka perdebatan tentang bagaimana seorang pemimpin agama yang memiliki platform besar seharusnya bertindak. Bagi sebagian orang, peran agama seharusnya membawa pesan kebaikan dan penguatan nilai-nilai kemanusiaan, bukan sebaliknya. Tindakan ini bisa memunculkan persepsi bahwa pemerintah kurang selektif dalam memilih pejabat yang sesuai dengan nilai-nilai yang ingin diusung. Akibatnya, program-program yang berkaitan dengan pembinaan keagamaan bisa kehilangan legitimasi di mata masyarakat.
Selain itu, insiden ini mengangkat isu pentingnya empati dalam komunikasi publik. Dalam era di mana setiap ucapan dapat dengan mudah diabadikan dan disebarkan secara luas, tokoh publik harus lebih berhati-hati dalam berbicara. Humor yang tidak tepat sasaran, apalagi yang menyentuh harga diri seseorang, dapat menjadi alat provokasi yang merusak harmoni sosial. Perilaku seperti ini, jika tidak dikendalikan, berisiko memecah belah masyarakat yang seharusnya dirangkul.
Sorotan negatif terhadap Gus Miftah bisa berdampak pada persepsi masyarakat terhadap program-program kerukunan beragama yang ia emban. Ketika masyarakat merasa bahwa pemimpinnya tidak menunjukkan keteladanan, maka kepercayaan terhadap program pemerintah di bidang keagamaan pun dapat menurun. Ini menjadi tantangan berat bagi presiden yang berupaya membangun citra pemerintah sebagai pengayom seluruh rakyat tanpa pandang bulu.
Peristiwa ini juga menunjukkan bagaimana tindakan seorang pejabat dapat memiliki efek domino yang luas. Apa yang seharusnya menjadi acara dakwah yang menyejukkan malah berubah menjadi kontroversi yang mencederai banyak pihak. Untuk presiden, mengatasi dampak dari insiden ini memerlukan langkah-langkah strategis, termasuk memastikan pejabat yang ditunjuk mampu menyesuaikan diri dengan standar moral dan etika yang diharapkan.
Di tengah gelombang kritik, ini menjadi pengingat bahwa jabatan publik bukan hanya tentang kemampuan menjalankan tugas, tetapi juga soal menjaga integritas dan empati. Kejadian ini memberikan pelajaran penting, baik bagi Gus Miftah maupun pemerintah, bahwa menjaga kehormatan orang lain, sekecil apa pun perannya, adalah fondasi penting dalam membangun masyarakat yang rukun dan harmonis (***)
Discussion about this post