Jakarta, Radarhukum.id — Ketua Umum Perkumpulan Advokat Indonesia (PERADIN), Ropaun Rambe, menilai hadirnya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional, atau Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 yang akan berlaku efektif pada tahun 2026 sebagai tonggak penting dalam pembaruan sistem hukum pidana Indonesia. Ia berharap, aturan baru ini membawa perubahan, terutama dalam memberikan pengakuan terhadap hukum adat dan memperkuat peran desa serta kelurahan dalam penyelesaian perkara di tingkat lokal.
“KUHP Nasional 2023 diharapkan membawa perubahan besar dalam sistem hukum pidana kita. Salah satu aspek pentingnya adalah pengakuan terhadap hukum adat dan peran desa adat dalam merumuskan serta mengimplementasikan ketentuan pidana yang hidup di masyarakat,” ujar Ropaun Rambe dalam keterangannya, Jumat (17/10/2025).
Ropaun yang merupakan penulis produktif buku-buku hukum itu menjelaskan, KUHP Nasional secara tegas mengakui tindak pidana adat sejajar dengan tindak pidana yang diatur dalam undang-undang. Pengakuan ini, menurutnya, menjadi pijakan hukum yang lebih kuat bagi penyelesaian perkara di tingkat desa dan kelurahan yang selama ini sudah berjalan berdasarkan nilai-nilai lokal.
“Selama ini hukum adat hanya dipraktikkan tanpa dasar hukum yang jelas. Dengan KUHP baru, penyelesaian perkara pidana di tingkat lokal memiliki legitimasi yang sah dan diakui negara,” ucapnya.
Pengacara yang telah berpraktek hampir setengah abad ini menilai, keberadaan Mahkamah Desa dan Kelurahan akan semakin relevan dan berperan strategis dalam penerapan hukum adat. Lembaga ini bisa menjadi garda terdepan dalam penyelesaian konflik atau perkara pidana ringan dengan mengedepankan musyawarah dan perdamaian.
Ropaun juga menekankan, KUHP Nasional menempatkan prinsip restorative justice sebagai bagian dari semangat baru penegakan hukum. Melalui pendekatan ini, penyelesaian perkara ringan dapat dilakukan melalui Mahkamah Desa & Kelurahan, tanpa harus melalui proses pengadilan yang panjang dan formal.
“Pendekatan ini sangat sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal yang hidup di tengah masyarakat kita. Hukum bukan semata-mata menghukum, tetapi juga memperbaiki dan memulihkan hubungan sosial,” katanya.
Meski demikian, Ropaun mengingatkan bahwa tantangan terbesar terletak pada proses sosialisasi dan implementasi. Ia menilai pemerintah harus terus memberikan pemahaman yang menyeluruh kepada masyarakat dan aparat penegak hukum agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam menafsirkan pasal-pasal KUHP yang baru. Selain itu, peraturan pelaksanaan dari KUHP juga perlu segera disiapkan agar pelaksanaannya di lapangan berjalan efektif dan tidak menimbulkan kebingungan.
“KUHP Nasional memberi peluang besar bagi desa dan kelurahan untuk berperan aktif dalam penegakan hukum yang adil dan berakar pada nilai-nilai masyarakat. Namun, tanpa sosialisasi dan literasi hukum yang baik, potensi penyalahpahaman tetap bisa terjadi,” tegasnya.
Ropaun Rambe mengajak seluruh elemen, baik akademisi, penegak hukum, maupun masyarakat, untuk menjadikan KUHP Nasional sebagai ruang refleksi dan diskusi bersama dalam membangun sistem hukum yang lebih manusiawi.
“Logika pemahaman terhadap KUHP ini perlu diluruskan lewat literasi hukum yang baik. Dengan begitu, semangat KUHP Nasional dapat benar-benar diwujudkan dalam praktik penegakan hukum yang adil, bermartabat, dan berkeadilan sosial. Salam officium nobile,” pungkasnya.




























Discussion about this post