Radarhukum.id, Pati – Konflik agraria antara petani Desa Pundenrejo yang tergabung dalam Gerakan Masyarakat Pundenrejo (GERMAPUN) dan PT Laju Perdana Indah (PT LPI) terus memanas. Dalam audiensi yang digelar di Gedung DPRD Kabupaten Pati hari ini, ratusan petani Pundenrejo kembali menuntut hak atas tanah garapan mereka yang telah menjadi sumber penghidupan sejak tahun 1950.
Sekitar 100-an petani bersama jaringan solidaritas mendukung audiensi dengan lantunan doa, sholawat, dan poster-poster tuntutan di luar gedung DPRD. Dalam forum tersebut, Komisi B DPRD Kabupaten Pati menghadirkan perwakilan PT LPI, beberapa dinas terkait, serta perwakilan petani untuk membahas penyelesaian konflik yang telah berlangsung sejak 1999.
Tanah seluas 7,3 hektare yang menjadi pusat konflik ini telah digarap oleh petani sejak 1950. Namun, pada 1973, tanah tersebut beralih status menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) milik perusahaan. Setelah PT LPI mengambil alih aset pada 2000, konflik kian memanas. Petani menduga PT LPI melakukan perusakan tanaman dan pengerahan orang tidak dikenal untuk mengintimidasi warga.
Pada September 2024, konflik kembali meningkat ketika PT LPI diduga melakukan perampasan dan perusakan lahan meski masa HGB telah habis pada 27 September 2024. “Ini melanggar hak atas rasa aman petani,” ujar salah satu perwakilan jaringan solidaritas.
Suryanto (60), seorang petani Pundenrejo, mengungkapkan bahwa tanah tersebut merupakan warisan nenek moyang yang telah menjadi sumber penghidupan bagi keluarganya.
“Tanah ini digarap oleh orang tua kami sejak 1950. Namun, setelah HGB habis, lahan tetap dirusak oleh pihak PT LPI,” katanya.
Sementara, perwakilan PT LPI, Teguh Hindrawan, membantah tuduhan perusakan dan pengerahan orang tidak dikenal. Ia mengklaim, PT LPI telah mengikuti prosedur hukum dalam mengelola tanah tersebut.
“Kami membeli aset tanah ini sesuai aturan yang berlaku. Justru kehadiran kami membantu perekonomian Pati dengan menghidupkan kembali pabrik gula yang sempat mati,” ungkap Teguh.
Ia juga menyatakan bahwa sebagian besar penggarap telah menerima kompensasi dan menyerahkan lahan secara sukarela pada 2019. Namun, perwakilan petani membantah klaim ini, menyatakan bahwa mereka menolak kompensasi dari PT LPI.
Ketua Komisi B DPRD Pati, Muslikan, berjanji untuk mengawal penyelesaian konflik ini secara adil. “Kami akan memastikan masalah ini diselesaikan demi kepentingan rakyat tanpa melanggar aturan hukum,” katanya.
Namun, hingga saat ini, Komisi B belum mengeluarkan rekomendasi resmi. Mereka berencana mengadakan mediasi lanjutan dengan melibatkan Kantor Pertanahan, Pemerintah Daerah, dan Ketua DPRD Kabupaten Pati.
Tim advokasi petani Pundenrejo mendesak DPRD untuk segera menyelesaikan konflik ini dengan mengembalikan tanah kepada petani. “Ini adalah momentum untuk menjalankan mandat Reforma Agraria demi kesejahteraan rakyat,” ujar perwakilan advokasi.
Petani Pundenrejo juga berjanji untuk terus memperjuangkan hak mereka. Jika tidak ada langkah konkret dari DPRD, mereka akan kembali menggelar aksi di kantor pemerintah daerah.
Discussion about this post