Ada adagium dalam bahasa Latin yang berbunyi “Dormiunt aliquando leges, nunquam moriuntur” yang berarti “Hukum terkadang tidur, tetapi hukum tidak pernah mati,” ungkapan ini menggambarkan sifat adaptif dan keabadian hukum dalam menanggapi perubahan dan tantangan.
Hukum, seakan seperti manusia, memiliki momen ketika tampaknya istirahat, tetapi keberadaannya tidak pernah pupus. Seperti malam yang datang silih berganti dengan pagi, keberlangsungan hukum melibatkan siklus tidur dan kebangkitan. Ketika hukum tidur, bukan berarti kekuatannya hilang, melainkan sedang mengumpulkan energi untuk menyesuaikan diri dengan perubahan zaman.
Dalam tidurnya, hukum mencermati perubahan sosial, teknologi, dan nilai-nilai masyarakat. Momen ini bukanlah kelemahan, melainkan refleksi dari kemampuan hukum untuk mengasimilasi dan memahami dinamika yang terus berkembang di sekitarnya. Dalam keheningan tidurnya, hukum merencanakan strategi untuk memelihara keadilan dan kebenaran.
Namun, pernyataan ini juga mengingatkan kita bahwa hukum tidak bebas dari risiko kemandegan. Terkadang, dalam rutinitasnya, hukum bisa tertidur dalam formalitas dan kekakuan. Inilah tantangan yang dihadapi, tetapi bukan berarti kematian hukum. Tantangan tersebut menjadi panggilan untuk membangunkan dan menyegarkan kembali esensi hukum sebagai alat yang dinamis dan relevan.
Ketika hukum dihadapkan pada ketidakteraturan dan inovasi, kebangkitan terjadi. Hukum tidak pernah mati; ia melahirkan peraturan baru, mendefinisikan ulang norma, dan menciptakan landasan bagi perubahan positif. Kematangan hukum adalah hasil dari kemampuannya untuk terus berkembang, menyesuaikan, dan memastikan relevansinya dalam menanggapi kebutuhan masyarakat.
Konsep ini juga mencerminkan ketidakpastian dalam kehidupan. Dalam perubahan yang cepat dan kompleks, hukum berperan sebagai konstanta yang memberikan kepastian. Keberlanjutan hukum melibatkan kemampuannya untuk memberikan kerangka yang adil, bahkan ketika dunia di sekitarnya berubah secara dramatis.
Hukum versus Kekuasaan
Ketika hukum tampak tak berdaya terhadap kekuasaan, bukan berarti hukum sedang tidur, melainkan mungkin menghadapi tantangan serius. Membangunkan hukum dari l keterbatasannya memerlukan upaya kolaboratif dan pemahaman mendalam terhadap akar permasalahan. Pertama, penguatan lembaga penegak hukum dan independensinya menjadi kunci. Reformasi kelembagaan dapat memberikan hukum landasan yang lebih kuat.
Selanjutnya, pemberdayaan masyarakat dalam pemahaman hukum dan hak-hak mereka menjadi langkah penting. Pendidikan hukum yang lebih merata dapat meningkatkan kesadaran masyarakat akan kepentingan dan peran hukum dalam melindungi keadilan. Selain itu, advokasi untuk perubahan kebijakan yang mendukung keadilan dan transparansi dapat membantu membangkitkan hukum dari kelesuan.
Dalam konteks global, kerjasama internasional dan tekanan dari komunitas internasional dapat menjadi instrumen efektif untuk memperbaiki ketidaksetaraan dan penyalahgunaan kekuasaan. Kesatuan suara dari berbagai pihak dapat membentuk tekanan moral yang dapat memaksa perubahan positif dalam sistem hukum.
Terakhir, pemberdayaan hukum memerlukan partisipasi aktif masyarakat dalam proses demokratis. Pemilihan yang transparan dan partisipatif dapat menciptakan pemimpin yang mendukung perubahan hukum yang adil dan inklusif. Dengan demikian, untuk membangunkan hukum dari ketidakberdayaannya, diperlukan keterlibatan bersama dari lembaga-lembaga hukum, masyarakat, dan komunitas internasional (***)
Discussion about this post