Presiden Joko Widodo baru-baru ini (21/02/2024) melantik Agus Harimurti Yudhoyono sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional, menggantikan Hadi Tjahjanto yang dipindahkan sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Dalam kesempatan tersebut, Presiden menyampaikan tiga pesan kepada AHY. Pertama, mendorong penyelesaian sertifikat tanah elektronik secara masif. Kedua, menyelesaikan penerbitan hak guna usaha (HGU) untuk mekanisme perdagangan karbon. Terakhir, menyelesaikan target 120 juta bidang tanah untuk terdaftar melalui pendaftaran tanah sistematis lengkap (PTSL). Presiden yakin AHY dapat mengemban tugas tersebut dengan baik berdasarkan rekam jejak dan latar belakangnya.
Pascapelantikan tersebut, hal pertama yang harus dilakukan AHY, selain tiga pesan di atas, adalah melanjutkan reformasi agraria yang selama ini telah berjalan. Hal ini telah menjadi isu yang serius dan kompleks, dengan konflik tanah yang terus meluas dan masalah keadilan agraria yang belum terpecahkan. Reformasi agraria yang diinginkan oleh pemerintah Indonesia, yang diatur dalam UU Pokok Agraria (UUPA), bertujuan untuk menciptakan keadilan dalam pengelolaan tanah dan memastikan bahwa tanah dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat. Namun, implementasi UUPA telah menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, termasuk konflik pertanahan yang terus muncul dan ancaman terhadap prinsip-prinsip keadilan agraria.
Konflik pertanahan menjadi masalah utama yang menghambat reformasi agraria. Masalah ini tidak hanya terletak pada kekurangan regulasi, tetapi juga pada kurangnya keinginan baik dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik tersebut. Direktorat Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan (DJPSKP) mengakui bahwa meskipun jumlah kasus konflik pertanahan relatif sedikit, penyelesaiannya memerlukan waktu yang cukup panjang dan rumit, melibatkan berbagai dimensi, termasuk hukum administrasi, tata usaha negara, perdata, pidana, dan bahkan hukum internasional.
Konflik pertanahan sering kali melibatkan masyarakat dengan korporasi, yang menunjukkan bahwa reformasi agraria tersebut belum berhasil menjawab ketimpangan penguasaan lahan. Organisasi non-pemerintah, seperti Komunitas Pengamat Agraria (KPA), menilai bahwa pembagian sertifikat tanah tidak cukup jika tidak diikuti oleh reformasi agraria yang memadai. Hal ini menunjukkan pentingnya reformasi agraria yang melibatkan penyelesaian konflik pertanahan dan redistribusi tanah, bukan hanya pembagian sertifikat tanah.
Pada masa Orde Baru dan era Reformasi, terdapat berbagai UU sektoral yang berorientasi pada pembangunan ekonomi dan mereduksi UUPA sebagai UU yang mengatur pertanahan semata. Hal ini mengesampingkan prinsip-prinsip keadilan dan kepastian hukum reforma agraria. Misalnya, UU Mineral dan Batubara (Minerba) memberikan kemudahan perizinan yang diberikan kepada taipan tambang, memudarkan prinsip-prinsip kepastian hukum dan keadilan agraria.
Reformasi agraria di Indonesia masih berjuang untuk mencapai hasil yang diinginkan, dengan ancaman yang menghadang di depan. Solusi yang tepat mencakup peningkatan regulasi yang lebih efektif, penyelesaian konflik pertanahan yang cepat dan efektif, serta peningkatan keinginan baik dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini. Keadilan agraria yang seimbang dan adil merupakan kunci untuk mencapai tujuan reformasi agraria, memastikan bahwa tanah dapat digunakan untuk kesejahteraan rakyat dan tidak hanya untuk kepentingan ekonomi atau investasi.
Konflik Agraria Era Jokowi
Berdasarkan data dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang berlangsung dari tahun 2015 hingga 2022, tercatat terjadinya 2.710 konflik agraria. Konflik ini berdampak pada 5,8 juta hektare tanah dan menyebabkan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya. Konflik agraria ini terjadi di berbagai sektor, termasuk perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil. Banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah atau pekerja non-formal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri.
Data ini menunjukkan bahwa konflik agraria di Indonesia tetap menjadi masalah serius yang belum teratasi meskipun telah ada upaya reforma agraria. KPA mencatat bahwa meskipun telah dibentuk tim nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria (GTRA) yang bertujuan untuk menyelesaikan persoalan, pencapaian tujuan ini tampaknya gagal.
Konflik agraria ini juga terus meningkat pada tahun 2023, menunjukkan bahwa masalah ini masih menjadi tantangan yang signifikan bagi Indonesia. KPA mencatat peningkatan jumlah kasus konflik agraria yang dilaporkan, termasuk konflik lahan yang disebabkan kebijakan pejabat publik dan mengancam hak-hak konstitusional masyarakat atas sumber-sumber Agraria.
Konflik agraria di Indonesia mencakup berbagai aspek, termasuk proyek-proyek infrastruktur yang memicu konflik agraria. Ini menunjukkan betapa kompleks dan luas masalah ini, yang memerlukan pendekatan yang komprehensif dan inklusif untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan (***)
Discussion about this post