Pada 1 Oktober 2024, anggota DPR RI terpilih dari Fraksi Golkar, Jamaludin Malik, menarik perhatian publik ketika menghadiri pelantikan di Kompleks Parlemen Senayan dengan mengenakan kostum Ultraman. Tindakan ini segera menimbulkan berbagai tanggapan dan perdebatan, terutama terkait kesesuaian perilaku ini dalam acara yang memiliki formalitas tinggi. Dari sudut pandang etis dan kritis, pertanyaan tentang makna dan dampak dari keputusan ini layak untuk diulas lebih lanjut.
Alasan yang diungkapkan Jamaludin atas pemakaian kostum tersebut adalah untuk mempertahankan ciri khas yang telah ia gunakan selama kampanye. Ultraman, sebagai simbol pahlawan yang membasmi kejahatan, menurutnya selaras dengan peran anggota parlemen dalam memperjuangkan kebenaran dan melawan ketidakadilan. Namun, apakah alasan ini cukup untuk membenarkan tindakan yang dianggap tidak lazim dalam konteks resmi kenegaraan?
DPR RI adalah institusi yang memiliki peran krusial dalam membentuk kebijakan nasional dan menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah. Kehadiran dalam acara pelantikan, sebagai awal mula seorang anggota memulai tugas legislatifnya, mengharuskan adanya rasa hormat terhadap formalitas yang melekat. Memakai kostum fiksi, meskipun mungkin dianggap inovatif, berisiko mencederai kesan profesionalisme yang diharapkan dari seorang pejabat publik.
Tindakan Jamaludin untuk tampil dengan kostum Ultraman dapat menimbulkan persepsi negatif mengenai keseriusan anggota DPR dalam menjalankan tugasnya. Dalam masyarakat yang menuntut perubahan nyata dari wakil-wakil mereka, tampil nyentrik dalam acara formal bisa dianggap merendahkan signifikansi acara tersebut. Hal ini berpotensi merusak citra institusi DPR yang sudah sering kali dikritik terkait integritas dan komitmennya.
Selain itu, tanggung jawab moral seorang anggota DPR tidak hanya terbatas pada pembuatan undang-undang atau pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, tetapi juga pada bagaimana ia mempresentasikan dirinya di depan publik. Dalam konteks ini, perilaku Jamaludin dapat dianggap bertentangan dengan norma-norma yang diharapkan dari pejabat negara. Sikap yang berlebihan dalam mencari perhatian dapat mengurangi rasa hormat terhadap lembaga yang diwakilinya.
Namun, dari perspektif lain, mungkin ada sebagian masyarakat yang melihat tindakan ini sebagai bentuk kreativitas dan cara mendekatkan diri dengan pemilih. Kostum Ultraman yang populer di kalangan masyarakat mungkin dianggap sebagai simbol perjuangan yang sederhana namun kuat, yang mampu menginspirasi. Akan tetapi, justifikasi ini tetap berada di wilayah abu-abu ketika dihadapkan dengan tanggung jawab institusional.
Lebih jauh lagi, tindakan ini juga bisa memperkuat stereotip bahwa anggota DPR lebih mementingkan citra personal daripada tugas utama mereka. Pada saat yang sama, ada banyak persoalan mendesak yang memerlukan perhatian serius dari parlemen, seperti masalah korupsi, reformasi hukum, dan ketidaksetaraan sosial. Aksi yang berlebihan dapat membuat perhatian publik teralihkan dari isu-isu tersebut, dan fokus media bergeser kepada hal yang bersifat sensasional.
Sikap nyentrik seperti ini tidak jarang dilihat sebagai upaya untuk menciptakan narasi yang populer di media sosial, di mana citra menjadi aset utama dalam menjaga relevansi. Namun, ada garis batas tipis antara menarik perhatian publik secara positif dan jatuh ke dalam jebakan kritik yang tajam. Jamaludin berisiko terperosok ke dalam persepsi bahwa ia tidak memprioritaskan tugas negara dengan keseriusan yang semestinya.
Munculnya simbol pop culture di forum formal kenegaraan juga menimbulkan pertanyaan tentang batas-batas ekspresi individual dalam konteks yang diatur oleh norma-norma tertentu. Ketika seorang anggota parlemen memilih untuk menggunakan simbol yang tidak konvensional, apakah ini merupakan bentuk kebebasan berekspresi yang sah, atau justru pelanggaran terhadap etika jabatan publik? Dalam hal ini, banyak yang mungkin merasa bahwa tindakan Jamaludin menunjukkan ketidakmampuan untuk membedakan antara ruang publik yang informal dan formal. Sebagai seorang pejabat negara, ia tidak hanya bertanggung jawab kepada konstituennya, tetapi juga kepada lembaga negara yang ia wakili. Menghadirkan elemen-elemen yang terkesan ringan dan santai dalam forum resmi seperti DPR dapat dianggap mencerminkan kurangnya penghormatan terhadap institusi yang memiliki tanggung jawab besar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Meskipun simbolisme kostum Ultraman mungkin memiliki nilai bagi beberapa orang, ruang parlemen bukanlah tempat yang tepat untuk manifestasi simbol pop culture.
Lebih jauh, sikap ini juga bisa mencerminkan masalah yang lebih mendalam terkait persepsi masyarakat tentang DPR RI. Selama ini, banyak anggota parlemen telah dikritik karena kurangnya komitmen terhadap tugas-tugas legislasi yang serius, serta berbagai kasus pelanggaran etika. Ketika seorang anggota parlemen memilih untuk tampil dengan cara yang tampak tidak sejalan dengan nilai-nilai formalitas dan keseriusan institusi, hal itu dapat memperkuat anggapan bahwa parlemen masih jauh dari harapan masyarakat akan keterwakilan yang bermartabat dan bertanggung jawab.
Di sisi lain, tindakan Jamaludin ini bisa juga dilihat sebagai refleksi dari dinamika politik kontemporer di mana politisi semakin sering menggunakan strategi media dan performativitas untuk menarik perhatian publik. Namun, langkah seperti ini harus dipertimbangkan dengan cermat karena dapat berisiko merusak reputasi dan kredibilitas, tidak hanya individu yang bersangkutan, tetapi juga lembaga yang lebih luas. Dalam situasi di mana kepercayaan masyarakat terhadap parlemen sudah rendah, tindakan yang menonjolkan popularitas pribadi harus seimbang dengan kewajiban moral untuk menjaga kehormatan institusi (***)
Discussion about this post