Pernyataan Suswono, seorang calon Wakil Gubernur Jakarta, baru-baru ini menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Guyonan yang disampaikan dalam konteks kampanye tersebut merujuk pada pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan istri beliau, Khadijah binti Khuwailid RA, yang dikenal sebagai seorang wanita kaya. Pernyataan tersebut dianggap tidak pantas oleh banyak pihak karena seakan-akan mengesankan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah “pengangguran” pada saat pernikahan tersebut terjadi.
Dalam pernyataannya, Suswono menyarankan agar para janda kaya menikahi pemuda pengangguran. Pernyataan tersebut mungkin bertujuan untuk memberikan saran bernada humor mengenai isu sosial terkait hubungan pernikahan dan kesejahteraan, tetapi justru menjadi kontroversial ketika ia menyeret nama Nabi Muhammad SAW ke dalam konteks yang tidak relevan. Suswono kemudian menyampaikan permohonan maaf atas pernyataannya melalui video yang diunggah di akun Instagram pribadinya. Dalam video tersebut, ia menyatakan permintaan maaf secara tulus atas kekeliruan yang telah dibuatnya, serta menegaskan bahwa ia tidak bermaksud mendiskreditkan Nabi Muhammad SAW, melainkan mengaku bahwa hal itu merupakan sebuah keteledoran yang seharusnya tidak disampaikan di forum publik.
Sensitivitas Agama
Untuk memahami mengapa pernyataan ini menjadi sangat sensitif, kita perlu meninjau kembali bagaimana masyarakat Muslim memandang sosok Nabi Muhammad SAW. Beliau dianggap sebagai figur teladan, pemimpin, dan nabi terakhir dalam Islam. Kehidupan beliau penuh dengan kebijaksanaan, kerendahan hati, serta dedikasi kepada keluarga dan masyarakat. Salah satu aspek penting dari kehidupan Nabi Muhammad adalah kisah pernikahan beliau dengan Khadijah RA, yang mengandung pelajaran tentang keberanian, kesetiaan, dan saling mendukung antara pasangan.
Khadijah RA, seorang wanita yang memiliki status ekonomi tinggi pada masanya, memilih untuk menikah dengan Nabi Muhammad SAW, yang saat itu dikenal karena integritas, kejujuran, dan etos kerjanya yang kuat. Meskipun pada saat pernikahan Nabi Muhammad SAW tidak memiliki kekayaan yang sebanding dengan Khadijah, beliau bekerja dengan giat dan membuktikan dirinya sebagai individu yang dapat diandalkan. Narasi ini justru mengajarkan bahwa keberhasilan dalam pernikahan bukan ditentukan oleh status sosial atau kekayaan, melainkan oleh kualitas pribadi seperti kejujuran, ketulusan, dan komitmen.
Salah satu alasan yang membuat pernyataan Suswono tidak dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat adalah kesan bahwa ia mengabaikan konteks historis dan etika dalam membahas tokoh agama. Tindakan ini bisa dipandang sebagai pengaburan dari sifat asli pernikahan Nabi Muhammad dan Khadijah RA. Dengan kata lain, pernyataan tersebut seakan-akan menyederhanakan kisah pernikahan yang begitu dihormati dalam Islam dan mengaburkan makna yang terkandung di dalamnya. Pandangan semacam ini membuat sebagian besar masyarakat Muslim merasa bahwa hal tersebut adalah sebuah tindakan yang tidak pantas dan bahkan bisa dianggap melecehkan sosok nabi yang mereka hormati.
Selain itu, perlu diperhatikan bahwa pemimpin publik seperti Suswono memiliki tanggung jawab untuk menjaga kehati-hatian dalam berkomunikasi. Ucapan atau tindakan yang tidak dipertimbangkan dengan matang dapat menciptakan dampak besar di masyarakat, terlebih dalam konteks isu yang menyentuh aspek agama. Meskipun Suswono mungkin tidak berniat buruk, sebagai calon pemimpin publik, ia diharapkan untuk memahami sensitivitas masyarakat terhadap agama dan tokoh-tokoh suci dalam agama Islam.
Permohonan maaf yang disampaikan Suswono merupakan langkah yang baik dalam meredakan ketegangan, namun kasus ini juga menjadi pengingat bagi para pejabat publik dan tokoh masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata. Mengingat dampak sosial dan keagamaan yang besar, diperlukan kecermatan dalam menyampaikan pesan, terutama dalam konteks kampanye yang rentan diinterpretasikan dalam berbagai cara oleh masyarakat.
Dengan melihat pernyataan ini dari berbagai perspektif, dapat disimpulkan bahwa peristiwa ini adalah pengingat pentingnya menghormati tokoh-tokoh agama dan menilai kembali bagaimana komunikasi publik dilakukan di Indonesia, terutama dalam hal-hal yang melibatkan agama. Menjaga sensitivitas terhadap agama bukan hanya sebuah etika, tetapi juga cermin dari penghargaan terhadap pluralitas masyarakat dan nilai-nilai yang mereka anut (***)
Discussion about this post