Mungkinkah Polri Kembali di Bawah TNI? Pertanyaan ini muncul seiring dengan usulan politikus PDIP, Deddy Sitorus, yang menyarankan agar Polri kembali berada di bawah kendali TNI atau bahkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Usulan ini tentu menarik perhatian, mengingat status Polri setelah reformasi 1998 yang menempatkannya langsung di bawah Presiden, sebuah langkah yang bertujuan untuk memastikan bahwa institusi ini bebas dari pengaruh militer dan lebih mengedepankan prinsip demokrasi.
Setelah reformasi 1998, Polri mendapatkan posisi yang lebih mandiri sebagai lembaga yang terpisah dari TNI, mengikuti semangat pemisahan kekuasaan antara militer dan kepolisian. Pembaruan ini dimaksudkan untuk menghindari kembali terjadinya intervensi militer dalam urusan sipil, seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Pemberian otonomi yang lebih besar kepada Polri di bawah Presiden diharapkan dapat memperkuat peranannya sebagai pelindung hukum dan pemelihara ketertiban, serta menjamin bahwa Polri dapat menjalankan tugasnya tanpa tekanan dari kekuatan eksternal.
Namun, seiring berjalannya waktu, ada pandangan yang berkembang bahwa Polri justru kini semakin rentan terhadap manipulasi politik. Sebagian kalangan melihat bahwa institusi ini tidak sepenuhnya bebas dari kepentingan politik, terutama dalam konteks pemilu dan pilkada. Dugaan ini semakin kuat dengan munculnya istilah “partai coklat” atau “parcok”, yang mengacu pada warna seragam Polri, yang dianggap mencerminkan kedekatan polisi dengan partai-partai politik tertentu. Istilah ini mencerminkan kekhawatiran bahwa Polri bisa dimanfaatkan untuk kepentingan politik, sehingga peranannya sebagai aparat penegak hukum yang netral menjadi terancam.
Dalam konteks tersebut, usulan Deddy Sitorus untuk menempatkan Polri di bawah TNI atau Kemendagri bisa dipahami sebagai upaya untuk mengembalikan kontrol atas institusi ini. Namun, masalahnya adalah, langkah ini bisa berisiko menghilangkan independensi Polri yang sudah diperjuangkan sejak reformasi. Mengembalikan Polri di bawah TNI berpotensi membuka kembali jalan bagi campur tangan militer dalam urusan sipil, yang jelas bertentangan dengan semangat reformasi yang menuntut pemisahan yang jelas antara kedua institusi tersebut.
Selain itu, meski ada dugaan bahwa Polri sekarang rentan terhadap politik praktis, kembali ke era di bawah kendali TNI bisa berpotensi menciptakan ketegangan baru dalam hubungan sipil-militer. TNI memiliki struktur dan misi yang sangat berbeda dengan Polri, yang lebih fokus pada pemeliharaan keamanan dalam negeri. Menempatkan Polri di bawah TNI, meskipun dimaksudkan untuk meningkatkan pengawasan, bisa mengurangi kemampuan Polri untuk bertindak secara independen, terutama dalam menghadapi isu-isu hukum dan pelanggaran hak asasi manusia.
Tentu saja, keberadaan Polri di bawah kendali langsung Presiden tidak sepenuhnya tanpa masalah. Kita tak bisa mengabaikan bahwa dalam beberapa kasus, Polri memang terlibat dalam kontroversi yang mengindikasikan adanya pengaruh politik. Namun, solusi yang diusulkan oleh Deddy Sitorus tidak semestinya mengarah pada penurunan independensi Polri. Sebaliknya, penting untuk memperkuat akuntabilitas Polri dan memastikan bahwa mereka dapat beroperasi dengan lebih transparan, tanpa terjebak dalam permainan politik yang dapat merusak integritas institusi ini.
Menggali lebih jauh, reformasi Polri pasca-1998 bukan hanya soal memisahkan Polri dan TNI, tetapi juga tentang menciptakan sistem pengawasan yang lebih baik. Kita memerlukan pengawasan internal dan eksternal yang efektif untuk memastikan bahwa Polri tetap fokus pada tugas utamanya sebagai penegak hukum, bukan sebagai alat untuk kepentingan politik. Peningkatan transparansi dan akuntabilitas adalah kunci, dan ini tidak hanya bergantung pada hubungan Polri dengan lembaga eksekutif, tetapi juga dengan masyarakat dan lembaga-lembaga pengawas yang ada.
Oleh karena itu, pertanyaan tentang apakah Polri perlu kembali di bawah TNI atau Kemendagri seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi kontrol politik semata, tetapi juga dari perspektif bagaimana kita bisa menjaga Polri tetap bersih dan profesional. Reformasi 1998 memberikan dasar yang kuat untuk memastikan bahwa Polri tetap berjalan sesuai dengan prinsip demokrasi, bebas dari pengaruh politik yang dapat merusak citra dan fungsinya. Upaya untuk memperbaiki Polri harus dilihat sebagai langkah untuk memperkuat integritasnya, bukan untuk mengembalikan sistem yang sudah kita tinggalkan demi sebuah pemerintahan yang lebih bersih dan adil (***)
Discussion about this post