Jakarta, Radarhukum.id – Perkumpulan Advokat Indonesia (PERADIN) terus mendorong pemerataan akses keadilan hingga ke pelosok negeri melalui pembentukan Mahkamah Desa, sebuah forum penyelesaian sengketa berbasis musyawarah dan nilai-nilai lokal masyarakat desa. Sebelumnya, PERADIN telah membuktikan keberhasilannya mengembangkan Pos Bantuan Hukum Advokat Indonesia (POSBAKUMADIN) dari Sabang sampai Merauke, yang telah memberikan layanan hukum gratis bagi warga kurang mampu selama lebih dari satu dekade.
Dalam Rapat Kerja Nasional PERADIN pada 17 April 2025 lalu, Ketua Umum PERADIN Ropaun Rambe, M.AD menegaskan bahwa Mahkamah Desa bukanlah lembaga baru, melainkan revitalisasi sistem penyelesaian sengketa tradisional yang selama ini hidup dalam masyarakat.
“Mahkamah Desa adalah simbol keadilan partisipatif. Ia tumbuh dari akar hukum adat dan nilai kolektif desa yang selama ini terpinggirkan oleh sistem yang terlalu jauh dan rumit bagi warga desa,” ujar Ropaun Rambe, M.AD dalam keterangan pers di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Mahkamah Desa memiliki dasar hukum yang kuat, antara lain:
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2024 tentang Desa, khususnya Pasal 26 ayat (4) huruf-l dan
Pasal 103; Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan UU Desa;
Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 6 Tahun 2020 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa;
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum;
Pedoman Kepala BPHN Tahun 2023 tentang Paralegal Academy (Nomor: PHN.HN.04.03-184);
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa;
Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pemberian Bantuan Hukum.
Menurut Ropaun Rambe, M.AD, nomenklatur Mahkamah Desa telah dikeluarkan oleh Kementerian Hukum R.I, dan mendapat dukungan dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Wakil Menteri Desa Ahmad Riza Patria turut memberikan dukungan terhadap inisiatif ini.
“Mahkamah Desa diharapkan menjadi lembaga penyelesaian sengketa yang mudah diakses, cepat, efisien, dan selaras dengan budaya lokal masyarakat desa,” ujar Riza dalam Rakernas PERADIN.
Lembaga ini difokuskan untuk menangani konflik-konflik ringan seperti sengketa batas tanah, perselisihan hutang-piutang skala kecil, hingga masalah rumah tangga, dengan pendekatan Restorative Justice—proses penyelesaian yang mempertemukan pelaku dan korban demi tercapainya pemulihan sosial.
Meski demikian, Mahkamah Desa tidak menggantikan peran pengadilan negara. “Untuk perkara pidana berat atau pelanggaran hak konstitusional, tentu harus ditangani oleh lembaga peradilan formal,” tegas Ropaun Rambe, M.AD
Struktur Mahkamah Desa dibentuk melalui Surat Keputusan Kepala Desa. Komposisinya mencakup Kepala Desa sebagai ketua merangkap anggota, Sekretaris Desa, perwakilan Organisasi Bantuan Hukum atau paralegal, Bhabinkamtibmas, Babinsa, serta tokoh masyarakat, agama, dan adat.
Dengan pendekatan berbasis komunitas, PERADIN berharap Mahkamah Desa dapat menjadi ruang penyelesaian dan juga instrumen pelestarian nilai-nilai sosial yang mulai tergerus modernisasi hukum.
“Kami ingin keadilan tidak hanya menjadi hak istimewa orang kota atau golongan tertentu, tetapi juga bisa dinikmati mereka yang tinggal di ujung-ujung negeri—dengan bahasa dan cara yang mereka pahami. Advokat PERADIN akan menjadi bagian dalam mendirikan, membina, serta melakukan pendidikan hukumnya,” pungkas Ropaun Rambe, M.AD **
Discussion about this post