Oleh: Ifanko Putra
Dalam dinamika politik lokal, pecah kongsi antara kepala daerah dan wakilnya sering kali terjadi. Hal ini menciptakan situasi yang pelik bagi sebagian besar Aparatur Sipil Negara (ASN) atau birokrat yang berada di bawah kepemimpinan mereka.
Kondisi tersebut akan semakin rumit ketika kepala daerah dan wakilnya itu bakal menjadi rival dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Para ASN, yang pada hakikatnya bekerja untuk kepentingan masyarakat, banyak yang berada di persimpangan jalan antara menjalankan mandat, bekerja sesuai aturan, atau menjaga kepentingan karier mereka sehingga terjadi dukung mendukung dan keberpihakan.
Beberapa waktu terakhir jelang Pilkada ini, saya menghimpun kesimpulan ketika berbincang dengan sejumlah ASN di daerah yang mengalami kondisi ini, mulai dari kepala sekolah, hingga birokrat berpangkat rendah dan tinggi. Dari percakapan dengan mereka, saya menangkap dilema yang mereka hadapi nyata dan mendalam. Mereka seakan-akan dihadapkan pada pilihan “buah simalakama.”
Di satu sisi, ada tekanan implisit untuk mematuhi instruksi kepala daerah yang notabene lebih berkuasa dan memiliki wewenang dibandingkan wakilnya. Ada pula sebagian yang tanpa diintruksi mencoba mencari muka kepada pimpinan dengan mengambil inisiatif sendiri, misalnya dengan tidak menghadiri acara yang melibatkan wakil kepala daerah, membatasi interaksi, bahkan hingga lebih parah dari itu. Di sisi lain, jika melakukan hal demikian, muncul pula ketakutan tentang bagaimana nasib mereka jika wakil kepala daerah tersebut memenangkan Pilkada dan melanjutkan estafet kepemimpinan.
Tidak dipungkiri, kondisi dan gambaran sebaliknya bisa saja terjadi pada daerah tertentu dan instansi tertentu dimana wakil kepala daerah lebih dominan.
Tentu saja, dalam hal ini kita tidak berbicara tentang siapa yang lebih buruk dan lebih baik dari masing-masing pihak, tetapi bagaimana ASN atau birokrat dapat menempatkan diri mereka.
Di hati kecil sebagian amtenar itu, tentu sebenarnya tidak lupa pula bahwa ASN mesti memegang teguh netralitas dan tidak boleh terlibat dalam politik praktis, apalagi memihak. Aturan tentang netralitas ASN sejatinya sudah jelas dan tegas. Misalnya, Pasal 9 ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2023 Tentang ASN dengan terang menyatakan, “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.”
ASN diwajibkan untuk bersikap netral, tidak terlibat dalam politik praktis, dan bekerja semata-mata untuk kepentingan publik. Berbagai regulasi dan juga Surat Kesepakatan Bersama (SKB) lintas kementerian dan lembaga turut menguatkan hal ini. Sanksi tegas menanti bila mereka melanggar ketentuan netralitas.
Namun, dalam praktiknya, tekanan politis sering kali mengikis netralitas ini. Ancaman terhadap posisi dan jabatan mereka menjadi faktor penekan yang kuat, memaksa mereka untuk menunjukkan keberpihakan dan loyalitas kepada pimpinan yang sebenarnya tidak mereka inginkan.
Budaya politisasi ASN ini sudah lama mengakar dan seakan menjadi warisan yang sulit dihapus. Keberpihakan yang seharusnya tidak ada, kini menjadi semacam strategi bertahan hidup dalam dunia birokrasi yang penuh intrik. ASN yang berusaha untuk tetap netral sering kali dihadapkan pada situasi sulit yang menguji integritas dan profesionalisme mereka.
Dalam situasi seperti ini, diperlukan keberanian dan kebijaksanaan dari para ASN untuk tetap teguh pada prinsip asas netralitas. Mereka harus mampu menavigasi tekanan-tekanan politis tanpa mengorbankan integritas mereka. Selain itu, dukungan dari instansi pengawas dan regulasi yang lebih tegas juga sangat penting untuk melindungi netralitas ASN. Tanpa itu, ancaman politisasi akan terus membayangi birokrasi kita, menggerus kepercayaan publik terhadap aparatur negara yang seharusnya netral dan profesional.
Netralitas ASN bukan hanya tentang mematuhi aturan, tetapi juga tentang menjaga marwah dan profesionalisme birokrasi. Dengan menempatkan kepentingan publik di atas segala tekanan politis, menempatkan aturan dan hukum sebagai pegangan, ASN dapat menjadi garda terdepan dalam menciptakan pemerintahan yang bersih dan berintegritas.
Discussion about this post