Belakangan ini, jagat media sosial ramai membicarakan soal Kaesang Pangarep yang menumpang jet pribadi. Isu ini mencuri perhatian publik, tak hanya karena Kaesang adalah anak bungsu (mantan) Presiden Jokowi, tetapi juga karena adanya anggapan bahwa tindakan tersebut mungkin bisa dikategorikan sebagai gratifikasi. Apakah benar demikian, atau hanya sekadar “nebeng” biasa?
Seperti yang kita ketahui, dalam hukum Indonesia, gratifikasi didefinisikan sebagai segala bentuk pemberian yang diterima oleh pejabat atau penyelenggara negara yang bisa menimbulkan konflik kepentingan. Gratifikasi menjadi masalah ketika melibatkan pejabat negara yang sedang bertugas, karena bisa memengaruhi keputusan atau tindakannya. Lalu, bagaimana dengan Kaesang? Bukankah ia juga punya pengaruh sebagai anak presiden (ketika itu)?
Menanggapi pertanyaan ini, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Nurul Ghufron, memberikan penjelasan yang cukup gamblang. Ia menyatakan bahwa Direktorat Gratifikasi KPK telah selesai menganalisis kasus ini dan menyimpulkan bahwa tindakan Kaesang tidak termasuk gratifikasi. Alasannya, Kaesang bukanlah penyelenggara negara. Ia tidak memiliki jabatan publik, dan dengan demikian, tidak ada kepentingan publik yang secara langsung bisa terganggu oleh keputusan atau tindakannya.
Di sini, kita perlu melihat perbedaan status dan posisi seseorang dalam hukum. Hanya karena Kaesang adalah putra (mantan) presiden, bukan berarti ia bisa diperlakukan sama seperti pejabat negara lainnya. Menurut pandangan hukum yang diterapkan KPK, status Kaesang yang bukan pejabat negara menjadi faktor penentu yang memisahkannya dari kategori gratifikasi. Lagipula, ia juga tidak sedang dalam posisi untuk mengambil keputusan publik yang bisa terpengaruh karena menerima suatu “bantuan” atau fasilitas.
Namun, tentu saja, ada sebagian masyarakat yang tetap merasa kurang puas. Beberapa berpendapat bahwa walaupun Kaesang bukan pejabat, “nebeng” jet pribadi ini tetap menunjukkan adanya kemudahan yang tidak semua orang miliki. Di sinilah kita masuk ke dalam wilayah abu-abu antara persepsi publik dan batasan hukum. Secara hukum, Kaesang tidak menyalahi aturan, tetapi persepsi publik bisa berbeda, terutama karena Kaesang adalah figur publik.
Bagaimanapun, kasus ini mengajarkan kita pentingnya memahami aturan gratifikasi dan bagaimana aturan ini diterapkan oleh KPK. Tidak semua fasilitas atau bantuan yang diterima seseorang, bahkan jika ia figur publik, otomatis termasuk gratifikasi. Hukum memiliki kriteria yang jelas, dan dalam kasus ini, KPK menganggap Kaesang tidak memenuhi kriteria tersebut. Jadi, jawabannya: nebengnya Kaesang, menurut KPK, memang bukan gratifikasi.
Namun, akankah topik ini berhenti dibicarakan? Kemungkinan besar tidak. Di era media sosial, setiap tindakan publik figur bisa jadi sorotan dan perdebatan panjang. Tapi setidaknya, kita jadi punya gambaran lebih jelas tentang bagaimana hukum bekerja dalam memisahkan antara gratifikasi dan sekadar “nebeng” (***)
Discussion about this post