Setelah dilantiknya Kabinet Merah Putih, sejumlah wacana strategis mulai mengemuka dalam berbagai sektor, termasuk pendidikan. Salah satu isu yang menarik perhatian publik adalah rencana menghidupkan kembali Ujian Nasional (UN) dan memperkenalkan kurikulum baru di tingkat pendidikan dasar dan menengah. Kedua wacana ini memicu diskusi hangat karena akan membawa dampak signifikan pada arah sistem pendidikan di Indonesia.
Ujian Nasional pernah menjadi penentu kelulusan siswa hingga akhirnya dihapus pada 2021 dengan alasan ingin mengurangi tekanan berlebihan pada siswa dan mengedepankan evaluasi yang lebih holistik. Namun, dengan Kabinet Merah Putih yang baru, muncul gagasan bahwa UN dapat dijadikan kembali sebagai alat untuk mengukur standar pendidikan secara nasional dan memastikan pemerataan kualitas di seluruh wilayah Indonesia.
Pendukung UN berargumen bahwa keberadaan UN akan memberikan standar baku yang menjadi tolok ukur kualitas pendidikan di berbagai daerah. Selain itu, UN dinilai dapat mendorong siswa untuk belajar lebih serius dan memberikan insentif bagi sekolah untuk meningkatkan kualitas pengajaran. Di sisi lain, kritik terhadap UN kembali muncul, dengan fokus pada kekhawatiran bahwa ujian ini terlalu memprioritaskan hasil akademik semata tanpa memperhatikan aspek lain seperti kreativitas, keterampilan sosial, dan kecerdasan emosional. Tekanan psikologis pada siswa juga menjadi isu besar, karena banyak siswa merasa keberhasilan mereka hanya ditentukan oleh hasil ujian tersebut.
Selain UN, Kabinet Merah Putih juga memunculkan gagasan tentang kurikulum baru yang dianggap lebih relevan dengan tuntutan zaman. Pemerintah mengklaim bahwa kurikulum ini dirancang untuk meningkatkan literasi digital, membangun karakter, dan melahirkan lulusan yang kreatif serta inovatif. Namun, tantangan besar dalam penerapan kurikulum ini tidak dapat diabaikan.
Salah satu kendala utama adalah kesiapan guru dalam menyesuaikan diri dengan perubahan. Pelatihan guru yang memadai menjadi mutlak diperlukan untuk memastikan implementasi kurikulum dapat berjalan lancar. Selain itu, fasilitas pendidikan yang mendukung kurikulum baru masih menjadi persoalan besar, terutama di daerah-daerah terpencil yang minim akses terhadap teknologi dan sumber daya pendidikan lainnya.
Kekhawatiran lain muncul terkait perubahan kurikulum yang dianggap terlalu sering. Guru, siswa, dan orang tua sering kali membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri, dan perubahan yang terlalu cepat dapat mengganggu proses belajar-mengajar. Pergantian kurikulum seharusnya didasarkan pada kajian yang matang dan disertai evaluasi yang konsisten terhadap efektivitasnya di lapangan.
Melihat perkembangan ini, penting untuk menempatkan pendidikan sebagai proses yang holistik dan berkelanjutan. Jika UN dihidupkan kembali, pendekatannya harus lebih fleksibel dan inklusif, tidak lagi menjadi satu-satunya alat ukur keberhasilan siswa. Evaluasi berbasis proyek atau penilaian formatif dapat menjadi pelengkap yang penting.
Dalam pengembangan kurikulum baru, pemerintah harus melibatkan semua pemangku kepentingan pendidikan, mulai dari guru, siswa, hingga orang tua, untuk memastikan bahwa kurikulum ini relevan dengan kebutuhan di lapangan. Dengan pendekatan yang terencana dan inklusif, langkah-langkah yang diambil Kabinet Merah Putih diharapkan dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil, relevan, dan berdaya saing di tingkat global (***}
Discussion about this post